Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Memahami Apa Itu Nafkah Mutah, Kewajiban Suami kepada Istri yang Diceraikan
24 Juni 2023 12:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi cerai atau perceraian. Foto: Shutterstock](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1615704524/jviespxrjivhmww15jd7.jpg)
ADVERTISEMENT
Nafkah mutah adalah hak istri yang wajib dipenuhi suami setelah terjadinya perceraian . Ya, setelah pernikahan berakhir cerai, kewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah tidak serta merta hilang, melainkan berubah menjadi nafkah mutah dan/atau nafkah iddah.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, memberi nafkah kepada istri dan keluarga memang sudah menjadi kewajiban yang harus ditunaikan seorang suami. Perintah ini sudah digariskan dengan tegas di Alquran. Allah SWT berfirman:
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. At-Talaq: 7)
Lalu, apa yang dimaksud dengan nafkah mutah dan bagaimana hukumnya dalam Islam? Simak artikel berikut ini untuk mengetahui penjelasannya.
Apa Itu Nafkah Mutah?
Mengutip jurnal Pemberian Nafkah Iddah dan Mut’ah terhadap Istri yang Nusyuz Perspektif hukum Positif dan Hukum Islam tulisan Anggriani, mutah secara bahasa diartikan sebagai kesenangan.
ADVERTISEMENT
Jadi, nafkah mutah adalah pemberian dari mantan suami kepada mantan istri yang dijatuhi talak untuk menghiburnya. Nafkah ini dapat berupa uang, pakaian, perhiasan, atau benda lainnya sesuai keadaan dan kemampuan suami.
Pemberian nafkah mutah bukan semata-mata untuk menjalankan perintah agama, tetapi juga sebagai upaya suami memberikan jaminan hidup bagi mantan istri beserta anak-anaknya pasca perceraian. Dengan demikian, meski perkawinan sudah berakhir, hubungan baik dengan mantan istri dan keluarganya tetap bisa dipertahankan.
Sementara itu, terkait besara mutah yang diberikan, dapat disesuaikan dengan kemampuan suami. Jika kondisi ekonominya baik, sudah sepantasnya suami memberikan nafkah mutah dengan jumlah yang layak untuk memenuhi kebutuhan mantan istrinya. Apalagi jika selama menikah istri terbiasa hidup serba tercukupi.
ADVERTISEMENT
Hukum Nafkah Mutah dalam Islam
Mutah sebagai implikasi dari perceraian merupakan kewajiban yang harus dipenuhi suami kepada mantan istrinya sebagai bentuk tanggung jawab dan ganti rugi. Kewajiban ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 236 yang berbunyi:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Hukum memberikan nafkah mutah juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 dan 159, pasal 158, dan pasal 160. Dalam pasal 149 disebutkan:
ADVERTISEMENT
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut'ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.”
Kemudian, dalam pasal 158 disebutkan mutah wajib diberikan mantan suami dengan syarat perceraian itu atas kehendaknya dan belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul. Sementara itu, pasal 160 menyatakan bahwa besarnya mutah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
(ADS)