Algoritma Facebook dan Google Ibarat Buah Simalakama Peredaran Hoax

10 April 2017 13:23 WIB
ADVERTISEMENT
Siluet seorang pria nampak tengah memegang handphone dengan logo Facebook di belakang (Foto: Reuters)
Media sosial Facebook dan mesin pencari Google hingga saat ini masih menjadi pihak yang terus disalahkan dalam penyebaran berita palsu. Algoritma yang dimiliki keduanya disebut memiliki peran cukup besar dalam distribusi konten hoax. Sistem algoritma kedua perusahaan teknologi itu biasanya bakal mengedepankan informasi baru dan viral. Namun, tidak jarang pencarian itu disusupi oleh berita hoax yang menyesatkan. Google disalahkan karena tidak melakukan blokir pencarian bagi konten atau situs yang telah banyak mendapat laporan sering membuat kabar bohong. Berita benar maupun berita bohong, bisa masuk halaman satu pencarian. Para penyebar kabar bohong pun memainkan trik khusus agar situs web dan konten mereka berada paling atas, dan bisa juga melakukan promosi kabar bohongnya dengan iklan digital. Facebook juga disalahkan karena mereka mengizinkan pembuat konten hoax menyebarkan informasi palsu dan bahkan memanfaatkan iklan digital Facebook untuk menjangkau pengguna lebih besar. Iklan tersebut biasanya menggunakan judul, gambar, dan deskripsi yang bombastis, untuk menarik perhatian. Perusahaan Mark Zuckerberg itu juga telah membiarkan akun-akun penyebar hoax mendapatkan lebih banyak fans dan tidak bertindak dalam memeranginya. Pengamat telematika Heru Sutadi mengatakan algoritma mereka sebagai "buah simalakama" yang kadang merugikan bagi pengguna karena bisa jadi termakan oleh konten hoax. "Di satu sisi memang ingin lebih mengedepankan informasi yang viral, dilihat, dan dibaca banyak orang. Tapi di sisi lain berita hoax juga jadi penumpang gelap karena biasanya informasinya heboh, membuat orang ingin baca atau lihat," ucap Heru saat dihubungi kumparan (kumparan.com), Senin (10/4). Walau mengakui ada upaya dalam bereaksi cepat memblokir atau menutup hoax, namun Heru meyakini jika keduanya belum 100 persen serius menangani masalah ini dan masih "menikmati hasil" penyebarannya di platform masing-masing. "Pendapatan utama Facebook dan Google kan dari iklan. Semakin banyak isu, semakin orang sering buka iklan akan hilir mudik. Trafik meningkat dan iklan akan lancar silih berganti," tambahnya. Heru menyarankan pemerintah untuk menekan Facebook dan Google untuk serius melawan hoax di negara ini, seperti yang dilakukan pemerintah Jerman yang mengeluarkan aturan baru denda Rp 700 miliar jika media sosial mengeluarkan konten hoax. Pemerintah Prancis juga menekan Facebook meminimalkan peredaran konten hoax menjelang pemilihan presiden. Di sana, Facebook menggandeng delapan media kredibel yang dipercaya memeriksa fakta dan menandai konten hoax agar pengguna tahu bahwa itu adalah informasi yang tak patut dipercaya. Pendapat tidak jauh berbeda juga disampaikan ketua komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, yang menyebut algoritma Facebook dan Google berpotensi mempertajam polarisasi hoax. Oleh karena itu, Septiaji beserta komunitasnya sudah menyerukan Facebook untuk memperbaiki algoritma untuk menekan peredaran hoax. Baca juga: Google dan Facebook Seharusnya Bergerak Tangkal Penyebaran Hoax Jika Heru berpendapat Facebook dan Google belum serius melawan hoax, Septiaji justru melihat mereka sudah mulai berupaya memeranginya dengan membuat fitur dan berkolaborasi dengan beberapa pihak, baik pemerintah ataupun komunitas. "Nah, kita akan lihat sejauh mana efektivitasnya dalam beberapa waktu ke depan," ujarnya. Upaya terbaru Facebook dan Google sejauh ini masih mengandalkan laporan pengguna dalam mengatasi penyebaran hoax. Sikap dan aksi nyata dari keduanya masih belum terlihat hingga saat ini. Coba lihat cara terbaru Facebook memerangi hoax. Mereka "hanya" berkampanye edukasi soal bagaimana pengguna bisa mengenali berita palsu dan cara melaporkannya, dengan mengeluarkan iklan berisi 10 tips untuk mengidentifikasikan berita palsu. Sementara Google, mengeluarkan fitur baru di mesin pencari yang memberi label "True" untuk memberi tahu berita yang terbukti kebenarannya, lalu ada "Mostly False" atau "Pants on Fire" pada berita bohong. Pengecekan fakta ini dilakukan Google dengan menggandeng sejumlah lembaga khusus yang kredibel dalam mengecek fakta. Namun, fitur ini tidak akan memengaruhi urutan hasil pencarian dan tidak ada label khusus pada situs tertentu yang dinilai sering menyebarkan kabar bohong. Itu artinya oknum penyebar berita hoax masih bisa memaksimalkan metode Search Engine Optimization (SEO) agar situs dan kontennya tampil di baris atas pencarian. Baca juga: Mesin Pencari Google akan Beri Petunjuk Berita Benar dan Berita Bohong
ADVERTISEMENT