Mengenal Bataha Santiago, Pahlawan Nasional dari Sangihe

Kanyadibya Cendana Prasetyo
Penulis lepas dan staf pengajar di Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
20 November 2023 8:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kanyadibya Cendana Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bataha Santiago (Sumber: A.Willinglly P.Walukow/Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bataha Santiago (Sumber: A.Willinglly P.Walukow/Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November lalu, Presiden Jokowi mengangkat enam pahlawan nasional baru. Salah satu tokoh yang diangkat sebagai pahlawan nasional tersebut adalah Bataha Santiago, raja Katolik dan tokoh Sangihe pertama yang mendapat gelar tersebut.
ADVERTISEMENT
Bataha Santiago adalah raja Kerajaan Manganitu di Kepulauan Sangihe Talaud yang memimpin pada 1670-1675. Ia terlahir pada 1622 di desa Bowongtiwo-Kaunis, Manganitu. Nama Bataha berarti "orang sakti", sementara Santiago adalah nama baptisnya setelah masuk agama Katolik. Ia juga dikenal sebagai Don Sin Jugov dan Jogolov Santiago. Kakeknya, Tolosang, adalah pendiri Kerajaan Manganitu yang pusat kekuasaannya terletak di Kauhis. Wilayah kekuasaannya meliputi Paderehokang sampai Tanjung Lembuwas dan Tanjung Lelapide. Saat ini, Manganitu adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Kerajaan Manganitu menjalin hubungan dekat dengan Filipina karena faktor kedekatan geografis. Saat Spanyol datang ke Filipina dan membawa agama Katolik, Manganitu pun mendapat pengaruh Katolik sehingga raja-rajanya memeluk Katolik. Bataha Santiago juga disekolahkan ayahnya di Universitas Santo Thomas, Filipina. Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia naik takhta sebagai raja.
ADVERTISEMENT
Manganitu melawan VOC
Kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) ke Kepulauan Sangihe mendapat penolakan dari raja-raja Manganitu. Ayah Bataha, Tompoliu, menolak keras kedatangan kapal-kapal VOC di Manganitu. Kebijakan ini kemudian diteruskan Bataha yang sejak awal mencurigai motif perdagangan rempah-rempah VOC.
Meski hanya berkuasa selama 5 tahun, Bataha memiliki kebijakan anti-Belanda yang berdampak besar pada sulitnya VOC menguasai Sangihe. VOC beberapa kali menyodorkan kontrak panjang yang disebut Lange Contract kepada Bataha, tetapi selalu ditolak. Isi kontrak tersebut antara lain, semua tanaman cengkeh harus ditebang, tidak boleh ada agama selain Kristen Protestan, dan semua alat kebudayaan harus dibakar. Isi kontrak tersebut bertentangan dengan situasi dan kondisi Kerajaan Manganitu selama ini yang telah berdagang cengkeh dan menganut agama Katolik. Selain itu, membakar alat kebudayaan sama saja dengan menghilangkan peradaban masyarakat Manganitu. Tak heran Bataha Santiago begitu gigih memperjuangkan kepentingan kerajaan dan masyarakatnya yang terancam oleh kedatangan bangsa Belanda.
ADVERTISEMENT
Meski mendapat penolakan, VOC tidak menyerah begitu saja. Mereka menggunakan beragam strategi untuk membujuk Bataha menandatangani kontrak. Awalnya, VOC mengutus Sultan Kaitjil Sibori, anak Sultan Mandarsyah, untuk membujuk Bataha menandatangi kontrak, tetapi gagal. Sultan Kaitjil Sibori kemudian diminta untuk mempersunting Maimua, putri raja VI Tabukan, agar VOC dan sekutunya bisa masuk Sangihe. Begitu masuk Sangihe, pasukan VOC menyerang Manganitu. VOC juga memanfaatkan sahabat dekat Bataha, Sasebohe dan Bawohanggima, untuk memintanya menyerah, tetapi tak membuahkan hasil.
Pada 1675, Manganitu mendapat tiga kali serangan dari VOC dan diawasi langsung oleh Gubernur VOC untuk daerah Timur, Robertus Padtbrugge. Pihak Manganitu pun tak tinggal diam, baik laki-laki maupun perempuan terjun ke medan perang. Adik Bataha Santiago, Diamanti atau Don Carlos, menjadi panglima perang Manganitu dibantu saudara-saudaranya. Mereka membangun pertahanan di Paghulu dan Batu Bahara. Meski awalnya Manganitu berhasil mematahkan dua serangan VOC, tetapi serangan ketiga melumpuhkan pertahanan mereka di Paghulu dan Batu Bahara. Armada VOC dengan teknologi yang lebih canggih dan modern memang bukan lawan sepadan bagi Kerajaan Manganitu.
ADVERTISEMENT
Lepas dari perang tersebut, Bataha diajak berunding dengan VOC. Namun, perundingan tersebut hanya taktik licik VOC untuk menjebak Bataha. Gubernur VOC, Padtbrugge, berhasil menangkap Bataha dan membawanya ke daerah Tahuna. Bataha Santiago kemudian dihukum pancung di Tanjung Tahuna pada 1675. Adiknya yang bernama Sapela datang mengambil jenazah, tetapi ia hanya bisa membawa kepala Bataha. Ia menguburkan kepala itu di antara pepohonan besar di Desa Karatung I, Kecamatan Manganitu. Makam yang dirahasiakan ini akhirnya terungkap pada 1950.
Di prasasti makam Bataha Santiago terukir kutipan kalimatnya yang terkenal, "Biar saya mati digantung, daripada tunduk kepada penjajah". Kutipan tersebut menjadi bukti bagaimana Bataha Santiago enggan tunduk pada Belanda sekalipun harus mengorbankan nyawanya.
Pahlawan nasional
Patung Bataha Santiago di Pulau Miangas (Sumber: Kemenkeu, KPKNL Manado)
Bataha Santiago resmi meraih gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2023. Namanya saat ini diabadikan menjadi nama markas Kodim 1301/Sangihe dan Korem 131 Sulawesi Utara. Nama Santiago juga diabadikan menjadi nama kelurahan Santiago, tempat di mana diduga ia dihukum mati oleh VOC dan tubuhnya dikebumikan. Patungnya tegak berdiri di Pulau Miangas, wilayah perbatasan Indonesia dan Filipina. Mengingat jasa-jasanya dalam mempertahankan Sangihe dari penjajahan dan tekad kuatnya melawan VOC, sangat pantas ia diangkat menjadi pahlawan nasional.
ADVERTISEMENT