KKB Papua Punya Status Baru, Bagaimana Polri dan TNI?

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Konten dari Pengguna
8 Mei 2021 19:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Eskalasi serangan KKB, aparat Polri-TNI tingkatkan patroli di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Selasa (20/4). Foto: Puspen TNI
zoom-in-whitePerbesar
Eskalasi serangan KKB, aparat Polri-TNI tingkatkan patroli di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Selasa (20/4). Foto: Puspen TNI
ADVERTISEMENT
Sebenarnya bagi kepentingan propaganda, status KKB itu lebih tepat. Sudah berkelompok, melakukan aksi kriminal, menggunakan senjata standar militer pula. Tanpa status organisasi teror sekalipun, Polri dan TNI tak punya hambatan regulasi untuk menanganinya.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, seorang jurnalis media daring mengirim sebuah tautan berita yang memuat pernyataan juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) --yang baru saja diberi status sebagai organisasi teror-- bahwa mereka siap 'menyambut' kehadiran Polri-TNI. Si jurnalis juga bertanya pada saya, "siapa bakal menang bang?"
Sejak awal saya termasuk yang tidak sepakat dengan penyematan status organisasi teror pada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Segala macam bentuk kejahatan bisa dilekatkan padanya. Mulai maling, rampok, pembunuh, teroris, ekstremis, dan sebagainya. Apalagi kalau paket lengkap.
Yang gak tepat itu justru ketika kita tak menyebut KKB, misalnya pada kawanan begal yang beraksi di Depok. Atau sebaliknya, hanya menyebut "organisasi teroris" pada kelompok lain yang melakukan kejahatan serupa dengan yang terjadi di Papua, misalnya pada kelompok MIT di Sulteng.
ADVERTISEMENT
Soal KKB saya kira dengan atau tanpa adanya eskalasi serangan belakangan ini (termasuk serangan yang menewaskan Kabinda Papua Brigjen Putu Danny Karya) tentu saja tetap harus dilakukan penindakan dan itu kan memang selama ini terus berjalan.
Nah adanya eskalasi dan intensitas serangan di Papua belakangan ini, kemudian memperkuat alasan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan bersenjata memang harus dilakukan.
Penyematan istilah KKB juga sudah selaras dengan pola penanganan selama ini, yaitu melalui operasi penegakan hukum dan keamanan dalam negeri oleh Polri, dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) menghadapi ancaman bersenjata oleh TNI.
Lagi pula, kita juga belum pernah tuntas berdebat, mengapa gangguan keamanan dan kekerasan terus terjadi di Papua? Apakah atribusi yang berbeda akan diiringi dengan skema penanganan yang berbeda dan membawa konsekuensi dan implikasi yang berbeda? Yang jelas, hal itu belum tentu positif bagi keamanan dan kualitas hidup warga Papua.
ADVERTISEMENT
***
Di awal menjabat Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dalam wawancaranya dengan BBC mengatakan Pemerintah Indonesia menganggap kampanye untuk memisahkan Papua dari Indonesia tidak mengandung unsur baru.
Seperti sesuatu yang sangat besar, tapi sebenarnya tidak. Itu dia poinnya. Retno bersikap seolah pembukaan kantor itu bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ia tak mau menunjukkan kepanikan, kemarahan, dan kekecewaan, karena bisa menjadi promosi dan kampanye gratis OPM di panggung internasional.
TPNPB ini sebenarnya kecil. Di atas kertas, bisa dilihat bahwa kekuatan kelompok ini sebenarnya sangat tidak setara dengan TNI apalagi jika ditambah Polri, baik dari jumlah personel maupun persenjataan. Keunggulan mereka memang terutama ada pada penguasaan medan, kemampuan berbaur secara fisik dengan masyarakat dan kemampuan meraih simpati dari propagandanya.
ADVERTISEMENT
Teror adalah alat penyampai pesan yang efektif. Teror juga dikelompokkan sebagai hate crime, kejahatan berbasis kebencian. Bagi para pelakunya, teror adalah bentuk balas dendam atas apa yang mereka persepsikan sebagai kezaliman, penindasan ataupun ketidakadilan.
Lantas siapa yang akan menang? Lagi-lagi di atas kertas, mestinya Polri dan TNI lebih berpeluang unggul. Tapi faktanya di lapangan, itu antara lain akan tergantung pada:
Pertama, kemampuan Polri-TNI menjaga moril dan mental prajurit. Dalam konflik, peluang terjadinya perubahan sikap dan perilaku atau gangguan moril dan mental selalu ada. Entah karena intimidasi, iming-iming materi maupun alasan-alasan ideologis.
Kedua, kemampuan Polri-TNI melakukan propaganda yang kuat dan efektif untuk meraih simpati dan dukungan. Nah, propaganda yang paling berpeluang berhasil adalah propaganda dengan dukungan "fakta" kuat. Propaganda yang mampu menunjukkan harapan dan sangat dekat dengan realita.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kemampuan Polri-TNI menghindari terjadinya praktik buruk dan kekerasan yang tidak patut (improper violence) oleh prajuritnya di medan operasi di Papua.
***
Perlu diingat, perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah contoh konkret kemampuan dan keberhasilan dalam aspek-aspek tersebut di atas. Bayangkan jika perjuangan kemerdekaan kita gagal pada waktu itu, bisa jadi sampai hari ini para pendiri republik akan dicap sebagai ‘extremist’.
Lantas mampukah Polri dan TNI melakukan tiga hal penting di atas? Kita lihat saja, apakah ke depan tidak akan ada lagi penjualan amunisi, pembelotan prajurit dan kekerasan salah sasaran pada warga masyarakat Papua?
Kalau mampu, peluang menang memang tampaknya akan menjadi sangat besar. Tapi percayalah, tidak pernah ada kedamaian nyata dan berkualitas yang dapat dihasilkan hanya dengan penggunaan kekerasan. Apalagi oleh negara.
ADVERTISEMENT