Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Budi Waseso, Direktur Utama Badan Urusan Logistik, harus pintar-pintar putar otak. Perusahaan pelat merah yang ia pimpin tengah limbung. Neraca keuangan Bulog terus minus akibat utang segunung.
Per September lalu, liabilitas atau utang perusahanan menyentuh Rp 28 triliun. Tak cuma utang pokok, Bulog juga harus menanggung bunga pinjaman yang tak kecil.
“Setiap bangun pagi, Pak Budi harus memikirkan bunga hampir Rp 10 miliar,” kata Agus Suharyono, mantan Asisten Deputi Usaha Industri Agro dan Farmasi II Kementerian BUMN, suatu hari pada pertengahan September di kantornya.
Buwas, akronim sekaligus sapaan Budi Waseso, pun harus memikirkan operasional perusahaan dengan 4.000 karyawan yang per harinya bisa mencapai Rp 6 miliar. Keuangan Bulog beberapa tahun terakhir tak pernah sehat.
Besarnya kebutuhan Bulog untuk membayar utang diakui Buwas. Dalam sebuah kesempatan, ia mengungkap butuh Rp 14-16 miliar per hari untuk menambal bunga pinjaman kepada bank. Dengan kata lain, besarnya mencapai Rp 240-250 miliar per bulan.
Berdasarkan laporan keuangan 2014, Bulog sudah punya utang Rp 16 triliun. Setahun kemudian angkanya membengkak menjadi Rp 23 triliun.
Pada 2017, Bulog lumayan bisa menekan utang hingga ke angka Rp 17 triliun. Namun setahun berselang, utang kembali menggelembung.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, Bulog termasuk dalam tujuh BUMN yang merugi saat tutup buku pada 2018. Hal itu ia sampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR yang memonitor keuangan dan perbankan, Senin (2/12).
Menurut Sri Mulyani, terdapat kelebihan pengakuan pendapatan atas penyaluran program bantuan sosial Beras Sejahtera (Rastra) pada 2018. “Sehingga Bulog harus melakukan pembebanan koreksi pendapatan di tahun 2018,” ujarnya.
Rastra yang dimaksud Menkeu itu sebelumnya dikenal dengan nama Raskin atau Beras untuk Rumah Tangga Miskin. Raskin dimulai sejak krisis moneter 1998, dan berubah nama menjadi Rastra pada 2015.
Kinerja keuangan yang morat-marit membuat Bulog masuk radar pemerintah. Kajian Direktorat Kekayaan Negara Kemenkeu mengindikasikan Bulog terancam bangkrut. Kesehatan keuangan Buolog dievaluasi menggunakan indikator Z-Score.
Z-Score dapat mengukur kerentanan suatu perusahaan mengalami kebangkrutan. Hasilnya, Perum Bulog cuma mendapat nilai Z-Score 0,93 sehingga masuk kategori zona merah.
Kajian itu juga menunjukkan pengembalian ekuitas atau Return on Equity (ROE) Bulog berada di angka -8,9 persen. ROE mengukur kemampuan sebuah perusahaan menghasilkan laba dari investasi yang disuntikkan pemegang saham.
Tak hanya itu, rapor Debt to Equity Ratio (DER)—rasio perbandingan utang terhadap ekuitas/modal—Bulog masih merah di posisi 3,02. Bagi Buwas, keuangan Bulog yang minus tak bisa dihindarkan.
Begini persoalannya. Bulog mendapat tugas menyerap beras dari petani dengan tujuan menjaga stabilitas harga. Beras itu nantinya masuk ke dalam stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Untuk menyerap atau membeli beras dari petani itu, Bulog meminjam uang ke bank. “Bunganya komersial. Jadi ada bunganya, (dan) kan bunga berjalan,” kata Buwas di Kantor Pusat Bulog, Jakarta, Selasa (3/12).
Persoalan kemudian muncul ketika CBP tidak bisa disalurkan. Buwas menyoroti perubahan program Rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Sebab, dalam program Rastra, pemerintah menyalurkan beras Bulog kepada masyarakat tidak mampu, sedangkan BPNT menerapkan skema berbeda.
BPNT memberikan bantuan melalui akun elektronik yang digunakan untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan/e-Warong yang bekerja sama dengan bank. Artinya, BPNT memungkinkan masyarakat memanfaatkan bantuan tersebut untuk membeli beras yang kualitasnya lebih bagus dari penyedia selain Bulog. Alhasil, stok beras CBP tidak tersalurkan dan menumpuk.
“Ini berdampak pada stok (beras) di Bulog yang tidak bergeser (berkurang),” kata Buwas.
Bulog akhirnya tidak bisa memutar uang untuk melunasi pinjaman bank. Bunga yang terus bertambah membuat utang Bulog semakin menumpuk.
Tumpukan utang itu tidak terjadi di lini beras komersial Bulog, sebab proses penjualannya berjalan lancar. Masalahnya, Bulog cuma punya porsi beras komersial 20 persen, sementara 80 persen beras yang ia kelola merupakan CBP. Akibatnya, perputaran uang beras CBP lebih dominan mempengaruhi keuangan Bulog.
Presiden Jokowi, menurut Buwas, pernah menjamin agar Bulog menjadi penyalur tetap beras untuk program Bantuan Pangan Non Tunai atau BPNT. Namun, hal tersebut belum terealisasi di lapangan.
“Di lapangan, sampai saat ini dari pihak ketiga masih belum ikhlas diserahkan ke Bulog. Kami terus berusaha dan bertempur,” kata Buwas.
Mantan Dirut Bulog Sutarto Alimoeso menilai bahwa pemerintah tengah berusaha mendorong BUMN yang pernah ia tangani itu bersaing dengan swasta. Menurutnya, selama ini ada anggapan Bulog terlalu nyaman dengan penugasan pemerintah untuk membeli beras dari petani dan menyalurkannya dalam bentuk Rastra dengan mudah.
“Sehingga kualitas berasnya kurang bagus dan sebagainya,” ujar Sutarto.
Tapi, ia berpendapat, situasi bisnis dan tugas stabilisasi pangan yang menjadi fungsi utama Bulog berbeda 180 derajat. Alhasil, dua peran yang bertolak belakang itu membuat Bulog berada dalam dilema.
Sutarto mencontohkan, saat panen raya ketika harga harga beras umumnya anjlok karena kelebihan permintaan, pemerintah memerintahkan Bulog untuk membeli beras dari petani. Sebab bila tidak, petani bakal merugi.
Padahal di sisi lain, periode panen raya biasanya sudah masuk musim hujan sehingga kualitas padi menjadi jelek. Artinya, semisal terdapat beras yang kurang bermutu pun, Bulog harus membelinya.
“Kalau bisnis, ngapain aku beli (beras) banyak-banyak yang kualitasnya kurang (bagus). Tapi kan nggak bisa begitu. Bulog wajib beli,” kata Sutarto.
Imbas pembelian beras kurang bermutu itu, Bulog akan kesulitan menjual berasnya di kemudian hari lantaran kualitasnya kalah dibanding penyedia lain di pasaran.
Sebetulnya, ada saluran lain bagi Bulog untuk mengeluarkan stok Cadangan Beras Pemerintah atau CBP, yakni saat operasi pasar. Namun, operasi pasar hanya bisa dilakukan bila harga beras terlalu tinggi di pasar, dan hal itu tidak terjadi setiap waktu.
Maka bagi Sutarto, kebijakan pemerintahlah yang tak lain membuat Bulog kini tersungkur.
“Ini secara politis juga harus menjadi perhatian khusus. Bulog harus dibesarkan, bukan dikecilkan, (bukan) disuruh terjun bebas,” ujar pria yang kini menjabat Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia itu.
Mohamad Husein Sawit, peneliti kebijakan pertanian yang juga pernah menjadi senior advisor Bulog untuk jangka waktu panjang, menyarankan agar pemerintah meletakkan fungsi publik dan fungsi bisnis Bulog secara proporsional.
“Kalau fungsi bisnis ya urusannya Bulog, untung rugi Bulog. Tapi urusan PSO (public service obligation/kewajiban pelayanan publik), ini harusnya tanggung jawab penuh pemerintah karena untuk kepentingan publik,” katanya.
Selama ini penugasan pemerintah kepada Bulog untuk membeli beras dari petani menggunakan sistem penggantian. Pertama-tama, Bulog meminjam uang ke bank untuk membeli beras petani. Berikutnya, pemerintah baru akan mengganti biayanya bila Bulog sudah berhasil menjual beras tersebut.
Dengan skema seperti itu, menurut Husein, pemerintah memang bisa menghemat APBN. Namun Bulog akan terkena imbas ketika penyaluran beras CBP mandek.
Oleh sebab itu Husein mengusulkan agar dibuat sistem terintegrasi antara pengadaan, penyaluran, penyimpanan, dan dana sehingga Bulog tidak terkesan ditinggal sendirian tanpa campur tangan pemerintah.
“Semuanya harus terintegrasi, termasuk privilese-privilese yang terkait (pemberian kewenangan) impor kepada Bulog," ujar Husein.
Terlebih, selama ini porsi penyerapan beras dari petani ialah 80-90 persen dari pengeluaran Bulog. Husein menambahkan, Bulog juga sering kebingungan dengan perbedaan kebijakan antara lembaga.
“Pemerintah jangan membebani kepentingan publik diserahkan ke Perum Bulog. Ambruk perum itu,” tegas Husein.
Besarnya porsi penugasan pemerintah yang harus ditanggung Bulog disadari oleh Buwas. Itu sebabnya, ia meminta ruang komersil yang kini cuma 20 persen diperbesar.
“Paling tidak, 50 persen untuk komersial sehingga kami bisa menutupi bunga utang dan kami bisa menyicil bayar utang. Kalau 50 persen komersial-50 CBP kan jadi enggak banyak CBP-nya,” kata Buwas.
Ia kini menunggu perubahan regulasi yang bisa menyelamatkan Bulog .