130 Negara Setuju Terapkan Pajak Digital, Google hingga Netflix Sulit Menghindar

21 Juli 2021 22:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi aplikasi Android. Foto: Rami Al-zayat via Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aplikasi Android. Foto: Rami Al-zayat via Unsplash
ADVERTISEMENT
Pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara G-20 yang digelar di Italia pada 9-10 Juli lalu, menghasilkan kesepakatan tentang pajak ekonomi digital. Dengan kesepakatan ini, perusahaan teknologi raksasa sepeti Google hingga Netflix, tak bisa lagi mengabaikan pajak dari operasi lintas negara mereka.
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sebanyak 130 negara anggota inclusive framework on Base Erosion and Profit Sharing (BEPS) telah menyetujui 2 pilar.
“Konsensus global untuk BEPS untuk pajak ekonomi digital, ini adalah satu kemajuan yang sangat luar biasa dari konsensus global. Ada 2 pilar yang disetujui 130 negara anggota inclusive framework on BEPS. Makanya, diperlukan konsensus global untuk mencegah terjadinya praktik-praktik melakukan erosi basis pajak dan melakukan shifting profit ke yurisdiksi lain,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Rabu (21/7).
Pilar yang disetujui tersebut yaitu pertama, setiap negara bisa mendapatkan hak pemajakan yang lebih pasti tanpa mempedulikan kehadiran fisik. Ini artinya perusahaan tidak perlu hadir secara fisik di suatu negara, tetapi negara tersebut tetap mendapat hak pemajakan melalui konsensus global ini.
ADVERTISEMENT
“Ini yang (sebelumnya) menjadi salah satu kesulitan kita karena banyak perusahaan digital tidak ada di Indonesia tapi beroperasi di Indonesia, sehingga tidak bisa menggunakan konsep bentuk usaha tetap, yang biasanya merupakan kehadiran fisik,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan Kepala Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menurut Sri Mulyani, dengan adanya konsensus tersebut, maka ini akan menjadi momen reformasi perpajakan bagi Indonesia. Apalagi keberadaan perusahaan digital cukup besar di Indonesia.
Sri Mulyani merinci nantinya perusahaan yang akan dikenai pajak digital ini adalah perusahaan multinasional dengan valuasi di atas 10 miliar Euro.
“Ini terutama untuk perusahaan multinasional yang di atas 20 miliar Euro yang diturunkan menjadi 10 miliar Euro setelah 7 tahun perjanjian dengan profitabilitas di atas 10 persen,” ujarnya.
Meski demikian aturan ini belum final dan masih akan didiskusikan dalam dua pertemuan selanjutnya. Harapannya persetujuan soal pajak digital ini akan diputuskan final pada 2022 dan akan mulai berlangsung efektif di tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Kemudian pilar kedua yaitu, negara-negara akan berusaha meyakinkan perusahaan multinasional untuk membayar pajak dengan tarif minimum. Dengan demikian perusahaan digital tidak lagi bisa menghindar dari kewajiban membayar pajak.
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
“Thresholdnya 750 juta Euro untuk perusahaan multinasional, dan entitas pemerintah dikecualikan. Untuk organisasi internasional juga tidak termasuk dalam objek atau subjek pajak ini,” ujarnya.
Dengan batasan tersebut, perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Netflix, Amazon, Apple, dan sederet lainnya sulit untuk menghindar. Valuasi mereka pun, sudah jauh melampaui batas minimal yang disepakati.
Menurut Sri Mulyani dengan adanya dua pilar, maka kompetisi global akan berkurang. Perusahaan digital tidak bisa lagi kabur ke negara dengan tax haven. Selama ini ada negara atau bahkan yurisdiksi yang menawarkan pajak sangat rendah antara 0 persen atau di bawah 15 persen. Namun dengan adanya konsensus ini maka di mana pun perusahaan digital itu beroperasi, mereka harus tetap membayar pajak minimal 15 persen.
ADVERTISEMENT
“Sehingga mereka tidak bisa bayar pajak yang berlokasi di daerah yang namanya tax heaven,” ujarnya.
Meski demikian level 15 persen ini juga belum final. Sebab ada beberapa negara yang masih mau memberikan insentif perpajakan di bawah 15 persen. Namun yang pasti nantinya tidak ada negara yang bisa memberikan fasilitas pajak 0 persen.
“Saat ini kami sedang membahas dengan DPR dan ini juga kami laporkan dengan DPR mengenai perkembangan yang terjadi secara internasional supaya Indonesia jangan kalah atau tidak siap dalam menghadapi perubahan-perubahan yang sangat dinamis,” tandasnya