Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pemerintah memelihara mimpi menumbuhkan padi berskala besar di lahan gambut. Konsep ini usang dan selalu gagal. Kenapa harus diulang?
Kabar ancaman krisis pangan dari Markas Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) di Roma, Italia, ditanggapi dengan sigap oleh pemerintah Indonesia. Direktur Jenderal FAO, QU Dongyu, menyebut konflik, cuaca ekstrem, guncangan ekonomi, dan pandemi virus corona COVID-19 berisiko berujung pada kelangkaan pangan.
Peringatan krisis ini disambut oleh pemerintah RI. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan hasil rapat terbatas kabinet bersama Presiden Joko Widodo untuk memanfaatkan potensi lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi persawahan (food estate).
“Yang di Kalteng diperkirakan ada lebih 900.000 hektare, yang sudah siap 300.000 ha. Juga yang dikuasai BUMN ada sekitar 200.000 ha. Supaya dibuat perencanaan agar bisa ditanami padi,” ucapnya via telekonferensi, Selasa (28/4).
Ancaman krisis pangan sebenarnya belum begitu dekat. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyebutkan pandemi COVID-19 memang mengendurkan distribusi. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menghambat laju pengiriman beras, allhasil defisit beras terjadi di beberapa daerah.
Enam provinsi yang mengalami defisit beras antara lain Provinsi Riau sebanyak 27.749 ton, Kepulauan Riau 8,185 ton, Maluku Utara 3.724 ton, Bangka Belitung 9.891 ton, Maluku 3.344 ton, dan Kalimantan Utara 763 ribu ton. Tapi Syahrul masih optimistis kendala itu bisa diatasi melalui kerja sama dengan Bulog.
Catatan Kementan pun menunjukkan bahwa stok beras nasional pada akhir Maret 2020 sebesar 3,45 juta ton. Kementerian itu juga memprediksi bahwa pada panen raya April tahun ini, produksi beras bakal mencapai 5,4 juta ton dengan kebutuhan nasional 2,50 juta ton.
“Sehingga terdapat surplus sebesar 2,9 juta ton,” katanya.
Namun tak ada salahnya food estate tetap dilakukan. Kementerian Pertanian bakal menggarapnya bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Syahrul menjelaskan, alasan Jokowi melibatkan BUMN adalah karena banyaknya lahan perusahaan negara yang belum dimanfaatkan.
Rencana ini pun mampir dalam dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR pada Senin (4/5). Syahrul menerangkan, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian untuk membahas teknis anggaran.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy, menegaskan kesiapan pemerintah untuk melakukan optimalisasi lahan gambut dan rawa seluas 600 ribu hektare di Kalimantan Tengah menjadi lahan pertanian.
Rencananya, optimalisasi tersebut akan dilakukan di atas lahan eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Satu Juta Hektare yang pernah dijalankan Presiden Soeharto.
“Optimalisasi lahan gambut dan rawa, bukan cetak sawah baru, dan ini untuk ditanami padi. Lahan eks (proyek) satu juta hektare di Kalimantan Tengah itu mau dioptimalkan lagi, dan itu yang akan kita garap," kata Sarwo Edhy kepada kumparan.
Area eks PPLG dipilih karena ketersediaan lahan yang cukup luas dan dinilai belum dikerjakan secara optimal. Adapun tahapan yang sedang dilakukan saat ini adalah tim dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sedang melakukan survei ke lahan gambut tersebut.
Nantinya, dalam sepekan akan ada evaluasi untuk menentukan kelayakan lahan tersebut. Menurut Sarwo, sudah ada riset dan kajian lintas kementerian untuk menentukan lokasi pembukaan lahan pertanian atau cetak sawah ini.
Kementan sendiri memiliki target cetak sawah sebesar 10.000 hektare pada tahun 2020, atau naik 4.000 hektare dari target tahun sebelumnya yang hanya 6.000 hektare. Direktorat PSP Kementan mencatat bahwa sampai Desember 2019, realisasi cetak sawah baru mencapai 5.827 hektare atau 97 persen dari target yang ditetapkan untuk 2019.
Sarwo sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 200 miliar untuk merealisasikan cetak sawah baru. Ia menegaskan bahwa proyek food estate ini sejalan dengan instruksi Presiden Jokowi guna membuka lahan persawahan baru demi mencegah ancaman krisis pangan akibat pandemi corona.
Ide menjamah kawasan bekas PPLG bukan perkara baru. Pada 2017, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran telah mengirimkan surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membuka lahan yang diperuntukan bagi pencadangan food estate di wilayah itu dengan total luasan 663.287 hektare.
Dalam surat Gubernur Kalteng yang didapat kumparan, Pemprov meminta pemanfaatan 300 ribu hektare lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangka Raya untuk persawahan. Pada peta yang tertera di surat tersebut, lokasi lahan yang diminta berada di utara, bekas kanal Saluran Induk Primer Blok A eks PPLG.
Kanal tersebut merupakan jaringan kanal terbesar untuk menguras air di lahan gambut guna pembukaan lahan tahun 1995. Saluran induk primer utama ini dipakai untuk mengalirkan air dari gundukan gambut di antara Sungai Kapuas dan Sungai Barito. Megaproyek PPLG zaman Presiden Soeharto itu ingin mengeringkan tempat ini dan menjadikannya sawah gambut, namun gagal.
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar membenarkan adanya surat tersebut. Menurutnya, saat itu surat tidak bisa diproses karena kekurangan beberapa syarat. Siti juga mengarahkan Dirjen Planologi untuk mendorong Gubernur Kalteng mendalami dan melakukan studi bersama perguruan tinggi, karena jumlah luasan wilayah yang diminta sangat besar.
“Yang beliau sampaikan sangat sumir dan belum bisa diproses. Selain itu, usulan untuk kebun seperti usulan tersebut tidak lazim dengan IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan), tapi ada aturan-aturan yang lain. Jadi belum berproses lanjut,” kata Siti melalui pesan tertulis kepada kumparan, Kamis (7/5).
Kini, seiring rencana pembukaan lahan untuk food estate di Kalteng, Siti sedang meminta timnya untuk kembali mempelajari dokumen tersebut. Dan bukan tak mungkin, dalam waktu dekat surat tersebut akan disetujui.
“Kami sudah rapat dengan tim internal KLHK untuk ketahanan pangan. Pada kondisi sekarang, gambarannya untuk pengembangan di Kalteng menurut saya bisa lebih promising, lebih menjanjikan,” ujar Siti.
Menurutnya, Kabupaten Pulang Pisau yang menjadi lokasi rujukan kondisi lahan untuk ditanami, terlihat cukup baik. Selain itu, sarana pendukung seperti sistem drainase juga sudah dibangun dan penataan saluran sekat kanal sudah ada.
“Perkiraan saya, dengan penataan kembali sistem drainase dan pengaturan tata air gambut (hidrologis) sangat mungkin untuk pengembangan tanaman pangan di Pulang Pisau,” lanjutnya.
Di lain pihak, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menganggap rencana proyek food estate pemerintah untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi, sebagai langkah berlebihan. Apalagi proyek ini menyasar eks lahan PPLG era Orde Baru yang notabene mencatat kegagalan dan merusak lingkungan.
Menurutnya, pandemi COVID-19 belum mengancam persoalan pangan. Krisis itu masih jauh panggang dari api.
“Yang sangat penting saat ini pemerintah harus betul-betul mampu menjamin logistik pangan. Kenyataannya, harga di tingkat petani jeblok loh, jadi pemerintah harus benar-benar menjamin logistik pangan. Selama logistik ini terjamin dengan baik, saya tidak melihat adanya krisis pangan di Indonesia,” katanya kepada kumparan.
Andreas menjelaskan, produksi beras dalam negeri sepanjang tiga tahun terakhir memang menurun. Pada Januari hingga Mei 2020 dibanding periode yang sama pada 2019, sudah terjadi penurunan produksi beras sebesar 1,8 juta ton. Produksi beras tahun ini juga akan turun akibat mundurnya panen raya.
Pada tahun 2018, menurut Andreas, produksi beras dalam negeri bisa dibilang cukup baik meskipun lebih rendah dari tahun sebelumnya. Tahun 2019, produksi beras menurun akibat cuaca ekstrem di awal tahun dan kemarau panjang.
Sejak 2017, produsen utama beras nasional berasal dari tiga provinsi besar, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sayangnya produksi beras dari tiga besar produsen ini juga menurun dua tahun terakhir.
Pada 2018, produksi beras di Jawa Tengah mencapai 10,4 juta ton. Angka ini turun pada 2019 menjadi hanya 9,6 juta ton. Kemudian di Jawa Timur, produksi beras pada 2018 mencapai 10,2 juta ton. Jumlah ini juga turun di 2019 menjadi 9,5 juta ton. Begitu pula produksi beras di Jawa Barat pada 2018 mencapai 9,6 juta ton, juga turun menjadi 9 juta ton di 2019.
Tapi konsumsi beras masih bisa diselamatkan lewat ketergantungan impor yang jumlahnya tergolong tinggi. Berdasarkan data BPS Oktober 2019, impor beras dari Vietnam naik dari tahun 2017 sebesar 16.599,9 ton menjadi 767.180,9 ton diikuti jumlah impor dari Thailand 108.944,8 ton (2017) menjadi 795.600,1 ton (2018).
Atas dasar itu, Andreas yakin stok beras dalam negeri ditambah impor masih akan mencukupi kebutuhan pangan di tahun 2020. Dengan catatan, stok tersebut bisa lancar, dan ini tergantung pada sistem perdagangan internasional dari negara yang mengekspor ke Indonesia.
Ia justru heran pemerintah menyasar pembukaan sawah di eks lahan PPLG. Menurutnya, itu bakal sia-sia, sebab klahan gambut di Kalteng tak cocok menjadi persawahan. Menjamah kembali proyek food estate ia anggap bakal menemui kegagalan plus merusak lingkungan.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Dimas Hartono, pembukaan lahan gambut untuk pertanian berskala besar sama saja membuka kehancuran lingkungan yang belum sembuh akibat PPLG era Soeharto. Pembangunan kanal dan sekat untuk menguras air di bawah lahan gambut berisiko menghancurkan ekosistem gambut yang sulit untuk diperbaiki.
“Karakternya gambut harus basah dan nggak boleh kering. Sehingga kalau gambut dikeringkan atau dibuat kanal-kanal, maka itu menjadi bahan bakar yang mudah sekali terbakar. Sekecil apa pun pemicunya, akan mempermudah kebakaran lahan,” kata Dimas.
Banyak kubah gambut berada di lokasi eks PPLG. Jika ekologi gambut ini terjamah dan rusak, maka kebakaran hutan tinggal menunggu waktu saja. Kebakaran hutan besar di Kalteng, kata Dimas, terjadi pertama kali itu tahun 1997 setelah pembukaan PPLG.
Ia khawatir pemerintah pusat saat ini belum memiliki kajian lingkungan atau kajian kelayakan wilayah yang akan digunakan untuk skema food estate di Kalteng. Bila benar demikian, proyek ini hanya bertujuan untuk mendatangkan investasi, bukan menguntungkan masyarakat dan petani.
Proyek food estate di Indonesia punya rekam jejak buruk dari pemerintahan ke pemerintahan. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, food estate pernah dibuat melalui pembukaan lahan seluas 100 ribu hektare di Ketapang, Kalimantan Barat, dan 200 ribu hektare di Kalimantan Timur. Tetapi, bukannya hasil maksimal yang didapat, proyek ini justru berujung pada kasus korupsi.
Bareskrim Mabes Polri mencokok Direktur Utama PT Sang Hyang Seri, Upik Rosalina Wasrin, dan menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi cetak sawah fiktif 2012-2014 di Ketapang, Kalimantan Barat. Saat itu, Upik juga menjabat sebagai ketua tim kerja BUMN Peduli 2012.
Upik Rosalina saat itu menetapkan Ketapang sebagai lahan cetak sawah tanpa melakukan investigasi terlebih dahulu. Ketika itu Kementerian BUMN mempercayakan proyek tersebut kepada PT SHS. Proyek senilai Rp 317 miliar itu juga melibatkan perusahaan pelat merah lainnya.
Pada 2015, Presiden Jokowi juga menjalankan proyek food estate melalui pembukaan 2,5 juta hektare lahan di Merauke, Papua. Saat itu Jokowi melihat potensi luas lahan yang bisa dimanfaatkan untuk Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 1,2 juta hektare, khusus untuk pertanian padi.
Seiring berjalannya waktu, dari target 1,2 juta hektare yang diminta, Bupati Merauke Frederikus Gebze menyebut hanya 350 ribu hektare saja yang akan dioptimalkan. Ini juga bertujuan agar tidak ada konflik vertikal dengan masyarakat adat.
Saat dikonfirmasi terpisah terkait kelanjutan program food estate yang pernah dibuat pada masing-masing pemerintahan, Kepala Ketahanan Pangan Kementan Agung Hendriadi berkata singkat, “Saya tidak terlalu mengikuti.”
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana, menyebut setidaknya ada dua faktor yang membuat proyek food estate gagal di Indonesia. Satu, ketidakpahaman pemerintah dengan ekosistem lahan dan kecenderungan untuk mengabaikannya. Dua, sarana produksi pertaniannya bukan tanaman genuine di lahan tersebut.
Setelah gagal berkali-kali, food estate kini justru menyasar bekas lahan proyek pangan yang gagal di masa Orde Baru. Keputusan ini, kata Wahyu, sama saja mengajak untuk berkubang di kegagalan yang sama.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.