Bahas Kopi Bareng Ardhi Rasy Wardhana, CEO Cultuur Volk di Samarinda

Konten Media Partner
11 November 2019 9:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ardhi Rasy Wardana, CEO dari Cultuur Volk, sebuah coffee shop and space yang terletak di Jalan M. Yamin No 72. | Photo by Karja/Nadya
zoom-in-whitePerbesar
Ardhi Rasy Wardana, CEO dari Cultuur Volk, sebuah coffee shop and space yang terletak di Jalan M. Yamin No 72. | Photo by Karja/Nadya
ADVERTISEMENT
10 November merupakan tanggal yang diperingati sebagai Hari Pahlawan dan menjadi hari yang penting dalam sejarah Indonesia. Hari tersebut dikenang sebagai perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mengenang dan memaknai jasa para pahlawan yang telah berjuang dalam memperjuangkan bangsa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tidak perlu memulai dengan sesuatu yang sangat besar, sebagai generasi muda, kamu bisa memulai dari diri sendiri dan membawa perubahan bagi sekitar dengan berani memulai.
Sudah saatnya generasi muda bangkit dan berjuang di bidang yang dipilih dan tidak hanya memaknai Hari Pahlawan tanpa memberikan aksi nyata. Heroes have been integral part of human history.
Selama ini, kita selalu tertarik dengan kisah-kisah heroik dan merasa terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Nowadays, there are countless ways to be hero, and it doesn’t always mean to go to war zone.
Seperti kisah inspiratif dan perjuangan Ardhi Rasy Wardhana, seorang perantau dari Jakarta yang baru setahun belakangan ini menetap di kota Samarinda. Awal November kemarin, Ia bersama kedua rekannya baru saja membuka sebuah coffee shop and space dengan konsep dan nilai yang sangat kuat serta inspiratif, bernama Cultuur Volk.
ADVERTISEMENT
Pada hari Jumat (08/11) siang, Karja berkesempatan untuk mengobrol dan berdiskusi dengan CEO dari Cultuur Volk tersebut mengenai berbagai hal, mulai dari konsep dan nilai Cultuur Volk, Ki Hajar Dewantara, kopi, serta anak-anak muda di Samarinda.
Pria yang biasa disapa Ardhi sendiri lahir dan besar di Jakarta. Setelah lulus dari bangku SMA, ia melanjutkan studinya dengan berkuliah di Bandung, tepatnya di Institut Teknologi Bandung jurusan Teknik Pertambangan. Bermodalkan restu orang tua serta keberanian dari dalam diri, setelah menyelesaikan kuliahnya ia pun memutuskan untuk pergi merantau ke Samarinda.
Cultuur Volk memiliki konsep ingin menjadi sebuah ruang publik yang sifatnya edukatif terhadap masyarakat. Ardhi menjelaskan bahwa visi besar dari Cultuur Volk adalah menjadi ruang untuk bisa memelihara jiwa, pikiran, serta tubuh para pengunjung yang datang. “Jadi, ketika hadir di sini, kita sama-sama self healing yang sifatnya itu mencari ketenangan, mencari tempat yang homey.” cerita Ardhi. Photo by Karja/Nadya
Dalam kurun waktu satu tahun menetap di Samarinda, Ardhi merasa menemukan adanya kesenjangan mengenai anak muda yang ada di Samarinda dengan anak muda di Jakarta maupun Bandung. Ia merasa bahwa ada satu hal yang tidak ia temukan pada teman-temannya di Jakarta dan Bandung, namun justru ada di Samarinda.
ADVERTISEMENT
“Pas aku datang ke sini, aku menemukan ada gap lah ya, tapi bukan tentang budaya. Gap itu terkait dengan yang sifatnya inferiority complex sebenarnya. Aku mencoba mengkomparasi, dan memang inferiority-nya di sini cukup tinggi. Apalagi ketika teman-teman di sini menyandingkan sama teman-teman yang ada di Jawa. Itu sih yang menurut aku menjadi suatu gap dan masalah yang kita hadapi,” kata Ardhi.
Permasalahan tersebut dirasa Ardhi bersama rekannya sebagian besar berasal dari para anak muda. “Kalau sesama anak muda yang dari sini, oke-oke saja merekanya. Tapi ketika ada yang lain dari luar, nah hal itu muncul dan ujungnya bisa jadi ada yang ke arah positif, mungkin jadi pengen belajar, tapi ada juga yang ke arah negatif yang mungkin bisa bikin down, atau nggak jadinya muncul sentimen negatif,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Niat Ardhi merantau ke Samarinda adalah untuk membuka usaha, meskipun awalnya bukan usaha coffee shop seperti ini. “Cuma di tengah jalan, ya mungkin jalan Allah juga ya, akhirnya mempertemukan aku sama yang punya tempat ini sebelumnya (Blackbird Coffee), namanya Holid. Setelah kenal, ngobrol panjang, dan ternyata kita cocok. Setelah itu, berlanjut partner-an. Kebetulan Bang Holid lagi di Kuwait, jadi coffee consultant dan barista di sana. Hal itu ngebuat komunikasi jadi by phone, dan persiapannya remote semua,” ceritanya.
Passionate, Human Centered, and Contributive. | Photo by @cultuurvolk on Instagram
Ada tiga nilai yang ingin disampaikan oleh Cultuur Volk, yakni passionate, human centered, dan contributive. Tentang passionate, Ardhi menuturkan, “Kita punya gairah tentang apa yang kita kerjakan, kita punya jiwanya disitu. Pekerjaannya apa? Enggak harus karya seni, enggak harus sebatas karya akademik, tapi juga apapun yang kita cintai. Nah, di situlah mimpi kami, di mana tempat ini bisa menjadi creative hub dan ketika berkumpul di sini memang menjadi sebuah pusat pemikiran, pusat gerakan, pusat diskusi, dan pusat hal-hal yang sifatnya bisa menjadi perubahan bagi Samarinda."
ADVERTISEMENT
Sedangkan terkait human centered, Ardhi mengatakan bahwa mereka tidak pernah menjanjikan bahwa pelanggan adalah raja. Ketika ingin menjadikan manusia sebagai center, otomatis bukan hanya pelangganlah yang menjadi center. “Semua harus bisa saling menghargai, dan ketika suasana atau environment saling apresiasi ini muncul, itulah yang disebut sebagai human centered. Kami juga ingin barista kami itu emang open dan ngobrol sama customer serta saling peduli dan juga berempati,” ceritanya.
Last but not least, contributive. Ketika sudah memiliki passion yang berasal dari dalam diri, lalu menjadikan keseharian dengan terus menghargai sesama dan mencoba untuk menghargai diri sendiri, hal-hal tersebut bertujuan untuk satu pencapaian: kontribusi terhadap masyarakat.
Disebutkan bahwa tugas manusia yang paripurna adalah membentuk dari yang namanya natuurvolk atau uncivilized people menjadi cultuurvolk atau civilized people. Dengan nama Cultuur Volk harapannya bisa menjadi doa. “Konsep yang sudah kami rancang itu juga kompatibel dengan kondisi masalah Samarinda, dan cocok dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Jadi, salah satu strategy delivery value kami dengan menjadikan beliau sebagai ikon,” papar Ardhi. | Photo by @cultuurvolk on Instagram
Setelah ditelaah lebih jauh, apa yang telah Ardhi dan rekannya konsepkan serta tiga nilai dari Cultuur Volk ternyata cocok dengan salah satu pemikiran dari tokoh pelopor pendidikan di Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara.
ADVERTISEMENT
Pria yang gemar membaca buku ini menuturkan, “Jadinya kok kayaknya pemikiran yang kita jalani sekarang itu kesannya baru, modern, tapi sebenarnya tuh enggak. Itu udah muncul dari abad 20-an awal, ketika Ki Hajar Dewantara bikin salah satu buku yang judulnya Menuju Manusia Merdeka. Nah dari pemikiran itu, muncul nama Cultuur Volk.”
Ada pemikiran menarik di balik konsep self service yang diusung oleh Cultuur Volk. Ardhi menjelaskan bahwa ketika seorang manusia semuanya ingin serba dilayani, itu akan menjadikan manusia tersebut menjadi kerdil dengan sendiri, dan hal tersebut merupakan bentuk dari ketidaksayangan pada diri sendiri. “Makanya dengan konsep self service ini, supaya kita bisa menyayangi dan memelihara diri sendiri, walaupun porsinya kecil. Jadi, teman-teman tetap diantarin makanannya, tapi ketika udah beres, teman-teman bisa membersihkannya sendiri ke tempat yang sudah disediakan.” | Photo by Karja/Nadya
Selain untuk meminimalisasi sampah plastik sekali pakai, pemilihan botol kaca juga ternyata sebagai bentuk kritik terhadap mayoritas coffee shop sekarang yang menggunakan wadah plastik.
“Jadi kayak daripada pakai gelas, di coffee shop-nya tetap pakai plastik, maksudnya langsung buang. Emang sih, simple dan murah. Namun, dampaknya luar biasa. Makanya kami nggak menggunakan sampah-sampah sekali pakai, termasuk sedotan. Hal ini juga sesuai dengan salah satu nilai kami, yaitu contributive."
ADVERTISEMENT
"Biarpun sedikit, tapi mulai dari sini, harapannya orang-orang lain juga bisa mengikuti. Sedikit demi sedikit, mau mencoba untuk mengubah kebiasaan itu ke tempat-tempat lain juga, dengan mengurangi sampah plastik dan menyebarkan campaign terkait hal-hal tersebut,” ceritanya.
”Kami percaya bahwa orang-orang yang suka baca dan diskusi akan membentuk pemikiran-pemikiran baru dan semakin menghargai pemikiran-pemikirna orang lain,” tutur Ardhi mengenai mini library yang tersedia di Cultuur Volk. Kalian juga bisa menyumbangkan koleksi bukumu di sini lho! | Photo by Karja/Nadya
Dari sekian banyak macam bisnis yang bisa dirintis, pilihan Ardhi jatuh kepada kopi. Ia pun bercerita bahwa mulai memiliki ketertarikan pada kopi sejak duduk di bangku SMA. Saat itu, ada satu coffee shop favoritnya di Jakarta bernama Kopikina.
“Itu coffee shop pertama yang bikin aku sampai pada pemikiran, ‘Oh, kopi kok segininya, sih? Kenapa kopi harus begini-begini?’ aku bingung aja waktu itu. Kenapa ada banyak beans, dan Kopikina itu specialty coffee-nya segitu banyak dan segitu lengkapnya. “
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Ardhi menambahkan, “Kopi itu meningkatkan kesadaran. Ketika kita ingin berkarya, ingin lebih hidup, ingin lebih bermanfaat buat orang lain, tentu kita harus meningkatkan kesadaran kita. Kalau bisa sedikit tidur, kalau bisa lebih banyak berpikir. Nah, salah satunya dengan kopi. Itu yang kayaknya ngebuat kopi menjadi hal yang esensial buat aku.”
Dalam waktu dekat, botol kaca satu ini bisa kamu bawa pulang dan ketika repurchase, kamu bisa mendapat potongan sebesar Rp 5.000, lho. Tidak cuma itu, dengan membawa tumblr sendiri kamu juga bisa mendapat potongan yang sama! | Photo by Karja/Nadya
Ada cukup banyak kendala yang dihadapi Ardhi saat mulai membangun Cultuur Volk. Namun, komunikasi jarak jauh dengan rekan bisnis serta terkait market research merupakan dua kendala yang menurutnya cukup menantang.
“Pertama kali market research lumayan capek juga. Di sini, orang-orang berbisnis tidak terbiasa dengan market research, dan hal itu juga ngebuat respondennya tidak terbiasa untuk mengisi market research. Jadi susah banget nyari data-data anak Samarinda yang emang mau ngebantu isi. Banyak yang bertanya, ‘Buat apa, sih, bikin begituan? Kenapa nggak buka, ya buka aja gitu.” Itu yang emang dari awal ngebudayainnya aja susah,” ceritanya.
ADVERTISEMENT
Perkembangan kedai kopi di Samarinda bisa dibilang berkembang sangat pesat. Banyak coffee shop baru yang terus bermunculan hampir di setiap bulan. Secara tidak langsung, hal tersebut membuat persaingan antar pebisnis kopi terus meningkat. Lantas, bagaimana pendapat Ardhi mengenai hal tersebut?
Selain memiliki konsep yang kental dan kuat terkait masalah merek, ide, dan ideologi, serta produk, Cultuur Volk juga menawarkan ruang bagi masyarakat untuk mengadakan kegiatan yang bisa menimbulkan kolaborasi baru. Ardhi memaparkan bahwa Cultuur Volk bisa menjadi ruang untuk berbagi dan mengembangkan pikiran, serta berkontribusi bersama-sama bagi Samarinda.
Ardhi saat memberikan pidato kelulusan tahun lalu di Upacara Wisuda Ketiga Institut Teknologi Bandung. For your information, Ardhi pernah membuat netizen se-Indonesia kagum dengan pernyataannya saat berbicara di acara debat Mata Najwa episode Kartu Kuning Jokowi. | Photo by @ardhirasywardhana
Pria yang pernah menjabat sebagai Presiden Kabinet Mahasiswa (KM) ITB Periode 2017/2018 itu juga bercerita mengenai penolakan yang pernah Ia dapatkan saat ingin mengadakan diskusi di beberapa coffee shop.
ADVERTISEMENT
“Sayang banget, sih. Coffee shop yang pada awalnya itu di Jazirah Arab, emang dibuat para scholar untuk berpikir dan berdiskusi, kemudian debat, adain event buat ngobrol, bedah buku dan lain sebagainya, tapi justru di sini hal tersebut bergeser gitu."
"Justru pada hari ini udah nggak kayak gitu lagi, dan malah sebaliknya. Coffee shop dibatasi oleh dirinya sendiri. Nah, itu yang pengin aku hilangkan. Mencoba membiasakan orang-orang disini harus berani berpikir, ‘oh ya, aku pengen adain diskusi ini kira-kira boleh nggak.’ Itu yang pengen aku biasakan,” ucap Ardhi.
Saat ditanya rencana ke depannya Ardhi mengaku bahwa ingin membuat sebuah discussion room dan workshop room di Cultuure Volk. Ia ingin semuanya menjadi sustain, “Jadi di lantai dua ini emang untuk ngopi dan diskusi, lantai tiga fokus untuk kerja, nah lantai empat itu jadi workshop room untuk berkreasi. Harapannya, di lantai dua ini juga bisa jadi market place, jadi setelah bikin kerajinan dan sebagainya di atas, jualnya bisa di sini.” ucap Ardhi. | Photo by Karja/Nadya
Ardhi berpendapat bahwa anak muda zaman sekarang memiliki waktu luang yang sangat banyak. Walaupun tidak punya power, pengalaman, maupun uang, tetapi mempunyai waktu luang. Pesan dari Ardhi adalah alokasikan waktu luang itu untuk sesuatu yang memang disukai serta bisa bermanfaat bagi orang lain.
ADVERTISEMENT
”Dulu aku menimbang, kegiatan apa sih, sebenarnya yang bisa mengisi waktu luang dan sekaligus menghabiskan waktu paling banyak tapi juga bisa bermanfaat untuk orang lain. Pertama aku ngerasa, mungkin emang harus ke organisasi masyarakat, yang sosial. Itu kan secara langsung, tapi organisasi sosial ini tidak secara langsung bisa mendekatkan aku dengan motif ekonomi. Oleh karena itu, aku ingin, gimana caranya semua berjalan, tapi aku juga tetap sustain hidup, karena aku kan pasti butuh juga secara pemasukan. Satu-satunya jalan di mana kamu bisa langsung bermanfaat bagi orang lain karena kamu membuka lapangan kerja, terus juga men-deliver sesuatu kepada customer, ya itu dengan cara membuka jasa atau membuka usaha,” katanya.
Sebelum menutup perbincangan siang itu, Ardhi menyampaikan, “Karena menurut aku kalau kita sebatas mimpi, itu tuh mudah. Kita pengen a b c d e, itu mudah. Tapi kalau mimpi, pake n, atau mimpin, itu pakai nyali. N nya itu nyali. Itu yang luar biasa. Jadi, anak-anak muda, jangan biasa-biasa aja, jadilah luar biasa,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
#terusberkarya