Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mari Bertanya Kepada DPR
25 Agustus 2024 8:32 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Khairul Ikmam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini pembangkangan konstitusi diteriakkan oleh banyak kalangan terhadap DPR. Perihal ini disebabkan oleh karena DPR seakan dengan vulgar dan terburu-buru merevisi UU Pilkada setelah kemudian mendengar putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang usia cagub dan cawagub. seakan kedua putusan a quo sangat berbahaya terhadap negara. Bahkan, tanggal 22 Agustus 2024 kemarin hampir seluruh kalangan baik dari kalangan akademisi, mahasiswa, masyarakat, artis, serta komika turun kejalan melakukan demonstrasi besar-besaran di depan gedung DPR, kata “LAWAN” sebagai tanda bahwa rakyat sedang marah dan geram.
Namun, pada tanggal 23 Agustus 2024 kemarin DPR sudah mengumumkan bahwa revisi UU Pilkada batal disahkan, lantaran lantangnya suara penolakan dari masyarakat dalam berbagai kalangan. Oleh sebab itu, konsekuensi hukumnya putusan MK yang kemudian akan berlaku dan dilaksanakan. Demikianlah cerita politik baru-baru ini, layaknya Oscar dipandang pasir yang gersang tak ada air DPR kini sedang kehausan. Tulisan ini sebenarnya keresahan singkat dari penulis untuk banyak bertanya kepada DPR, sehingga titik balik tulisan ini hanyalah pertanyaan penulis saja.
ADVERTISEMENT
Mengapa DPR Begitu Tergesa-gesa Merevisi UU Pilkada?
Penulis sedang tidak bergurau, tergesa-gesanya DPR dalam merevisi UU Pilkada sangat terlihat jelas dan mencurigakan. Buktinya, Baleg DPR dalam kurun waktu kurang dari 7 (tujuh) jam sudah berhasil kemudian merevisi UU Pilkada, yakni dimulai dari pukul 10.00 hingga pukul 16.30. Meskipun pada akhirnya akibat lantangnya suara penolakan revisi UU Pilkada menjadi batal untuk disahkan.
Bagi penulis ini begitu lucu, bagaimana mungkin DPR sifatnya begitu labil sehingga tidak benar-benar serius dan berhati-hati dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Kelucuan DPR terletak pada tindakannya yang begitu tergesa-gesa dan tidak sabaran. Pertanyaan yang paling cocok untuk menggambarkan perihal ini adalah “Bagaimana mungkin DPR membahas dan merevisi UU begitu cepat layaknya balapan karung?” Bahkan Ospek kampus masih lebih lama dibanding rapat Baleg DPR. Oleh sebab itu, jika diibaratkan kini DPR sebenarnya sedang berperan sebagai Komika, namun sayangnya tidak lucu sama sekali.
ADVERTISEMENT
Apakah Revisi UU Pilkada Murni Kepentingan Demokrasi ataukah Kepentingan Politik?
Penulis memiliki dua alasan utama kenapa pertanyaan ini bisa lahir. Pertama, Tergesa-gesanya revisi UU Pilkada. Adapun tergesa-gesanya DPR merevisi UU Pilkada ini dimulai sejak keluarnya putusan MK a quo. Sehingga penulis sebagai rakyat pula mulai curiga dan bertanya apakah ini sebuah kebetulan saja ataukah mungkin ada sesuatu dibalik sikap DPR? Tentu pertanyaan ini sangat mendasar, dan sangat memungkinkan dipertanyakan pula oleh pembaca.
Tidak sampai disitu, kecurigaan penulis bahkan sampai mempertanyakan apakah DPR sedang dilanda conflict interest antara kepentingan demokrasi dan kepentingan politik tertentu? Pertanyaan ini tidak timbul begitu saja dan tergesa-gesanya DPR merevisi UU Pilkada setelah adanya putusan MK menjadi salah satu alasannya.
ADVERTISEMENT
Kedua, besarnya suara penolakan hingga gerakan demonstrasi oleh banyak kalangan masyarakat didepan gedung DPR. Salah satu sebab DPR batal mengesahkan revisi UU Pilkada yaitu karena alasan kedua ini. Namun, penulis sedang membayangkan bagaimana jika suara penolakan tersebut hanya terjadi di dunia maya dan demonstrasi tidak dilakukan apakah DPR akan membatalkan pengesahan? Pertanyaan ini menjadi hantu tak terlihat yang selalu mengusik pikiran penulis. Akan tetapi sedikit banyak penulis pula mengandaikan sebuah jawaban bahwa DPR kemungkinan besar akan mengesahkan UU Pilkada, tergantung pada gelombang penolakan di masyarakat.
Jika penulis andaikan, dalam posisi ini ada dua kemungkinan, Pertama, DPR menjadi pemain catur dengan ribuan strategi. Kedua, DPR hanya pion catur yang menjadi salah satu strategi sang pemain catur dan jika gagal diganti pada strategi lainnya.
ADVERTISEMENT
Alih-Alih Mengikuti Putusan MK, DPR Lebih Memilih Putusan MA, Apakah Alasan Dibaliknya?
Melalui media Kompas.com dan Nasional Tempo setidaknya penulis menemukan dua alasan mengapa DPR lebih memilih putusan MA alih-alih putusan MK. Pertama, fraksi yang menolak putusan MK memberikan penilaian bahwa DPR memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan politiknya yang akan dijalankan dalam revisi UU Pilkada.
Pertanyaan sederhananya, apakah DPR tidak mengetahui bahwa sesungguhnya putusan MK sederajat dengan UU yang ia buat? Meskipun pada dasarnya DPR berwenang untuk menindaklanjuti putusan MK, bukan berarti DPR harus mengangkangi putusan MK.
Kedua, Ach Baidowi (Wakil Ketua Baleg DPR RI) perihal syarat usia cagub dan cawagub memberikan alasan bahwa putusan MA lebih jelas dan rinci dalam mengatur ketentuan tersebut dibandingkan putusan MK yang hanya menolak permohonan tanpa memberikan panduan detail.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan sederhananya, apakah mungkin DPR tidak mengetahui dasar sebuah UU Pilkada dimohonkan? Setidaknya, permohonan judicial review oleh MK akan menghasilkan tiga amar putusan, pertama, tidak dapat diterima apabila pemohon tidak memenuhi legal standing. Kedua, ditolak apabila permohonan tidak beralasan dan ketiga, dikabulkan apabila pemohon memenuhi legal standing dan permohonannya beralasan. Untuk memberikan kepastian kepada pembaca, bahwa sesungguhnya MK menolak permohonan karena tidak cukup beralasan.
Jika dianggap bahwa MK tidak memberikan panduan detail, itu lantaran MK sudah menjelaskan dalam konsideran putusannya bahwa semua hal yang menyangkut persyaratan harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon. Sehingga, tahapan-tahapan berikutnya seperti pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara serta penetapan calon terpilih bukanlah termasuk tahapan yang dapat dijadikan sebagai batas untuk menetapkan keterpenuhan syarat sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, tidak perlu panduan lebih lanjut karena memang faktanya demikian, bahkan penulis perlu bertanya panduan seperti apa gerangan yang diminta oleh Baleg DPR RI?
ADVERTISEMENT
Setidaknya tiga pertanyaan ini dahulu yang menjadi keresahan penulis, selebihnya yakni pertanyaan oleh pembaca.
Mari Bertanya Kepada DPR
Baru-baru ini pembangkangan konstitusi diteriakkan oleh banyak kalangan terhadap DPR. Perihal ini disebabkan oleh karena DPR seakan dengan vulgar dan terburu-buru merevisi UU Pilkada setelah kemudian mendengar putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang usia cagub dan cawagub. seakan kedua putusan a quo sangat berbahaya terhadap negara. Bahkan, tanggal 22 Agustus 2024 kemarin hampir seluruh kalangan baik dari kalangan akademisi, mahasiswa, masyarakat, artis, serta komika turun kejalan melakukan demonstrasi besar-besaran di depan gedung DPR, kata “LAWAN” sebagai tanda bahwa rakyat sedang marah dan geram.
Namun, pada tanggal 23 Agustus 2024 kemarin DPR sudah mengumumkan bahwa revisi UU Pilkada batal disahkan, lantaran lantangnya suara penolakan dari masyarakat dalam berbagai kalangan. Oleh sebab itu, konsekuensi hukumnya putusan MK yang kemudian akan berlaku dan dilaksanakan. Demikianlah cerita politik baru-baru ini, layaknya Oscar dipadang pasir yang gersang tak ada air DPR kini sedang kehausan. Tulisan ini sebenarnya keresahan singkat dari penulis untuk banyak bertanya kepada DPR, sehingga titik balik tulisan ini hanyalah pertanyaan penulis saja.
ADVERTISEMENT
Mengapa DPR Begitu Tergesa-gesa Merevisi UU Pilkada?
Penulis sedang tidak bergurau, tergesa-gesanya DPR dalam merevisi UU Pilkada sangat terlihat jelas dan mencurigakan. Buktinya, Baleg DPR dalam kurun waktu kurang dari 7 (tujuh) jam sudah berhasil kemudian merevisi UU Pilkada, yakni dimulai dari pukul 10.00 hingga pukul 16.30. Meskipun pada akhirnya akibat lantangnya suara penolakan revisi UU Pilkada menjadi batal untuk disahkan.
Bagi penulis ini begitu lucu, bagaimana mungkin DPR sifatnya begitu labil sehingga tidak benar-benar serius dan berhati-hati dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Kelucuan DPR terletak pada tindakannya yang begitu tergesa-gesa dan tidak sabaran. Pertanyaan yang paling cocok untuk menggambarkan perihal ini adalah “Bagaimana mungkin DPR membahas dan merevisi UU begitu cepat layaknya balapan karung?” Bahkan Ospek kampus masih lebih lama dibanding rapat Baleg DPR. Oleh sebab itu, jika diibaratkan kini DPR sebenarnya sedang berperan sebagai Komika, namun sayangnya tidak lucu sama sekali.
ADVERTISEMENT
Apakah Revisi UU Pilkada Murni Kepentingan Demokrasi ataukah Kepentingan Politik?
Penulis memiliki dua alasan utama kenapa pertanyaan ini bisa lahir. Pertama, Tergesa-gesanya revisi UU Pilkada. Adapun tergesa-gesanya DPR merevisi UU Pilkada ini dimulai sejak keluarnya putusan MK a quo. Sehingga penulis sebagai rakyat pula mulai curiga dan bertanya apakah ini sebuah kebetulan saja ataukah mungkin ada sesuatu dibalik sikap DPR? Tentu pertanyaan ini sangat mendasar, dan sangat memungkinkan dipertanyakan pula oleh pembaca.
Tidak sampai disitu, kecurigaan penulis bahkan sampai mempertanyakan apakah DPR sedang dilanda conflict interest antara kepentingan demokrasi dan kepentingan politik tertentu? Pertanyaan ini tidak timbul begitu saja dan tergesa-gesanya DPR merevisi UU Pilkada setelah adanya putusan MK menjadi salah satu alasannya.
ADVERTISEMENT
Kedua, besarnya suara penolakan hingga gerakan demonstrasi oleh banyak kalangan masyarakat didepan gedung DPR. Salah satu sebab DPR batal mengesahkan revisi UU Pilkada yaitu karena alasan kedua ini. Namun, penulis sedang membayangkan bagaimana jika suara penolakan tersebut hanya terjadi di dunia maya dan demonstrasi tidak dilakukan apakah DPR akan membatalkan pengesahan? Pertanyaan ini menjadi hantu tak terlihat yang selalu mengusik pikiran penulis. Akan tetapi sedikit banyak penulis pula mengandaikan sebuah jawaban bahwa DPR kemungkinan besar akan mengesahkan UU Pilkada, tergantung pada gelombang penolakan dimasyarakat.
Jika penulis andaikan, dalam posisi ini ada dua kemungkinan, Pertama, DPR menjadi pemain catur dengan ribuan strategi. Kedua, DPR hanya pion catur yang menjadi salah satu strategi sang pemain catur dan jika gagal diganti pada strategi lainnya.
ADVERTISEMENT
Alih-Alih Mengikuti Putusan MK, DPR Lebih Memilih Putusan MA, Apakah Alasan Dibaliknya?
Melalui media Kompas.com dan Nasional Tempo setidaknya penulis menemukan dua alasan mengapa DPR lebih memilih putusan MA alih-alih putusan MK. Pertama, fraksi yang menolak putusan MK memberikan penilaian bahwa DPR memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan politiknya yang akan dijalankan dalam revisi UU Pilkada.
Pertanyaan sederhananya, apakah DPR tidak mengetahui bahwa sesungguhnya putusan MK sederajat dengan UU yang ia buat? Meskipun pada dasarnya DPR berwenang untuk menindaklanjuti putusan MK, bukan berarti DPR harus mengangkangi putusan MK.
Kedua, Ach Baidowi (Wakil Ketua Baleg DPR RI) perihal syarat usia cagub dan cawagub memberikan alasan bahwa putusan MA lebih jelas dan rinci dalam mengatur ketentuan tersebut dibandingkan putusan MK yang hanya menolak permohonan tanpa memberikan panduan detail.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan sederhananya, apakah mungkin DPR tidak mengetahui dasar sebuah UU Pilkada dimohonkan? Setidaknya, permohonan judicial review oleh MK akan menghasilkan tiga amar putusan, pertama, tidak dapat diterima apabila pemohon tidak mempunyai legal standing. Kedua, ditolak apabila permohonan tidak beralasan dan ketiga, dikabulkan apabila permohon memenugi legal standing dan permohonannya beralasan. Untuk memberikan kepastian kepada pembaca, bahwa sesungguhnya MK menolak permohonan karena tidak cukup berlasan.
Jika dianggap bahwa MK tidak memberikan panduan detail, itu lantaran MK sudah menjelaskan dalam konsideran putusannya bahwa semua hal yang menyangkut persyaratan harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon. Sehingga, tahapan-tahapan berikutnya seperti pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara serta penetapan calon terpilih bukanlah termasuk tahapan yang dapat dijadikan sebagai batas untuk menetapkan keterpenuhan syarat sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, tidak perlu panduan lebih lanjut karena memang faktanya demikian, bahkan penulis perlu bertanya panduan seperti apa gerangan yang diminta oleh Baleg DPR RI?
ADVERTISEMENT
Setidaknya tiga pertanyaan ini dahulu yang menjadi keresahan penulis, selebihnya yakni pertanyaan oleh pembaca.