Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten Media Partner
Sawit berpeluang jadi tumpuan ekspor non migas RI, ini syaratnya
8 Maret 2018 13:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
JAKARTA, kabarbisnis.com: Kementerian Perdagangan merevisi target ekspor non migas tahun 2018 menjadi 11% dari sebelumnya hanya menetapkan 5-6% saja. Keinginan pemerintah tersebut dapat diraih dengan menjadikan industri kelapa sawit sebagai komoditas tumpuan ekspor terdepan.
ADVERTISEMENT
Itu dapat terpenuhi, dengan catatan bahwa sub sektor ini diberikan kemudahan dalam berusaha dan tidak terbebani regulasi yang bersifat kontraproduktif. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menuturkan industri sawit mempunyai empat keunggulan untuk menopang sektor perekonomian nasional. Pertama, perkebunan sawit mampu menyerap tenaga kerja tinggi sampai 8,2 juta tenaga kerja.
Inipun belum termasuk penyerapan tenaga kerja tidak langsung sebanyak 13 juta orang di sektor sawit.“Tanpa komitmen tinggi pemerintah terhadap sawit, apakah bisa mencari komoditas perkebunan yang mampu mempekerjakan 8,2 juta orang,” ujar Bhima dalam diskusi yang bertemakan ‘Selamatkan Ekonomi Nasional Dengan Sawit' di Jakarta, Rabu (7/3/2018).
Kedua, berdasarkan studi penelitian internasional bahwa pendapatan masyarakat di luar Jawa yang bekerja di sawit empat kali lebih tinggi dari garis kemiskinan. Menurut Bhima, pendapatan petani sawit lebih tinggi daripada petani non sawit terutama di wilayah luar Jawa.
ADVERTISEMENT
Keunggulan ketiga, kata Bhima, adalah kelapa sawit meningkatkan kinerja sektor manufaktur terutama pertumbuhan industri makanan dan minuman tertinggi sebesar 9,23% pada 2017.Berikutnya adalah kelapa sawit menjadi penyumbang devisa terbesar Indonesia. Menurut Bhima, smbangan devisa sawit per 2017 mencapai Rp 300 triliun. Porsi ekspor sawit terhadap total ekspor non migas mencapai 15,1%.
Bhima mengatkaan dengan berbagai keunggulan dimiliki sawit untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan ekspor. Seharusnya, pemerintah dapat mengandalkan sawit untuk menopang target pertumbuhan ekspor 11% pada 2018.“Kelapa sawit dapat menjadi andalan ekspor. Walaupun demikian, saya perkirakan ekspor hanya bisa tumbuh tujuh persen tahun ini,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Danang Giriwndrawardana meminta pemerintah lebih bijak dalam penerapan kebijakan lingkungan di industri sawit. Tren isu sustainability sekarang ini lebih fokus kepada persoalan lingkungan hidup (PLANET) daripada kesejahteraan petani (PEOPLE).
ADVERTISEMENT
“Isu meningkatkan pendapatan petani malahan terabaikan. Yang terjadi sekarang kebijakan publik, dalam ranah APL, deforestasi, moratorium, gambut, SK Kawasan Hutan, belum sinergis dan cenderung salah urus,” ujarnya.
Karena itulah, kebijakan pemerintah dinilai belum berpihak untuk penguatan daya saing sawit. Bhima Yudhistira menilai rencana menerbitkan instruksi presiden (inpres) moratorium ijin sawit akan melemahkan industri sawit karena akan berdampak kepada investasi dan ekspor. Apabila ekspor terganggu dapat berdampak buruk kepada devisa nasional.
“Moratorium tidak tepat dijalankan karena menggeneralisir pelaku industri. Kalau ada pelaku yang salah harusnya diberikan punishment kepada yang melanggar. Bukan semuanya (pelaku) kena hukuman,” tambah Bhima.
Menanggapi perkebunan sawit di kawasan hutan, menurut Bambang, pemerintah sedang melakukan pendataan sawit rakyat sebagai langkah inventarisasi kebun yang masuk kawasan hutan dan non kawasan hutan.“Nantinya, lahan petani berada di kawasan hutan akan direlokasi. Melalui upaya ini diharapkan industri sawit dapat menjawab berbagai tuduhan deforestasi dan lingkungan yang terjadi selama ini,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai informasi saja, kinerja ekspor Indonesia mendapat sorotan Presiden Joko Widodo karena masih kalah dengan negara tetangga, seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Sepanjang tahun lalu nilai ekspor Thailand mencapai US$ 236 miliar, Malaysia mencapai US$ 219 miliar (Januari ke November), serta Vietnam mencapai US$ 213 miliar. Sementara Indonesia hanya mencapai US$ 168,7 miliar.