Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Geni kaget ketika melihat harga tiket pesawat Jakarta-Denpasar di aplikasi pemesanan tiketnya. Tarif low-cost carrier seperti Citilink tembus Rp 1 juta, sementara Lion paling banter hanya beda Rp 100 ribu.
Tak rela merogok kocek lebih dalam, Geni menutup aplikasi perjalanan yang satu itu, dan membuka app AirAsia yang baru ia pasang sekitar dua minggu, usai geger menghilangnya tiket AirAsia dari sejumlah agen travel online.
Setelah mengecek harga tiket di aplikasi maskapai asal Negeri Jiran tersebut, Geni menarik napas lega. Angka yang tercantum di sana wajar saja, dan ia segera mem-booking satu penerbangan ke Pulau Dewata.
Belakangan, maskapai penerbangan di Indonesia memang tampak seragam dalam menaik-turunkan tarif pesawat. Selain itu, Lion Air dan Citilink secara hampir bersamaan menerapkan bagasi berbayar.
Bermula ketika Lion Air dan Wings Air, dua maskapai berbiaya rendah yang tergabung dalam Lion Group, mencabut fasilitas bagasi gratis pada 8 Januari. Selanjutnya, LCC milik Garuda Group, Citilink, menerapkan kebijakan serupa dua hari kemudian, meski ia kemudian menunda implementasinya.
Tak hanya itu, hampir semua maskapai menaikkan tarif pesawat secara signifikan meski musim tinggi permintaan (peak season) saat Natal dan Tahun Baru telah usai. Menurut Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Askhara Danadiputra, kenaikan tarif pesawat memang mencapai 40 sampai 120 persen sejak November 2018.
Kenaikan harga tiket pesawat, menurut Ari—sapaan Askhara—dimulai setelah maskapai Garuda yang ia pimpin menaikkan harga. Langkah Garuda selanjutnya diikuti oleh maskapai lain.
“Saya kan butuh menyehatkan keuangan Garuda Indonesia. Lalu, mereka (maskapai penerbangan) lain ikut menaikkan," ujar Ari dalam konferensi pers, 15 Januari.
Kenaikan tarif secara serempak sontak menimbulkan banyak keluhan. Mulai dari petisi online di Change.org , hingga aksi warga Aceh yang berbondong-bondong membuat paspor demi transit di Kuala Lumpur, lantaran harta tiket rute regional Kuala Lumpur-Jakarta lebih murah dibanding rute langsung dari Aceh ke Jakarta.
Maraknya protes dan keluhan warga membuat Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi turun tangan. Pada 13 Januari, ia memanggil dan menegur para direktur utama sejumlah maskapai atas tarif pesawat yang melangit. Budi meminta maskapai bisa kembali menurunkan tarif.
Menanggapi permintaan tersebut, atas nama INACA, Ari berjanji akan menurunkan harga hingga 20-60 persen. Walau demikian, kekompakan berbagai maskapai soal harga itu kadung menguarkan aroma kartel.
“Kan lucu. Mereka secara sukarela menaikkan harga, secara sukarela menurunkan harga. Kok kompak, ya,” sindir ekonom Faisal Basri.
Nawir Messi, mantan ketua KPPU sekaligus ekonom INDEF, pun heran atas apa yang terjadi. “Kalau mereka bersaing, harusnya kalau yang lain naik, ini nurunin harga dong. Supaya penumpang lari ke mereka. Ini enggak. Yang satu naik, ini juga naik. Ini turun, ini juga turun. Seolah-olah terkoordinasikan.”
Kecurigaan itu ditepis Garuda. Sementara Lion Air tak merespons ketika berulang kali dihubungi kumparan.
“Garuda itu market leader meski market share-nya bukan yang paling besar. Apa yang dilakukan market leader biasanya diikuti follower. Ketika tarif Garuda disesuaikan (dinaikkan), yang lain akan melihat itu di sistem reservasi terbuka (dan mengikuti),” kata Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan, Sabtu (16/3).
Selain kebijakan tarif yang kompak dinaik-turunkan oleh maskapai, indikasi kartel tampak dari berbagai faktor lain. Hal yang paling jelas terlihat adalah penguasaan pasar yang terkonsentrasi di dua kelompok besar, Garuda dan Lion Group. Keduanya menguasai lebih dari 90 persen pangsa pasar.
“Dulu 7 sampai 9 armada bersaing satu sama lain, sehingga banyak pilihan tiket pesawat murah yang tersedia. Tiba-tiba mengelompok menjadi dua grup saja. Dua grup ini dianggap sebagai pelaku yang membuat persaingan tidak sehat,” ujar Nawir kepada kumparan di kantor INDEF, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (6/3).
Pengelompokan itu terjadi setelah pada November 2018, Sriwijaya Group yang menaungi Sriwijaya Air dan NAM Air bergabung dengan Garuda Indonesia di bawah Citilink melalui Kerja Sama Operasional (KSO).
Bentuk kerja sama di antara kedua maskapai tersebut tak luput dari kritikan Nawir. Menurutnya, istilah joint operation yang berlaku di negara lain macam di Eropa, terbatas misal untuk menghubungkan rute yang dimiliki dua maskapai atau lebih.
Namun yang terjadi di Indonesia lebih dari sekadar kerja sama operasional. “Di kita, joint operation antara Garuda-Sriwijaya-Citilink itu kayak merger. Jadi kayak satu perusahaan,” kata Nawir.
Sejak penandatanganan KSO pada 8 November 2018, pengelolaan finansial dan operasional Sriwijaya diambil alih oleh Citilink. Sebab, kas Sriwijaya dalam kondisi tak sehat, dan ia berutang Rp 345,2 miliar kepada Garuda.
Alhasil, kini persaingan industri penerbangan komersial di tanah air terkonsentrasi pada dua grup besar, yakni Garuda dan Lion. Di kelas full service, Garuda Indonesia melawan Batik Air. Sementara di kelas LCC, terdapat Citilink dan Lion Air.
Awal Februari, indikasi kartel tarif pesawat resmi masuk dalam penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
“(Naik turun harga) ini mereka lakukan secara bersama-sama, sehingga jadi perhatian kami untuk dipelajari lebih dalam,” ucap Ketua KPPU Kurnia Toha.
Komisioner KPPU Guntur Syahputra mengatakan lembaganya telah memanggil INACA, Garuda, Sriwijaya, Wings, Batik, Citilink, dan perusahaan agen perjalanan, untuk kebutuhan penyelidikan.
Namun hingga berita ini diturunkan, KPPU masih irit bicara. “Masih belum ada progres. Itu masih ada di dalam penyelidikan,” ucap Guntur ketika dihubungi kumparan.
Tidak sehatnya persaingan usaha di pasar lalu lintas udara nusantara, dirasakan oleh AirAsia, maskapai bertarif rendah asal Malaysia. Ketika tiketnya lenyap dari sejumlah agen perjalanan, AirAsia mengendus hal tak beres di baliknya.
“Ada indikasi menuju persaingan tidak sehat,” ujar Direktur Niaga AirAsia, Rifai Taberi.
Carlos, sumber kumparan di lingkaran agen perjalanan, mengatakan agen travel sempat dipanggil pada pertemuan bersama pemilik Lion Air Rusdi Kirana dan Dirut Garuda Ari Ashkara. “Itu tekanan nggak sehat yang dilakukan para petinggi (maskapai),” ujarnya.
Menurut Carlos, hal itu terjadi sebab AirAsia tak mau ikut menaikkan harga. “Lion sama Garuda naikin harga. AirAsia diajak, tapi nggak mau. Dia jawab, ‘Nggak apa, aku dengan harga segini bisa operasi.’ Nah mereka (maskapai lain) kesal.”
Informasi itu disanggah Garuda. “Nggak ada (pertemuan itu). Saya nggak pernah dengar,” ujar Ikhsan Rosan.
Kartel Fuel Surcharge
Jauh sebelum dugaan kartel penetapan harga tiket ini menyeruak, terdapat pula kasus kartel beban biaya tambahan bahan bakar pesawat (fuel surcharge) yang terjadi sembilan tahun lalu.
Ketika itu INACA menetapkan biaya tambahan bahan bakar pesawat kepada penumpang. Alasannya, harga avtur naik akibat lonjakan harga minyak dunia. Penetapan fuel surcharge mendapat restu Menteri Perhubungan Hatta Rajasa dengan syarat harga dilampirkan terpisah dari harga tiket.
Besaran yang ditetapkan INACA, menurut laporan KPPU berjudul “Positioning Paper KPPU terhadap Fuel Surcharge Maskapai Penerbangan”, mencapai Rp 20.000 per penumpang, di saat harga rata-rata avtur Rp 5.600 per liter.
Penetapan fuel surcharge secara bersama itu, menurut KPPU, menunjukkan perilaku kartel. KPPU meminta penetapan fuel surcharge diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun maskapai tidak transparan dalam menetapkan besarannya.
Pakar kebijakan publik Agus Pambagio menyatakan, tidak ada parameter baku yang diketahui masyarakat luas dalam penetapan fuel surcharge yang dibebankan kepada penumpang kala itu.
Temuan lain KPPU menyebut adanya maskapai yang mengambil keuntungan dari penarikan fuel surcharge. Padahal, pemerintah telah memperingatkan agar maskapai tidak mencoba mendulang untung dalam penetapan fuel surcharge.
Gelagat mencurigakan itu membuat KPPU memanggil dan memeriksa 13 maskapai. KPPU selanjutnya memutus 9 maskapai, yakni PT Garuda Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Mandala Airlines, PT Travel Express Aviation Service, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings Abadi Airlines, PT Metro Batavia, dan PT Kartika Airlines telah melakukan kesepakatan penetapan fuel surcharge.
KPPU memperkirakan kerugian yang dialami konsumen berkisar antara Rp 5 triliun hingga Rp 13,8 triliun. KPPU lantas meminta 9 maskapai itu menghentikan penarikan fuel surcharge. Mereka juga dihukum membayar denda atas kasus kartel tersebut.
Perusahaan pelat merah, Garuda Indonesia, dihukum paling berat dengan denda sebesar Rp 25 miliar. Di posisi kedua, Lion Air, dihukum denda sebesar Rp 17 miliar. Sementara sisanya dihukum denda antara Rp 1-9 miliar.
Putusan KPPU itu kemudian digugat oleh kesembilan maskapai terkait. Hingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya membatalkan putusan KPPU soal kartel fuel surcharge pada 2011.
Majelis hakim menyebut, tidak terbukti besaran harga fuel surcharge antar-maskapai itu sama.
Kartel Sempurna Orde Baru
Kartel, pada era Orde Baru, merupakan hal lumrah karena ketiadaan regulasi. Di masa itu, menurut jurnal penelitian Prasadja Ricardianto, Dr. Gunawan Djajaputra, dan Prof. Dr. Martono yang berjudul “Air Transport and Tourism in Indonesia ”, tarif yang ditetapkan Garuda Indonesia selaku maskapai pelat merah milik negara, menjadi parameter penentuan tarif tiket pesawat terbang.
Monopoli tarif oleh Garuda disahkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 96 Tahun 1984 tentang Penyesuaian Tarif Udara Dalam Negeri. Lewat regulasi itu, pemerintah mengatur tarif maskapai swasta.
Pemain swasta seperti Zamrud Aviation, Bouraq Airlines, Mandala Airlines, Indonesian Air Transportation, Seulawah Air Services, dan Sempati Airlines, diwajibkan memasang tarif lebih rendah dari yang telah ditetapkan maskapai milik negara.
“Praktik kartel tersebut semakin sempurna karena negara menjadi pendukung dan pelindungnya, dengan penetapan patokan harga melalui Surat Keputusan Menteri Perhubungan,” ujar ekonom senior INDEF Didik Rachbini.
Dominasi Garuda dalam penetapan harga tiket pesawat , runtuh seiring tumbangnya Orde Baru. Pasca-Reformasi, DPR melahirkan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan dibentuklah KPPU untuk mengawasi implementasi UU tersebut.
Kini, menurut Nawir, seharusnya pemerintah semakin mendukung peran KPPU, sebab keberadaan otoritas pengawasan persaingan usaha bertujuan untuk memproteksi masyarakat dari pelaku-pelaku usaha yang hendak menguasai pasar.
“Kalau enggak, ya dengan gampang konsumen bisa dieksploitasi,” ujar Nawir.
_________________
Simak selengkapnya Liputan Khusus kumparan: Teka-teki Tiket Raib AirAsia