Berebut Lowongan Kerja dengan Robot, Bagaimana Manusia Bersiasat?

10 Januari 2020 17:05 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi robot dan manusia berebut pasar kerja. Foto: Argy Pradypta/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi robot dan manusia berebut pasar kerja. Foto: Argy Pradypta/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah lowongan kerja di berbagai negara, termasuk di Indonesia, perlahan sudah mulai digantikan oleh teknologi atau robot. Jumlahnya setiap tahun diperkirakan terus bertambah. Digitalisasi mau tidak mau harus dihadapi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Federasi Robotika International, terlihat perkembangan digitalisasi atau otomatisasi industri di sebagian besar negara maju, ada 74 robot terpasang per 10.000 karyawan secara global pada tahun 2016. Angka itu meningkat menjadi 85 di tahun berikutnya.
Di Asia, China menjadi negara yang tingkat pertumbuhannya tertinggi. China menargetkan menjadi 10 negara teratas di dunia untuk kepadatan robot pada tahun 2020. Saat ini, Korea Selatan yang jumlah robotnya sudah cukup banyak.
Pada 2017, Korea Selatan memiliki 710 robot industri terpasang per 10.000 karyawan. Itu terutama karena berlanjutnya pemasangan robot volume tinggi di sektor elektronik dan listrik.
Sementara itu di Indonesia, perlahan tapi pasti sudah banyak perusahaan yang memanfaatkan kecanggihan teknologi atau digitalisasi. Hal itu bisa dilihat misalnya di jalan tol, petugas untuk menerima pembayaran di gardu tol sudah jarang terlihat.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah digitalisasi itu menjadi sebuah ancaman untuk karyawan?
Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, menjelaskan bahwa perkembangan zaman tidak bisa dihindari, termasuk adanya perubahan teknologi.
Peluncuran Buku 'Sentra' Karya Rhenald Kasali di FX Senayan, Jakarta Selatan, Jumat (13/12). Foto: Darin Atiandina/kumparan
Rhenald mencontohkan di awal abad 20, kendaraan yang digunakan manusia masih kereta kuda. Setelah itu, secara perlahan kereta kuda tergeser seiring berkembangnya dunia otomotif.
Kusir hingga tukang kuda kehilangan pekerjaan, perusahaan kurir yang mengandalkan kuda gulung tikar. Namun, tidak sedikit peluang pekerjaan yang dihasilkan oleh dunia otomotif. Ada profesi-profesi baru seperti montir, teknisi, sopir, dan seterusnya.
“(Adanya industri otomotif) Nah itu penciptaan pasar. Pasarnya dealership, asuransi, besi, kaca, ban mobil, pembiayaan perbankan, kontrusksi dan sebagainya itu maka timbul pekerjaan jutaan orang gitu,” kata Rhenald saat ditemui kumparan di Rumah Perubahan, Bekasi, Minggu (5/1).
ADVERTISEMENT
“Yang tadinya hilang 100 ribu digantikan 25 juta pekerjaan baru, tapi 25 pekerjaan baru perlu waktu enggak bisa sekaligus. Ini 100 ribu (lapangan pekerjaan) hilang yang punya peternakan kuda ngomel, yang mempunyai bengkel kereta kuda ngomel, semua hilang tetapi muncul profesi baru,” tambahnya.
Sehingga Rhenald merasa digitalisasi tidak perlu dikhawatirkan. Ia hanya menyarankan kepada karyawan yang merasa terancam agar selalu punya atau siap berinovasi.
Rhenald menjelaskan, digitalisasi juga memunculkan sebuah inovasi baru yang disebutnya efisiensi innovation. Inovasi itu bisa membuat pabrik tidak lagi memerlukan karyawan yang banyak, yang semula 100 ribu bisa dikurangi menjadi 2 ribu karyawan saja karena bisa digerakkan dari jarak jauh dengan mesin.
Rhenald mencontohkan pekerjaan yang dimaksud seperti pembakaran baja atau memotong besi karena berbahaya bisa cukup memakai robot. Selain itu bank juga tidak lagi memerlukan kantor cabang terlalu banyak. Sudah banyak pula pihak yang mempercayakan cctv sebagai pengaman di rumahnya. Sehingga ada efisiensi.
Robot Sophia. Foto: AFP/FABRICE COFFRINI
“Jadi ada pekerjaan yang hilang, ada pekerjaan baru yang muncul,” ujar Rhenald.
ADVERTISEMENT
Rhenald tidak menampik inovasi itu menimbulkan dampak positif dan negatif. Negatifnya, orang harus lebih kreatif dalam mencari lowongan kerja karena tidak bisa lagi hanya mengandalkan otot. Attitude juga diperlukan dalam perkembangannya. Sebab, kata Rhenald, orang mau bertindak curang bisa ketahuan karena kecanggihan teknologi.
Dampak positifnya, kata Rhenald, digitalisasi itu dapat membuat konsumsi naik, menciptakan pasar baru. Ia mencontohkan yang semula anak kos lebih suka masak mi instan sudah berubah karena ada aplikasi untuk memesan makanan yang harganya tidak terlalu mahal.
“Nah kalau sudah begitu masyarakat mempunyai kelebihan waktu dan uang, maka muncul profesi-profesi baru positif maupun negatif. Ini yang kita petakan yang negatif, yang negatif buzzer politik karena itu kan orang pintar semua dan sehari-hari kita ketemunya kayaknya orang ini bloon biasa saja, diem. Nyatanya begitu dia (buzzer politik) nulis pedas. Ternyata dia terima bayaran karena laku. Kemarin dalam Pilpres terasa sekali,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, waktu luang dan kemudahan karena digitalisasi itu juga membuat berwirausaha jadi lebih mudah. Proses berwirausaha sekarang tidak semuanya membutuhkan aset seperti tanah dan gedung perkantoran.
“Tanpa mempunyai aset bisa menghasilkan revenue yang besar. Muncul Gojek, Grab, belum lagi pekerjaan lain,” ungkap Rhenald.
Rhenald memastikan proses digitalisasi ini bakal terus berlangsung. Ia mengharapkan kepada semua masyarakat agar juga berpikir besar dalam mengeksplorasi diri. Sebab, kata Rhenald, perusahaan tentu sudah memikirkan menjalankan pekerjaan dengan robot atau mesin.
Rhenald mengakui dibutuhkan modal yang besar bagi perusahaan yang ingin mengganti karyawannya dengan robot. Namun, modal tersebut semakin lama bakalan terjangkau. Apalagi, menggunakan mesin juga ada keuntungan lain yang tidak didapatkan dari manusia.
Kasir di Hema, bayar dengan Alipay. Foto: Muhammad Fikrie/kumparan
“Misalnya kalau dia pakai mesin dia bisa beroperasi 3 shift, manusia apa bisa. UU kerja manusia ada. Selanjutnya manusia itu baperan, mudah marah, mesin enggak kenal marah. Selanjutnya manusia bisa mengorganisir kekuatan dan demo, mogok. Mesin enggak, yang penting listriknya ada, maintenance-nya betul, jalan dia,” ujar Rhenald.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Rhenald menegaskan tidak perlu takut dengan adanya digitalisasi karena bakal ada peluang pekerjaan lainnya asalkan ada inovasi. Ia juga meminta khususnya kepada anak muda atau para pencari kerja agar tidak menganggap digitalisasi membuat manusia susah mendapatkan pekerjaan.
Untuk itu, Rhenald memberikan beberapa tips agar siap bersaing dalam mencari pekerjaan di tengah digitalisasi yang memang tidak bisa dihindari.
“Anak muda harus dikasih advice bahwa dunia baru ini tak ada tempat buat kaum medioker, kaum pas-pasan. Semuanya harus extra ordinary. Mereka harus mempunyai kelebihan karena pemberi kerja hanya mencari orang yang mempunyai kelebihan itu,” kata Rhenald.
Menurut Rhenald, orang yang mempunyai kelebihan bakal bisa bersaing. Ia merasa pola pikir pekerjaan saat ini juga harus diubah karena adanya efisiensi. Rhenald mengatakan, dulu orientasi kerja adalah di ibu kota. Padahal, peluang kerja juga banyak di daerah. Apalagi ada pabrik yang mulai pindah ke daerah karena biayanya murah.
Suasana kompetisi robotik siswa-siswi madrasah se-Indonesia oleh Kemenag, Minggu (4/11/2018). Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan
“Jadi anak muda harus berpikir eksploratif bukan eksploitatif. Eksploitatif melakukan berulang-ulang di tempat sama. Eksploratif itu mencari hal-hal baru. Jadi eksploratif. Jadi jangan berpikir pekerjaan itu yang dicitrakan orang tua kalian. Bank, PNS, Pabrik. PNS saja berkurang. Anak muda punya peradabannya sendiri,” tutur Rhenald.
ADVERTISEMENT
Harus digarisbawahi juga bahwa anak muda jangan hanya berorientasi mencari lowongan kerja, tapi bisa juga menciptakan pekerjaan.
“Kemudian keahlian, kerja susah ya ciptakan keahlian. Semua keahlian bisa dipelajari, sekarang ada do it your self. Kalau saya bisa ternak atau apa bisa dipelajari,” terang Rhenald.