Konten dari Pengguna

Kesenjangan antara Kurikulum Perguruan Tinggi Indonesia dan Kebutuhan Industri

Kelvin Faza
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28 Oktober 2024 10:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelvin Faza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://unsplash.com/photos/blue-and-white-academic-hat-iggWDxHTAUQ
zoom-in-whitePerbesar
https://unsplash.com/photos/blue-and-white-academic-hat-iggWDxHTAUQ
ADVERTISEMENT
Kesenjangan antara kurikulum perguruan tinggi di Indonesia dan kebutuhan industri telah menjadi isu yang ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir. Pasalnya, banyak lulusan perguruan tinggi yang mengeluhkan bahwa apa yang mereka pelajari di kampus mulai tidak relevan dengan kebutuhan pasar kerja di era industri 4.0. Berdasarkan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), pada tahun 2023 terdapat peningkatan jumlah pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya. Tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan sarjana meningkat dari 4,80% hingga 5,18% dan untuk lulusan diploma dari 4,59% hingga 4,79% (BPS, 2024). Ini menunjukkan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab utama dari masalah ini adalah ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan tinggi dan kebutuhan industri. Dalam banyak kasus, kurikulum di perguruan tinggi masih menerapkan budaya lama dengan memberikan fokus yang lebih besar kepada teori akademis, sementara keterampilan praktis dan soft skills yang sangat dibutuhkan di dunia kerja seringkali terabaikan. Akibatnya, lulusan mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kerja yang dinamis dan terus berkembang, serta tidak mampu menyelesaikan masalah nyata yang dihadapi perusahaan.
Pada era ini, kemajuan ilmu telah dipicu oleh lahirnya sains dan teknologi yang serba otomatis lewat komputer atau aplikasi digital. Salah satu ciri yang paling populer pada era industri 4.0 ialah semakin bertautnya dunia ilmu pengetahuan, sehingga sinergi di antaranya menjadi semakin cepat dengan bantuan internet/teknologi (Wijaya et al., 2016). Hal ini mengindikasikan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk memperbaharui kurikulum agar lebih relevan dengan perkembangan industri dan teknologi.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Laporan survey pekerjaan masa depan dari World Economic Forum (WEF) menyatakan bahwa 85 juta pekerjaan akan hilang dan 12 juta pekerjaan baru akan muncul pada tahun 2025 karena otomatisasi dan perkembangan teknologi (WEF, 2020). Namun, banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengambil alih posisi-posisi tersebut.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, Perguruan tinggi harus berkolaborasi dengan perusahaan untuk merancang kurikulum yang mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan. Achmad Zaky (2024), mantan CEO Bukalapak sekaligus pendiri Universitas Cakrawala, menganggap bahwa kurikulum yang dirumuskan berbasis kebutuhan industri membuat mahasiswa tidak perlu belajar sesuatu yang tidak relevan. “Belajar dari Western Governors University sebagai penyuplai lulusan siap kerja terbanyak untuk Google, Facebook dan lainnya. Bukan Stanford University.” ujarnya. Kolaborasi ini tidak hanya menguntungkan mahasiswa, tetapi juga perusahaan yang mendapatkan akses ke talenta muda yang terlatih.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan industri juga dapat membantu pengembangan keterampilan mahasiswa dengan membukakan peluang praktik dan implementasi pendidikan yang mereka dapatkan dari kampus pada lapangan kerja yang nyata. Sebagai contoh, Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang merupakan bagian dari inisatif Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia sejak 2021 ini, merupakan langkah positif untuk menjembatani keterlibatan ini. Melalui, program ini mahasiswa dapat memiliki dan mempelajari pengalaman kerja yang nyata sambil masih menempuh pendidikan.
Keterampilan soft skill, seperti kemampuan berkomunikasi, kerja tim, dan kepemimpinan, juga semakin penting di dunia kerja. Kajian yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional RI menyatakan bahwa “kesuksesan seseorang dalam pendidikan, 85% ditentukan oleh Soft Skills.” (Depdiknas, 2009). Namun, kurikulum di banyak perguruan tinggi masih kurang memberikan penekanan pada pengembangan keterampilan ini. Hal ini berdampak pada kenyataan bahwa lulusan mungkin sangat terampil secara teoritis dan praktis, tetapi tidak memiliki kemampuan interpersonal yang diperlukan untuk berkolaborasi dalam lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan antara kurikulum perguruan tinggi Indonesia dan kebutuhan industri adalah masalah kompleks yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak terkait. Dengan melibatkan industri dalam pengembangan kurikulum dan keterampilan mahasiswa, serta memperkuat keterampilan soft skill, kita dapat menciptakan lulusan yang lebih siap menghadapi tantangan di dunia kerja. Kita perlu menyadari bahwa pendidikan tinggi bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang membekali mahasiswa dengan keterampilan dan pengetahuan yang relevan. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa lulusan perguruan tinggi tidak hanya siap untuk bekerja, tetapi juga siap untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa.