Sejarah Bubur Asyura dan Filosofinya sebagai Tradisi 10 Muharram

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
Konten dari Pengguna
28 Juli 2023 12:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bubur asyura. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bubur asyura. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi sebagian orang, peringatan Hari Asyura pada 10 Muharram belum lengkap tanpa kehadiran bubur Asyura. Hidangan spesial ini memang telah menjadi tradisi yang melekat bagi umat Muslim di beberapa daerah Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya.
ADVERTISEMENT
Mengutip jurnal Perilaku Keberagaman Masyarakat Banjar oleh Surawardi, bubur Asyura dibuat dari campuran biji-bijian, berbagai rempah, sayur, ikan, dan daging. Pembuatan bubur ini biasanya dilakukan secara gotong royong bersama tetangga-tetangga sekitar.
Tradisi membuat Bubur Asyura pada tanggal 10 Muharram rupanya sudah ada sejak zaman nabi. Bagaimana kisahnya? Berikut sejarah bubur Asyura dan filosofinya yang dapat Anda simak.

Sejarah Bubur Asyura

Ilustrasi bubur asyura. Foto: Shutter Stock
Sejarah bubur Asyura berawal dari selamatnya Nabi Nuh AS dari banjir bandang yang melanda pada bulan Muharram. Atas izin Allah, Nabi Nuh berhasil menyelamatkan kaumnya berkat kapal besar yang dibuatnya.
Selama berminggu-minggu terombang-ambing di tengah banjir, kapal Nabi Nuh akhirnya berlabuh di sebuah bukit bernama bukit Judi pada tanggal 10 Muharram. Saat itu, persediaan makanan kian menipis, bahkan hampir habis.
ADVERTISEMENT
Mengutip buku Misteri Bulan Suro oleh Muhammad Sholikhin, Nabi Nuh kemudian memerintahkan kaumnya agar mengumpulkan sisa-sisa bahan makanan yang masih ada, yaitu gandum, adas (sejenis kacang-kacangan atau kedelai hitam), kacang tanah, dan kacang putih. Semua bahan tersebut dikumpulkan dalam tujuh takaran besar, lalu dimasak dan dimakan bersama-sama.
Itulah peristiwa makan bersama yang pertama kali terjadi setelah bencana banjir dan topan melanda. Sejak saat itu, umat Muslim terbiasa makan bersama dengan bahan-bahan campuran yang mendekati makanan Nabi Nuh tersebut.
Ibnu Hajar menganjurkan makanan yang disajikan terdiri dari tujuh macam kurma, gandum, beras, daging hewan yang berjalan kaki, kedelai hitam dan putih, serta kacang merah. Hidangan inilah yang saat ini dikenal sebagai bubur Asyura.
ADVERTISEMENT

Filosofi Bubur Asyura

Ilustrasi bubur asyura. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bubur asyura. Foto: Shutter Stock
Terlepas dari sejarahnya, bubur Asyura ternyata menyimpan filosofi yang mendalam. Dikutip dari jurnal Makna Tradisi Bubur Asyura pada Cetnis Mandailing di Desa Tangkahan Durian Kecamatan Brandan Barat tulisan Milda Afriani Lubis, bubur Asyura melambangkan rasa syukur manusia atas nikmat dan keselamatan yang diberikan Allah SWT selama ini.
Selain itu, bubur tersebut juga merupakan bentuk pengabadian atas kemenangan Nabi Musa dan hancurnya Fir’aun serta bala tentaranya. Karena itu, setelah bubur matang dan siap disantap, biasanya akan dilakukan pembacaan doa selamat bersama-sama.
Tradisi memasak bubur Asyura biasanya dilakukan di tempat terbuka dan dalam porsi yang besar. Tujuannya agar bubur ini bisa dibagikan ke masjid-masjid dan warga sekitar. Sebagian juga disisakan sebagai menu buka puasa bagi mereka yang menjalankannya.
ADVERTISEMENT
Ketika memasak, ibu-ibu biasanya akan saling tukar cerita tentang keluarga, isu-isu di desa setempat, dan topik-topik lainnya. Suasana kebersamaan inilah yang menjadi ciri khas tradisi memasak bubur Asyura.
(ADS)