Modernisasi Alutsista TNI: Catatan Pasca-Tragedi KRI Nanggala-402

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Konten dari Pengguna
7 Mei 2021 2:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tragedi KRI Nanggala-402 harus jadi momentum modernisasi alutsista TNI.  Foto: Dok. TNI AL
zoom-in-whitePerbesar
Tragedi KRI Nanggala-402 harus jadi momentum modernisasi alutsista TNI. Foto: Dok. TNI AL
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tragedi yang menimpa KRI Nanggala-402 memberikan pelajaran besar seharga nyawa bahwa pembangunan sektor pertahanan serta upaya penegakan keamanan dan kedaulatan kita adalah upaya yang tak dapat dikesampingkan, harus dilakukan dengan sangat serius dan harus direncanakan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Kita mendapat pelajaran bahwa dalam tata kelola alutsista TNI ini kita memang tak bisa hanya bicara mengenai belanja alatnya saja. Kita juga harus bicara mengenai logistik, perawatan dan pemeliharaan alat, juga kemampuan personelnya.
Pembangunan kekuatan pertahanan membutuhkan perencanaan yang komprehensif, berkelanjutan serta didasarkan pada skala prioritas yang jelas, terukur dan mengacu pada proyeksi bentuk dan tingkat ancaman di masa mendatang.
Upaya modernisasi alutsista sebenarnya sudah dipetakan melalui Minimum Essential Force (MEF) atau Kebutuhan Pokok Minimum yang dicanangkan pemerintah sejak 2007. MEF dibagi ke dalam beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun. MEF tahap I dimulai pada 2010-2014, tahap II 2015-2019, dan tahap III 2020-2024.
Pasca-tragedi KRI Nanggala, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengklaim pihaknya sedang menyiapkan peta jalan menyangkut alutsista ini. Mengingat sebelumnya kita sudah memiliki MEF sebagai acuan, maka penting untuk dibahas apakah peta jalan yang baru itu akan menggantikan MEF, melengkapinya atau bagaimana?
ADVERTISEMENT
Selain itu ada sejumlah hal yang juga sangat penting dibahas oleh pemerintah bersama DPR. Di antaranya:
Pertama, penguatan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Lembaga ini seharusnya dapat benar-benar menjadi tempat bertemunya stakeholder terkait pengadaan alutsista, yaitu pengguna sebagai perencana kebutuhan, industri pertahanan sebagai penyedia, serta elemen pemerintah yang berperan sebagai fasilitator anggaran dan litbang sekaligus sebagai penyusun dasar hukum. Muncul harapan bahwa KKIP dapat memfasilitasi upaya koordinasi dalam pengadaan alutsista yang selaras dengan cita-cita kemandirian melalui pembangunan industri pertahanan.
Hal ini berarti keterlibatan para stakeholder sudah terbangun sejak tahap perencanaan kebutuhan dan litbang, pengadaan, penggunaan, hingga tahap purna pakai (disposal). Di samping itu, koordinasi juga penting untuk menyelaraskan kebijakan dalam pengembangan sumber daya, pembangunan industri pendukung, upaya penyehatan industri pertahanan nasional, harmonisasi regulasi, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, pengaturan keterlibatan Pihak Ketiga. Sebagai bagian dari upaya membangun koordinasi antar stakeholder pengadaan alutsista TNI, maka perlu juga diupayakan pengaturan pihak ketiga yang terlibat, yaitu agen perusahaan luar negeri. Dengan adanya pengaturan terhadap pihak ketiga berarti para agen ini tidak lagi menjadi pihak 'luar' yang aktivitasnya tidak dapat diawasi dan dikendalikan.
Pengaturan ini dapat disusun dalam bentuk standar kewenangan atau standar kecakapan sebagai prasyarat untuk menjadi agen pengadaan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kemampuan dan kapabilitas pihak ketiga dalam memenuhi pengadaan, sekaligus mengidentifikasi aktor-aktor yang berlaku sebagai agen/broker pengadaan. Secara lebih makro, pengaturan dapat dilakukan melalui prosedur pengadaan dan regulasi terkait.
Ketiga, penyusunan indikator kemandirian industri pertahanan nasional. Indikator ini dibangun dengan melihat proporsi kebutuhan alutsista yang sudah dapat dipenuhi secara domestik sehingga kapabilitas industri pertahanan dapat dikembangkan tanpa mengompromikan spesifikasi alutsista yang dibutuhkan pengguna. Oleh karena itu, dibutuhkan data dan informasi baik dari pihak pengguna dan penyedia yang secara komprehensif dapat menggambarkan kondisi kesenjangan antara kebutuhan dengan kapabilitas industri pertahanan.
ADVERTISEMENT
Keempat, masalah pembiayaan. Pengadaan yang bertujuan memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan sekaligus mengembangkan industri pertahanan sulit untuk terwujud tanpa adanya dukungan anggaran. Dengan adanya perencanaan jangka panjang serta data kapabilitas dan potensi industri pertahanan, maka pada saat anggaran bagi pengadaan terbatas dapat dilakukan penahapan pengadaan (periodisasi).
Maksudnya adalah, ketika rencana pengguna mengemukakan kebutuhan alat tertentu yang sudah bisa dipenuhi penyedia dalam negeri tetapi anggaran tidak dapat memenuhi, maka pengadaan barang tersebut dapat dilakukan dalam beberapa tahap pengadaan untuk mengurangi beban pada anggaran. Dengan kata lain, penahapan pengadaan dilakukan bukan hanya untuk memberikan kesempatan bagi industri untuk melaksanakan litbang tetapi juga untuk memberikan keleluasaan pembiayaan.
Pembiayaan pengadaan alutsista juga harus difokuskan pada tujuan awal alokasi anggaran tersebut. Misalnya pembiayaan melalui Pinjaman Dalam Negeri (PDN) sebaiknya digunakan untuk membiayai pengadaan dari industri dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Kelima, upaya modernisasi kekuatan pertahanan juga membutuhkan waktu yang panjang. Ibarat lari, ini adalah lari marathon bukan sprint. Selain perencanaan yang matang, berkesinambungan dan dengan prioritas yang terukur merupakan landasan penting dalam upaya itu, dibutuhkan juga dukungan anggaran yang proporsional untuk mendorong pengembangan riset termasuk di lingkungan perguruan tinggi dan pemberian insentif bagi industri pertahanan dalam negeri untuk melakukan inovasi agar dapat membangun kemampuan persenjataan dan alutsista yang layak dan kuat.
Keenam, soal transparansi dan akuntabilitas. Transparansi dan akuntabilitas menjadi isu yang mewarnai perbincangan mengenai pembangunan kekuatan pertahanan. Selain membutuhkan perencanaan yang komprehensif, berkelanjutan serta didasarkan pada skala prioritas yang jelas dan terukur, kita juga tak boleh menjalankannya secara tidak disiplin.
ADVERTISEMENT
Terutama ketika pengelola pemerintahan berganti dan orientasi kebijakan sektor pertahanan mengalami penyesuaian, arah pembangunan kekuatan pertahanan tak boleh mengalami perubahan yang drastis tanpa kejelasan, yang kemudian mengundang prasangka publik bahwa pengadaan alutsista TNI telah dikendalikan oleh mafia.