Konten dari Pengguna

Jejak Perempuan dalam Perang Dunia II

BEM FIS UM
Akun Resmi portal kabar berita BEM FIS UM Dikelola oleh Departemen Riset dan Teknologi
19 Oktober 2021 12:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BEM FIS UM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perang dunia II adalah perang global yang berlangsung tahun 1939 – 1945 dan melibatkan beberapa negara. Negara yang terlibat pada perang dunia II ini terbagi menjadi dua aliansi, yaitu blok poros yang terdiri dari negara Jerman, Italia, dan Jepang serta blok sekutu yang terdiri atas Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Perang dunia meninggalkan dampak yang besar diseluruh dunia. Tentunya, hal tersebut juga meninggalkan duka yang mendalam bagi masyarakat sipil. Banyak para tentara dan masyarakat sipil yang menjadi korban dalam perang dunia ini, baik korban nyawa maupun material. Tentara yang meninggal dalam peperangan tak sedikit meninggalkan kekasih mereka, sehingga perempuan harus menjadi janda karena ditinggalkan oleh para suami atau anak-anak mereka yang gugur di medan perang. Para perempuan tersebut adalah orang-orang yang dengan berani harus menanggung berita, dan terus berjalan meskipun suami, anak, dan saudara mereka terbunuh.
Dengan kondisi berduka akibat perang besar tersebut, perempuan-perempuan pada saat itu harus tetap melanjutkan kehidupan, terutama di tengah perang yang sedang berlangsung. Berdasarkan buku yang ditulis Emilly Yellin yang berjudul “Our Mothers' War: American Women at Home and at the Front During World War II” menggambarkan kehidupan perempuan ketika masa perang. Banyak para perempuan yang bekerja di perkebunan maupun melakukan pekerjaan sukarela di kantin USO (United Service Organizations), perawat, pengasuh anak, dan lain-lain. Tentunya hal tersebut merupakan pekerjaan-pekerjaan yang masih permulaan bagi perempuan.
Sumber : Foto seorang perawat perempuan-https://history.army.mil/topics/women/gallery.htm
Ketika peran perempuan mulai diperhitungkan, mereka pun mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan esensial yang biasa dilakukan laki-laki, bahkan terkadang harus menempatkan mereka di tengah-tengah medan peperangan seperti dokter, pilot, pengemudi tank, penembak mesin, dan penembak jitu. Di Amerika sendiri, lebih dari 350.000 perempuan yang bertugs di angkatan bersenjata pada perang dunia. Ternyata peran para perempuan tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam kemenangan perang, meskipun pemerintah sendiri membatasi keterlibatan perempuan dalam perang.
Sumber : Tentara perempuan pada perang dunia II-https://www.theatlantic.com

Tokoh perempuan yang Berperan dalam Medan Pertempuran Perang Dunia II

Beberapa contoh tokoh perempuan yang cukup berperan pada perang dunia adalah Jane Kendeigh. Dia adalah seorang perawat penerbangan. Kendeigh dilatih sebagai perawat dan dilatih dalam prosedur kecelakaan, kelangsungan hidup, serta cara menyesuaikan perawatan pada pasien di ketinggian. Kendeigh dan rekan-rekan perawat penerbangannya, akan mengevakuasi sekitar 2.393 marinir dan pelaut dari Iwo Jima (sebuah pulau di Jepang), merawat pasien mereka dalam proses pemindahan ke rumah sakit yang beroperasi. Adapula Nancy Harkness Love yang merupakan pilot wanita pertama di Angkatan Udara Angkatan Darat (AAF) dan pendiri dan komandan WAFS dalam Perang Dunia II. Tugasnya dan kelompok pilot wanita mengangkut pesawat dan pasokan dari pabrik ke pangkalan udara, sehingga lebih banyak pilot pria tersedia untuk bergerak ke depan. Love melatih wanita yang mendaftar ke skuadron, kemudian digabungkan dengan Women Air Force Service Pilots (WASPS) pada tahun 1943.
ADVERTISEMENT
Sumber : Nancy Harkness Love di depan pesawatnya-https://airandspace.si.edu
Keterlibatan perempuan di medan perang dan dalam pekerjaan-pekerjaan esensial yang dilakukan laki-laki ternyata meningkatkan angkatan kerja untuk perempuan. Banyak orang yang memuji propaganda perang untuk menarik para perempuan ke dalam angkatan kerja selama perang. Angkatan kerja ini membuat perempuan menjadi lebih dihargai dan mendapat pekerjaan yang berbayar. Hal ini merupakan permulaan peningkatkan sektor profesional dan pendidikan perempuan diawal abad ke-20. Angka pemerintah menunjukkan, bahwa pekerjaan perempuan meningkat selama Perang Dunia Kedua dari sekitar 5,1 juta pada tahun 1939 (26%) menjadi lebih dari 7,25 juta pada tahun 1943 (36% dari semua wanita usia kerja). Empat puluh enam persen dari semua wanita berusia antara 14 dan 59 tahun, dan 90% dari semua wanita lajang yang berbadan sehat antara usia 18 dan 40 tahun terlibat dalam beberapa bentuk pekerjaan atau Layanan Nasional pada September 1943 (HM Government, 1943, hal. 3). Tingkat pekerjaan bisa saja lebih tinggi karena pembantu rumah tangga yang dilakoni perempuan belum dimasukan ke dalam daftar tersebut.
ADVERTISEMENT
Tentunya hal ini tidak banyak dibahas di sejarah-sejarah mainstream yang ditulis pemerintah di mana hanya suara dan peran laki-laki yang dicatat dalam sejarah. Seorang jurnalis bernama Svetlana Alexievich yang menelusuri oral history dari para perempuan yang ada di Perang Dunia II mengatakan jika “. . . sejarah perang telah digantikan oleh sejarah kemenangan.” Dimana dalam konteks ini, banyak yang menyorot keterlibatan perempauan dalam Perang Dunia II. Dengan demikian, historiografi atau tulisan sejarah seharusnya juga lebih banyak menampilkan persepektif dari perempuan itu sendiri khususnya pada tema-tema militer, sehingga sejarah yang ditapilkan pada publik tidak selalu patriarkis yang menonjolkan peran laki-laki saja.
Reporter : Rizka Salsabila Mafa’idah
LPM IS Bumantara FIS UM
ADVERTISEMENT