news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Peredaran Berita Hoax dalam Duopoli Facebook dan Google

10 April 2017 18:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Logo Facebook (Foto: Reuters)
Google dan Facebook terus menjadi sorotan terkait peredaran berita palsu atau hoax di jagat internet. Keduanya disalahkan atas konten-konten hoax yang begitu luasnya menyebar lewat platform tersebut. Tentu saja disalahkan, hal ini dikarenakan Google dan Facebook bisa dibilang dua platform internet yang paling sering digunakan oleh masyarakat dunia maya. Dan sampai sekarang, belum ada langkah nyata dari keduanya dalam meminimalkan peredaran konten hoax. Fitur berbagi (share) di Facebook menjadi fitur yang sering digunakan dalam menyebarkan hoax, sementara di Google para oknum sering memanfaatkan iklan untuk menempatkan berita palsunya di pencarian teratas. Para pembuat kabar bohong juga memaksimalkan Search Engine Optimization (SEO) mereka akan situs dan kontennya berada di baris atas pencarian. Hal ini membuat geram berbagai kalangan dengan langkah Facebook dan Google yang dianggap belum serius dalam menangani berita hoax. Memang berbagai upaya sudah mereka lakukan, tapi belum ada yang benar-benar maksimal. Chief Executive News Corp, Robert Thomson, dalam sebuah tulisan di The Wall Street Journal, mengatakan bagaimana seharusnya kedua platform itu bisa benar-benar menangkal peredaran hoax jika saja mereka lebih mengutamakan moral daripada berjualan iklan digital. Thomson menuding Google dan Facebook belum bertindak serius terkait hal ini karena uang yang dihasilkan. "Kedua perusahaan seharusnya bisa melakukan lebih dari ini untuk menyoroti hierarki konten, tapi mereka malah seperti 'berjualan' filosofi bumi datar yang tak bisa membedakan antara yang palsu dan benar karena mereka menghasilkan uang darinya," tulis Thomson. Dalam tulisannya, Thomson menyoroti iklan-iklan digital yang disediakan Google dan Facebook sering dimanfaatkan untuk mengedarkan berita palsu. Penjahat siber bisa dengan mudah mendapatkan pembaca yang lebih luas berkat jaringan iklan Google dan Facebook. Menurut data yang dikeluarkan Facebook, jumlah pengguna aktif di platform media sosial tersebut per Desember 2016 per harinya mencapai 1,23 miliar. Tentu saja dengan tingginya angka pengguna Facebook dan fungsi Google sebagai mesin pencari paling dipilih masyarakat, penyebaran konten hoax lewat iklan jadi lebih cepat dan juga luas.
Mesin pencari Google. (Foto: WD Net Studio (CC0 Public Domain))
Bukan hanya Thomson, penulis senior Fortune, Mathew Ingram, turut menyoroti bagaimana kurangnya peran Google dan Facebook dalam mengadang hoax. Tapi, ia menegaskan masalah Google terkait peredaran hoax lebih besar ketimbang Facebook. Banyak pengguna internet yang menggunakan Google untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya seputar hal apapun. Ingram melihat dari hal ini bisa saja pengguna tersebut malah menemukan jawaban yang tidak benar, dan menjerumuskan. Hasil pencarian itu disebabkan keluar berdasarkan apa yang orang-orang tulis di internet. Baca juga: Algoritma Facebook dan Google Ibarat Buah Simalakama Peredaran Hoax Selain itu, media teknologi populer seperti The Verge turut menyoroti peran Google dan Facebook dalam peredaran konten hoax. The Verge membahas proses penyaringan artikel seperti yang dilakukan oleh Google News, sementara Facebook belum memiliki staf editorial, yang malah bisa memberikan keleluasaan bagi penyebar hoax. "Tanpa tanggung jawab dari platform terkait soal apa yang hadir dalam layanan mereka, akan membuat pembaca ditinggalkan untuk 'meramal' suatu artikel lewat judul dan kemudian isinya. Apakah ini benar atau ternyata palsu," tulis Kyle Chayka dari The Verge. Selain itu, protes pun datang dari asosiasi media di Inggris. Dilansir Mashable, 'duopoli' antara Facebook dan Google turut menimbulkan protes dari News Media Association (NMA), yang mewakili industri surat kabar Inggris. Menurut NMA, berita palsu mudah untuk diproduksi karena kreatornya tidak perlu menghabiskan uang atau waktu untuk melakukan pengecekan fakta atau melaporkan. Ini berbanding terbalik dengan orang-orang yang telah lama berkecimpung di industri media massa, yang selama berabad-abad membangun kredibilitas dan berusaha mengontrol sosial. Orang-orang dalam industri media sangat memerhatikan tanggung jawab sosial dan sangat mempertimbangkan kredibilitas narasumbernya. "Selain itu, berita palsu juga cepat menyebar lewat platform media sosial seperti Facebook dan algoritma Google yang tidak benar-benar peduli dengan kualitas sumber, menghubungkan pengguna ke berita yang 'diduga cocok' dengan kebiasaan pengguna," kata NMA. Melihat tekanan yang terus diterima terkait konten hoax, pendiri dan CEO Facebook, Mark Zuckerberg, sudah bersuara untuk memerangi persebarannya di platform miliknya sejak November lalu. Facebook disebut telah berusaha mengatasi masalah ini sejak lama dan sudah mengalami kemajuan yang signifikan dalam perkembangannya. Tapi, ia mengaku masih banyak yang harus dilakukan untuk menangani hal itu. "Masalah ini kompleks, baik secara teknis maupun filosofis. Kami meyakini untuk memberikan kebebasan untuk bersuara kepada orang-orang, yang berarti membiarkan mereka untuk membagikan apapun dan kapanpun yang mereka inginkan," lanjut Zuckerberg.
ADVERTISEMENT
"Kami harus berhati-hati untuk tidak menahan opini atau malah secara keliru melarang konten yang akurat. Kami tidak ingin menentukan mana yang benar menurut kami sendiri, tapi juga bergantung pada komunitas dan pihak ketiga." Melalui pernyataan ini, Zuckerberg dengan tegas menyatakan jika Facebook tak bisa bekerja sendiri dalam memerangi hoax. Tetapi di sisi lain, Facebook juga tidak bisa cuma mengandalkan laporan dari pengguna saja tentang konten-konten hoax. Melihat bagaimana semakin tak terkendalinya penyebaran hoax di jagat maya, Zuckerberg harus segera berpikir lebih dari itu untuk mencari cara terbaik dalam menangkal informasi palsu. Meski terlihat sulit, Google dan Facebook seharusnya dapat mencari solusi yang lebih baik dalam menangani masalah ini. Jika dibiarkan, kebohongan dari konten-konten semacam itu akan terus mengaburkan kebenaran dan menimbulkan perpecahan. Sejauh ini segala upaya Google dan Facebook dalam memberantas hoax tidaklah powerful, berbanding terbalik dengan pengembangan fitur iklan digital yang makin powerful. Baca juga: Upaya Google dan Facebook Perangi Peredaran Hoax
ADVERTISEMENT