Konten dari Pengguna

PPN Naik 12 Persen: Meningkatkan Penerimaan Negara Tanpa Membebani Masyarakat

Karina Novrilia
Mahasiswi Politeknik Statistika STIS
7 Januari 2025 16:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karina Novrilia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seseorang yang sedang menganalisis data keuangan (Foto oleh FlyFin/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seseorang yang sedang menganalisis data keuangan (Foto oleh FlyFin/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen menjadi topik hangat di tengah masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah. Perdebatan ini semakin sensitif setelah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan merilis daftar barang dan jasa yang akan dikenakan kenaikan tarif PPN pada 19 Desember 2024. Daftar tersebut menimbulkan kekhawatiran karena dinilai bertentangan dengan janji awal pemerintah yang menyatakan kenaikan tarif PPN ini akan difokuskan pada barang-barang mewah yang sebelumnya telah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap kebijakan ini semakin meluas dengan munculnya petisi publik yang menuntut pembatalan kenaikan tarif PPN. Banyak pihak khawatir kebijakan tersebut berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, khususnya kelompok rentan yang masih berjuang pulih pasca-pandemi. Namun, polemik ini berakhir ketika pemerintah menetapkan mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 11 persen menjadi 12 persen yang hanya berlaku khusus untuk barang dan jasa mewah, sementara barang dan jasa lainnya tetap mengikuti kebijakan sebelumnya yaitu sebesar 11 persen. Barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok seperti, beras, daging, ikan, telur, sayuran, susu segar, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, rumah sederhana, air minum tetap dikenakan tarif PPN 0 persen sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen khusus barang mewah, menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif untuk menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan pemerintahan, tetapi juga tetap melindungi masyarakat berpendapatan rendah dengan menjaga tarif PPN untuk barang dan jasa pokok di level 0 persen, serta mempertahankan tarif PPN 11 persen untuk barang dan jasa lainnya.
Dampak Pandemi Covid-19 dan Langkah Reformasi Perpajakan dalam Memperkuat APBN
Pandemi Covid-19 memberikan dampak luar biasa terhadap perekonomian Indonesia, termasuk pada struktur APBN. Selama pandemi, pemerintah menghadapi lonjakan kebutuhan belanja negara untuk berbagai program darurat seperti bantuan sosial bagi masyarakat terdampak, insentif bagi tenaga kesehatan, pengadaan vaksinasi gratis, hingga penanganan pasien Covid-19 yang terus meningkat. Pada saat yang sama, penerimaan negara merosot tajam akibat penurunan aktivitas ekonomi yang menyebabkan defisit APBN meningkat.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menekan kapasitas fiskal pemerintah, menegaskan pentingnya struktur pendapatan negara yang kuat untuk menghadapi situasi darurat. Reformasi perpajakan diperlukan agar APBN dapat mendukung belanja negara tanpa bergantung pada utang. Oleh karena itu, meningkatkan penerimaan pajak menjadi langkah krusial untuk memulihkan ekonomi dan memastikan keberlanjutan program bagi masyarakat.
Dalam konteks tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai upaya reformasi sistem perpajakan nasional. Salah satu poin penting dalam undang-undang ini adalah kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dirancang secara bertahap, yakni menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna menutup defisit APBN, tetapi juga untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien. Dengan mengarahkan penerimaan dari pajak konsumsi, pemerintah berharap dapat memperkuat perekonomian negara untuk menghadapi tantangan ekonomi di masa depan.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan Sosial dan Ekonomi serta Dampak Kenaikan PPN terhadap UMKM
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2024, Gini ratio Indonesia tercatat sebesar 0,379. Angka tersebut mengindikasikan ketidakmerataan ekonomi antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah. Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa kenaikan tarif PPN yang merata dapat memperburuk kesenjangan sosial, di mana masyarakat dengan pendapatan rendah akan semakin terbebani oleh pajak, sementara kelompok berpendapatan tinggi lebih mampu menanggung beban tersebut.
Kenaikan tarif PPN untuk semua barang dapat memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia. Masyarakat berpendapatan rendah, yang sebagian besar mengonsumsi barang-barang pokok dan bukan barang mewah, tetap akan merasakan dampaknya secara tidak langsung. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa barang kebutuhan pokok akan bebas dari tarif PPN tinggi, adanya kenaikan tarif ini dapat memicu inflasi di berbagai sektor yang pada akhirnya menyulitkan masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, dengan ketimpangan yang masih tinggi, kebijakan ini seharusnya lebih dipertimbangkan untuk tidak diberlakukan secara luas, karena bisa meningkatkan ketidaksetaraan pendapatan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dampak kebijakan kenaikan PPN terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga menjadi perhatian serius. UMKM, yang sebagian besar beroperasi dalam sektor barang dan jasa kebutuhan pokok, akan merasakan dampak langsung dari kenaikan tarif PPN. Meskipun barang pokok dikecualikan dari kenaikan tarif, harga barang dan jasa lainnya yang diproduksi oleh UMKM, serta biaya operasional dapat meningkat akibat kebijakan ini. Hal ini berpotensi membuat UMKM kesulitan dalam mempertahankan daya saing mereka. Selain itu, kenaikan tarif PPN dapat mempengaruhi daya beli konsumen yang menjadi pelanggan utama bagi UMKM, sehingga mengurangi volume penjualan dan memperburuk kondisi keuangan para pelaku UMKM.
Dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi dan dampak negatif terhadap UMKM, kebijakan kenaikan PPN sebesar 12 persen perlu ditinjau ulang. Kebijakan ini, meskipun bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, berisiko menambah beban bagi kelompok rentan dan memperburuk kesenjangan sosial. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampaknya secara matang untuk memastikan kebijakan yang mendukung pemerataan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Mengapa Kebijakan Ini Diperlukan?
PPN merupakan salah satu sumber pendapatan utama yang sangat vital bagi negara. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi PPN terhadap total pendapatan negara (TPN) pada tahun 2023 mencapai 28,95 persen dengan jumlah sekitar Rp 811,4 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa PPN memiliki peran strategis dalam penerimaan negara. Sebagai salah satu instrumen utama dalam sistem perpajakan, PPN memiliki peran strategis dalam memastikan negara memiliki dana yang cukup untuk membiayai berbagai program pembangunan dan belanja sosial.
Dalam UU HPP, memang disebutkan bahwa kenaikan tarif PPN tidak hanya berlaku untuk barang mewah, tetapi juga untuk sejumlah barang lainnya. Namun, pemerintah memilih untuk menerapkan kenaikan tarif PPN hanya untuk barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Keputusan ini diambil dengan tujuan agar kebijakan kenaikan PPN tidak membebani kelompok masyarakat yang lebih rentan, terutama kalangan menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menyadari bahwa meskipun kenaikan tarif PPN dapat membantu memperkuat APBN, kebijakan ini harus diambil dengan cermat agar tidak memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang masih dalam proses pemulihan setelah pandemi. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Tidak hanya berfokus dalam menyehatkan APBN negara tetapi juga pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Penutup
Secara keseluruhan, kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada barang mewah adalah langkah yang tepat dan strategis untuk mendukung pemulihan ekonomi Indonesia terutama kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pasca-pandemi. Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Selain itu, dengan tetap menjaga tarif PPN 0 persen untuk barang-barang kebutuhan pokok, kebijakan ini akan mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi yang sudah ada. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang, tidak hanya untuk memperkuat perekonomian negara, tetapi juga untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil tetap menjaga keseimbangan antara pemulihan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Sumber
Badan Pusat Statistik. (2024, Juli 1). Gini ratio Maret 2024 tercatat sebesar 0,379. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/07/01/2371/gini-ratio-maret-2024-tercatat-sebesar-0-379-.html
Badan Pusat Statistik. (2024). Realisasi pendapatan negara. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTA3MCMy/realisasi-pendapatan-negara.html