Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bukan Semua Tubagus itu Tubagus: Di Balik Nama, Ada Cerita
11 Mei 2025 12:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Husein Fadhlillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saat membaca artikel berjudul “Asal Usul Gelar Tubagus: Jejak Bangsawan Kesultanan Banten yang Bersambung ke Keturunan Nabi” di Harian Banten, saya menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar sejarah gelar kebangsawanan. Artikel itu membuka ruang perenungan tentang identitas, warisan, dan bagaimana manusia memaknainya di tengah zaman yang terus berubah.
ADVERTISEMENT
Banten memang memiliki tradisi gelar bangsawan yang khas. “Tubagus” untuk laki-laki dan “Ratu” bagi perempuan adalah penanda istimewa bagi mereka yang berasal dari garis keturunan langsung Sultan Maulana Hasanuddin, pendiri Kesultanan Banten sekaligus putra dari Wali Agung, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Menurut beberapa sumber, istilah “Tubagus” diyakini berasal dari “Ratu Bagus”—gelar kebangsawanan lokal. Namun, ada juga pandangan lain yang menarik: bahwa istilah ini bisa ditarik dari bahasa Arab, yaitu Tuba (kebahagiaan) dan Ghaus (pertolongan), yang bila digabungkan dimaknai sebagai “kebahagiaan yang dilindungi.” Gelar ini diyakini pertama kali digunakan pada masa Sultan Maulana Yusuf, Sultan kedua Banten.
Namun yang paling menarik perhatian saya adalah penjelasan dalam artikel itu bahwa seiring waktu, keturunan Kesultanan Banten telah menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara. Gelar “Tubagus” pun tidak hanya ditemukan di Banten, tapi juga di luar daerah tersebut. Meski demikian, tidak semua keturunan memilih menampilkannya secara terbuka. Ada yang sengaja menyimpannya—bukan karena malu, tapi karena rasa hormat pada nilai-nilai leluhur: sikap tawaduk, kehati-hatian, atau menjalankan amanat leluhur agar tidak menjadikan gelar sebagai simbol kesombongan.
ADVERTISEMENT
Saya pun teringat sebuah perbincangan pribadi bersama keluarga dari jalur Umi. Di situ, muncul sebuah kaidah tak tertulis yang begitu menggugah: “Tak semua yang bernama Tubagus benar-benar keturunannya (bisa saja hanya nama belaka), tapi yang tidak memakai gelar atau bernama itu belum tentu bukan bagian dari garis tersebut.” Fenomena ini bukan hal baru. Kita juga dapat menemukannya pada gelar seperti “Raden”, bahkan “Habib” dari keluarga Ba ‘Alawi. Ada yang menyembunyikan nasabnya demi kerendahan hati, ada pula yang menyandangnya meski tak berasal dari trah yang sah—entah karena ketidaktahuan, atau semata-mata mengambil berkah nama besar.
Persoalan menjadi semakin pelik saat warisan ini tidak dilestarikan. Banyak generasi hari ini yang bahkan tak tahu siapa leluhurnya, dari garis siapa ia berasal. Apalagi ketika nama-nama asli telah tergantikan dengan panggilan, samaran, atau gelar yang tidak mencerminkan silsilah sebenarnya. Upaya menelusuri jejak pun menjadi rumit. Generasi yang seharusnya menjadi pewaris justru terputus dari akar, tumbuh tanpa identitas yang utuh.
ADVERTISEMENT
Di sinilah dilema lahir: antara menjaga kesahajaan dan memperjelas identitas. Antara menyimpan nasab sebagai bentuk kerendahan hati, dan menampilkannya sebagai pengingat diri bahwa kita berasal dari orang-orang baik yang layak untuk diteladani. Gelar semestinya bukan untuk disombongkan, tetapi untuk dimaknai—sebagai warisan sejarah dan pengingat tanggung jawab moral.
Namun, saya juga mencatat satu hal yang cukup mengganjal dari artikel tersebut: penulis menyebut bahwa “Tubagus” merupakan keturunan Nabi, tetapi tidak dijelaskan melalui jalur mana. Padahal, alangkah lebih baik jika dicantumkan secara terbuka dan jelas, misalnya melalui jalur Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir (Ammul Faqih). Transparansi seperti itu bukan hanya memperjelas informasi, tetapi juga menunjukkan integritas penulis dalam mengangkat isu yang sensitif dan bermartabat seperti ini.
ADVERTISEMENT
Karena pada akhirnya, meski gelar tak tertulis, darah tetap mengalir. Namun perlu diingat, nasab bukanlah perkara remeh yang bisa diklaim sembarangan. Rasulullah SAW dengan tegas memperingatkan, “Siapa yang mengaku sebagai keturunan dari orang lain (yang bukan ayahnya), maka ia tidak akan mencium bau surga.” Terlebih bila mengaku sebagai keturunan Rasul hanya untuk kehormatan sosial, padahal ia bukan bagian dari trah tersebut—maka sesungguhnya, ia telah berbohong atas nama Nabi, dan Nabi bersabda: “Barang siapa berdusta atas namaku, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”
Oleh karena itu, perkara nasab semestinya diserahkan kepada yang berwenang—baik keluarga yang memahami silsilah, catatan nasab yang sahih, maupun para ahli nasab. Itu bukan hanya bentuk kehati-hatian, tapi juga adab dalam menjaga sesuatu yang sakral. Pihak luar yang tidak berasal dari garis keturunan tersebut sejatinya tidak memiliki hak, apalagi kewenangan secara moral, untuk membahas apalagi memutuskan status nasab seseorang. Ada pepatah bijak yang menyatakan: lebih baik keliru dalam mencintai, daripada keliru dalam membenci.
ADVERTISEMENT
Karena sesungguhnya, nasab bukan soal gelar yang agung atau gelimang kehormatan. Ia adalah soal kejujuran, tentang warisan nilai, dan tanggung jawab spiritual. Jika kita memang berasal dari garis yang mulia, seharusnya bukan gelar yang ditonjolkan, tapi akhlak dan ilmu yang diwarisi. Karena itulah yang akan kekal, meski nama dan gelar tak lagi disebutkan.