Lipsus Gas Melon

Dibikin Mumet Kebijakan Gas Elpiji 3 Kg

10 Februari 2025 20:30 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Februari 2024, masyarakat diayun-ayun jargon kampanye “oke gas, oke gas”.
ADVERTISEMENT
Februari 2025, masyarakat diobok-obok kebijakan tak matang distribusi gas.
***
Ajal menjemput kapan saja. Meski begitu, keluarga tak mengira Yonih binti Saman, nenek 68 tahun warga Pamulang Barat, Tangerang Selatan, menjalani menit-menit terakhirnya sambil menenteng dua tabung gas elpiji 3 kilogram.
Senin siang, 3 Februari 2025, sekitar pukul 10.00 sampai 11.00 WIB, Yonih ikut membeli tabung elpiji ke pangkalan gas yang tak jauh dari rumahnya. Ia datang sendiri ke pangkalan karena pengecer yang biasa mengantarkan gas ke rumahnya tak boleh lagi mendistribusikan gas melon subsidi itu.
Senin itu tepat dua hari setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengeluarkan larangan pengecer menjual tabung elpiji subsidi; kebijakan yang diberlakukan mulai 1 Februari 2025. Masyarakat yang ingin membeli elpiji 3 kilo harus langsung ke agen resmi Pertamina.
ADVERTISEMENT
Yonih pun tak lagi mendapat kiriman elpiji sementara dapur warungnya harus mengepul. Setelah ditinggal mati suami, ia sehari-hari membuka warung kecil yang menjual nasi uduk, lontong sayur, dan penganan lain untuk sarapan anak sekolah, juga gorengan dan kopi.
Warung Nenek Yonih. Foto: Muthia/kumparan
Supaya warungnya tetap buka, Yonih ikut berburu elpiji. Dari warungnya—yang berhadapan dengan rumahnya dan bertetangga dengan anak cucunya—di Jl. Beringin, Yonih berjalan kaki sekitar 500 meter ke pangkalan gas.
“Dia memang mandiri. Dia nggak bisa nyetir motor, ke mana-mana jalan kaki. Belanja apa-apa jalan kaki,” kata Nimin Sugiono, adik Yonih, kepada kumparan di kediamannya, Pamulang Barat, Rabu (5/2).
Ia menjelaskan, jarak rumah/warung Yonih ke pangkalan gas tidaklah jauh.
“Ada orang bilang [Yonih] antre sampai muter-muter 3 km. Itu enggak benar.”
ADVERTISEMENT
kumparan menyusuri jalan yang dilalui Yonih dari warung ke pangkalan gas dan menghitung jaraknya sekitar 500 meter atau setengah kilometer, tak sampai 10 menit berjalan kaki.
Yonih tak antre gas lama-lama karena dua tabung gas untuknya sebetulnya sudah disiapkan oleh agen.
“Memang sudah langganan. Agennya juga masih keluarga kami. Makanya dia (Yonih) diutamakan. Begitu sampai sana, dibilang ‘Udah, bawa aja itu dua gas.’ Yang antre itu pembeli yang jauh-jauh,” terang Nimin.
Jalan yang dilalui Nenek Yonih saat mengentre gas LPG 3 kg di Pamulang Barat, Rabu (5/2/2025). Foto: Muthia/kumparan
Yonih hanya antre sebentar, lalu menenteng dua gas menuju warungnya. Sementara sesudah ia meninggalkan pangkalan gas, antrean mulai mengular.
Di tengah perjalanan pulang, saat akan belok ke gang arah warungnya, Yonih tiba-tiba duduk bersandar di dinding kios laundry. Ia seperti kelelahan.
ADVERTISEMENT
Pemilik laundry lantas menghubungi keluarga Yonih, “Bang, tolong tengokin Empok, kayaknya sakit dah.”
Yonih lalu dijemput dan dibawa pulang oleh menantunya. Saat ditanya, Yonih berkata, “Enggak tahu nih, lemas, kepala pusing.”
Yonih diberi minum dan setelahnya tiduran. Waktu ditanya apakah mau ke rumah sakit, ia menjawab, “Enggak dulu dah, tiduran dulu.”
Lima menit kemudian, keluarganya curiga karena tidurnya Yonih tampak amat diam. Saat tubuhnya dipegang, ia ternyata telah meninggal.
“Udah kosong, udah nggak ada,” ucap Nimin.
Suasana rumah duka Nenek Yonih. Foto: Muthia/kumparan
Menurut Nimin, kakaknya meninggal bukan karena antre elpiji, karena memang ia tak mengantre lama seperti banyak pembeli lain yang datang sesudahnya.
Keluarga menduga Yonih kelelahan karena malamnya memasak sampai pagi.
“Memang kalau jualan kan bangun malam buat masak. Masak nasi uduk kan malam. Pagi mungkin kecapekan, [ditambah] dia belanja dan bawa dua gas,” ujar Nimin.
ADVERTISEMENT
Ia yakin, “Ibu [Yonih] bukan kelelahan antre, tapi kecapekan dagang.”
Bagaimanapun, kabar meninggalnya nenek Yonih yang terlihat membawa dua gas melon langsung menjadi sorotan dan menyebar cepat di tengah publik. Pemberitaannya berseliweran di beranda media sosial, bercampur baur dengan berbagai tayangan pendek yang memperlihatkan antrean gas subsidi.

Antrean Gas Bikin Warga Uring-uringan

Terhitung sampai Rabu (5/2), masyarakat masih kesulitan mendapatkan gas 3 kg. Ernawati, ibu rumah tangga di Jati Padang, Jakarta Selatan, harus berkeliling Pasar Minggu dan mengantre berjam-jam agar kompornya bisa menyala.
Setelah memutari Kecamatan Pasar Minggu, sore itu Erna akhirnya menemukan pangkalan gas resmi. Tapi ia harus antre sampai malam, sekitar pukul 19.30, karena pangkalan itu baru menerima pasokan gas dari agen selepas magrib. Alhasil, mau tau mau Erna menunggu bersama puluhan warga lain.
ADVERTISEMENT
Erna biasanya menghabiskan satu tabung elpiji 3 kg untuk seminggu. Ini terhitung hemat, sebab Erma tidak memasak setiap waktu, tapi diselingi dengan membeli makanan di luar atau memasak dengan alat masak listrik.
Pun begitu, Erna uring-uringan ketika gas “menghilang” karena ia harus masak bekal sekolah untuk tiga anaknya.
“Kasihan anak-anak,” kata Erna, sewot.
Warga membawa gas elpiji 3 saat operasi pasar di Badung, Bali, Rabu (5/2/2025). Foto: Fikri Yusuf/ANTARA
Jamal dan istrinya yang tinggal di Kalibata, Jaksel, juga khawatir tak bisa memasak untuk anak mereka akibat kebijakan baru distribusi gas melon.
Rabu malam, Jamal keliling di sekitar tempat tinggalnya untuk mencari gas, tapi kosong di pangkalan yang ia datangi. Istri Jamal pun menghemat penggunaan sisa gas. ia hanya memasak untuk anak mereka.
“Bener-benar diawet-awet [pemakaiannya]. Saat tekanan gas berkurang, di angka 1 [ampere pada regulator tabung gas], kami udah cari [gas] lagi. Biasanya baru cari kalo sudah abis,” ujar Jamal.
ADVERTISEMENT
Kerepotan itu bukan cuma dialami warga perkotaan, tapi juga perdesaan. Sukamto, warga Desa Ngasinan, Gunung Kidul, Yogyakarta, juga baru mendapat satu tabung gas melon setelah mencari sampai ke desa tetangga, bahkan ke luar Yogya, yakni Klaten.
Untungnya keluarga Sukamto tak sepenuhnya bertumpu pada elpiji untuk memasak. Mereka masih menggunakan cara tradisional dengan kayu bakar.
“Yo susah [cari gas],” kata Sukamto, Jumat (7/2).
Warga antre LPG 3 kg di Denpasar, Bali, Selasa (4/2/2025). Foto: Denita BR Matondang/kumparan

Penyebab Kekacauan Distribusi Elpiji

Akar kekacauan distribusi elpiji 3 kg awal Februari kemarin ialah kebijakan Menteri ESDM yang melarang pengecer mendistribusikan atau menjual tabung gas subsidi tersebut. Kebijakan itu diumumkan Bahlil pada akhir Januari dan diberlakukan 1 Februari 2025.
Tak dinyana, kebijakan tersebut berimbas runyam. LPG tak lagi ditemukan di warung-warung pengecer. Sontak antrean mengular di pangkalan-pangkalan gas. Masyarakat takut tak kebagian gas melon.
ADVERTISEMENT
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari menjelaskan, riuh antrean elpiji bukan karena tabung gas langka, sebab pasokan awal Februari tetap sama. Hanya saja, tabung elpiji sempat terpusat di pangkalan, padahal masyarakat biasa beli di pengecer.
“Dari Pertamina tidak ada pengurangan. Kami tetap menyalurkan sesuai alokasi yang disampaikan pemerintah,” kata Heppy kepada kumparan usai meninjau pangkalan LPG bersama pimpinan DPR di Slipi, Jakarta Barat, Kamis (6/2).
Antrean masyarakat diduga terjadi salah satunya karena panic buying. Masyarakat yang biasa membeli gas di pengecer dan mendapat antaran gas ke rumah panik karena pengecer tak boleh lagi menjual gas.
“Jadi mereka [mau] beli satu, tapi karena panik bawa tiga. Jadi stok di lapangan tetap habis berapa pun kita kasih, sebab serapannya tinggi,” terang Heppy.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelum bertemu Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/2/2025). Foto: Galih Pradipta/ANTARA
Kekacauan yang dimulai 1 Februari itu direspons Presiden Prabowo Subianto dengan memanggil Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ke Istana Negara pada Selasa, 4 Februari. Hasilnya, Prabowo meminta Kementerian ESDM mencabut kebijakan pelarangan pengecer menjual elpiji 3 kg.
ADVERTISEMENT
Prabowo memerintahkan Bahlil mengembalikan pola distribusi yang berlaku sebelumnya dengan sedikit variasi: pedagang yang biasanya jadi pengecer dijadikan sub-pangkalan.
“Jadi mulai hari ini, pengecer-pengecer di seluruh Indonesia kembali aktif [berjualan LPG 3 kg],” ujar Bahlil saat sidak ke Pangkalan di Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (4/2).
Kebijakan baru distribusi elpiji itu praktis hanya berumur empat hari. Kebijakan tersebut menjadi salah keputusan di era pemerintahan Prabowo yang paling cepat dicabut, menyusul kebijakan sebelumnya yang juga diprotes keras oleh publik, yakni PPN 12 persen.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad meninjau pangkalan gas LPG 3 kg di Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (6/2/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparan

Eksekusi Kebijakan yang Serampangan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dari tujuannya, kebijakan pengaturan distribusi gas subsidi pada dasarnya sangat baik. Pengaturan distribusi akan memudahkan pemerintah mengontrol harga eceran tertinggi (HET) dan tidak ada lagi yang bisa memainkan harga LPG di masyarakat. Subsidi elpiji oleh negara pun diharapkan benar-benar tepat sasaran.
Lewat regulasi distribusi yang matang, harga elpiji subsidi akan sampai ke masyarakat yang berhak, seperti tertulis pada tabung elpiji 3 kilo tersebut: “hanya untuk masyarakat miskin”.
Niat memperbaiki rantai distribusi LPG subsidi ini menyusul dan melengkapi kebijakan Pertamina sejak 1 Juni 2024 yang mewajibkan penggunaan KTP bila hendak membeli elpiji subsidi. Tujuannya sama, untuk meminimalisir masyarakat yang mampu menikmati elpiji bersubsidi.
Namun kebijakan tidak semata bagus dari gagasan. Ia butuh dieksekusi dengan baik, terukur, dan matang. Sementara dalam kasus pelarangan pengecer jual elpiji 3 kg ini dinilai kurang matang. Eksekusi yang dilakukan Kementerian ESDM kurang persiapan dan dinilai serampangan.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan, tujuan Menteri ESDM mengendalikan subsidi adalah tepat. Salahnya karena kebijakannya tiba-tiba. Tanpa sosialisasi dan akhirnya membuat masyarakat bingung dan panik. Terjadilah kekacauan di masyarakat yang tak diantisipasi pemerintah.
“Salahnya ada di mana? Salahnya adalah rencana ini tidak disiapkan dengan matang dan tidak disosialisasikan atau dikomunikasikan dengan baik. Ini menurut saya cukup fatal,” kata Tumiwa kepada kumparan, Kamis (6/2).
Tumiwa mengatakan kebijakan ‘1 Februari 2025’ tidak memetakan dan antisipasi risiko. Ditambah tak ada sosialisasi berarti. Kebijakan larangan pengecer menjual LPG diumumkan pada akhir Januari, masa-masa libur panjang, menjelang Imlek.
“Bisa dibayangkan, tidak banyak masyarakat yang tahu perubahan ini. Mungkin dari sisi pemerintah sudah disampaikan kepada Pertamina, tapi tidak disampaikan ke masyarakat, kepada konsumen. Sedikit konsumen yang paham soal itu,” kata Tumiwa.
ADVERTISEMENT
“Tidak disiapkan dengan baik, mungkin juga berkontribusi pada ketersediaan LPG di pangkalan tadi,” tambahnya.
Tiga kesimpulan Tumiwa yang menjadi penyebab kekacauan LPG awal Februari, pertama: perencanaannya tidak matang dan detail. Kedua, sosialisasi kepada masyarakat tidak dilakukan. Ketiga, dampak dari keduanya menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira. Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga menilai kebijakan Kementerian ESDM tidak diasosiasikan. Tanpa uji coba. Tidak ada persiapan sistem.
Bhima juga menganggap Kementerian ESDM gagap menentukan penyebab utama masalah LPG bersubsidi tak tepat sasaran. Menteri ESDM seolah-olah menjadikan pengecer sebagai pusat masalah dan penyebab subsidi LPG tak tepat sasaran. Padahal, bagi Bhima, rantai distribusi yang lebih besar justru yang perlu dievaluasi.
ADVERTISEMENT
Pengecer kecil di warung-warung justru membantu distribusi LPG bersubsidi dan keuntungan yang mereka dapat tak sebesar yang diambil ‘pemain besar’.
“Ini bentuk kegagalan dari sisi kebijakan pemerintah (ESDM), kebijakan BUMN yang melakukan penugasan untuk distribusi LPG, yang akhirnya menjadi korban adalah masyarakat,” kata Bhima, Kamis (6/2).
Bagi Bhima kebijakan ‘1 Februari’ sebagai salah satu langkah yang terindikasi miskoordinasi yang mengorbankan masyarakat. Alhasil, kebijakan Menteri ESDM hanya bertahan 3 hari hingga kemudian ditarik kembali.
“Akhirnya mengorbankan masyarakat yang harus antri. Kemudian hanya dalam beberapa saat kebijakannya dianulir, dikembalikan lagi kepada pengecer,” ungkap Bhima.
Menteri Bahlil berbincang dengan warga yang antre membeli gas elpiji 3 kg di kawasan Palmerah, Jakbar, Selasa (4/1/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menteri Bahlil yang menuai tekanan publik akhirnya meminta maaf. Ia mengakui kebijakan memberhentikan secara tiba-tiba pengecer untuk berjualan LPG 3 kg adalah keputusan yang kurang tepat.
ADVERTISEMENT
"Kemarin ada sedikit yang kurang pas menurut saya. Dan saya sudah minta maaf kepada rakyat, adalah sub pangkalan ini, pengecer ini tiba-tiba kita stop,” ujar Bahlil saat sambutan dalam Pembukaan Rakernas Golkar di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Sabtu (8/2).
Sekarang pemerintah mengizinkan kembali pengecer mendistribusikan elpiji bersubsidi tapi dengan mendaftarkan diri sebagai sub pangkalan ke Pertamina. Bahlil menyebut, ada sekitar 370.000 pengecer yang bisa menjadi sub pangkalan Pertamina Patra Niaga.
Meski begitu, sistem sub-pangkalan yang dimunculkan pemerintah belum memiliki sistem yang jelas. Bahlil mengatakan, kebijakan baru tersebut diberlakukan secara bertahap.
“Sekarang kita ubah bertahap kita lakukan penataan agar tetap mereka bisa berjalan dan sekarang mereka sudah bisa berjalan," ujar Bahlil.
Warga antre membeli gas melon Cimahi, Jawa Barat, Senin (3/2/2025). Foto: Abdan Syakura/ANTARA
Heppy juga mengakui bahwa sistem sub-pangkalan masih terus berproses secara bertahap. Misal, selanjutnya akan dibuat pengaturan dan mekanismenya.
ADVERTISEMENT
“Ada masa transisi penyajiannya mengingat ini kebijakan baru,” imbuh Heppy.
Dalam rangka menata distribusi LPG 3 kg agar lebih tepat sasaran, Kementerian ESDM menjanjikan bahwa pengecer—sebagai sub-pangkalan—tetap dapat melakukan pembelian di pangkalan.
Heppy menegaskan, kebijakan sub-pangkalan tujuannya satu: menjaga ketersediaan elpiji 3 kg untuk masyarakat yang berhak dan meningkatkan kontrol distribusi.
Secara sistem, pengecer telah terdaftar dalam Merchant Applications Pertamina (MAP). Saat ini hampir 63 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) telah terdaftar dalam MAP, dengan rincian: rumah tangga 53,7 juta NIK; usaha mikro 8,6 juta NIK; petani/nelayan 50 ribu NIK; dan pengecer 375 ribu NIK.
"Dengan adanya skema ini, diharapkan layanan kepada masyarakat tetap terjaga, sekaligus meningkatkan pengawasan pemerintah melalui Pertamina terhadap distribusi dan konsumen LPG 3 kg," tambah Heppy.
Pertamina Patra Niaga memperluas pembelian LPG 3 kg secara digital, tapi pembeli manual tetap dilayani. Foto: Pertamina Patra Niaga
Tapi menurut Bhima, kebijakan sub-pangkalan tak akan banyak menyelesaikan masalah bocornya subsidi LPG. Tak akan jauh beda dengan sistem distribusi eceran sebelumnya. Terlebih sistem ini juga dianggap tidak matang.
ADVERTISEMENT
“Itu hanya kebijakan yang under pressure setelah dipanggil Pak Presiden,” imbuh Bhima.
Yang terpenting, lanjut dia, ialah bagaimana agar LPG bersubsidi dinikmati kalangan masyarakat yang berhak sebagaimana tercantum di tabung gasnya.

Evaluasi Subsidi Elpiji

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, tren alokasi anggaran negara untuk subsidi elpiji fluktuatif cenderung naik dari tahun ke tahun. Tahun ini saja pemerintah menganggarkan belanja elpiji 3 kg sebesar Rp 87,6 triliun. Angka ini naik dari dua tahun sebelumnya yang masing-masing Rp 74,3 triliun (2023) dan Rp 80,2 triliun (2024). Alokasi subsidi LPG tertinggi ialah pada 2022, mencapai Rp 100 triliun lebih.
Yang mengejutkan, alokasi subsidi LPG yang besar setiap tahunnya itu kerap bocor. Masyarakat mampu pun kerap menikmati gas bersubsidi. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan pernah mengatakan bahwa 68% gas bersubsidi dinikmati masyarakat mampu alias kaya. Sementara masyarakat tak mampu hanya menikmati 32%, atau 40% untuk golongan rumah tangga terbawah.
ADVERTISEMENT
Artinya: subsidi elpiji bocor; belum sepenuhnya tepat sasaran.
Tumiwa mengatakan, salah satu faktor subsidi LPG salah sasaran adalah karena pemerintah belum mampu mengendalikan siapa saja yang bisa membeli gas bersubsidi. Subsidi dilakukan secara terbuka sehingga orang kaya juga bisa menikmati.
Dalam Perpres Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung Gas 3 kg, yang jadi pedoman persubsidian LPG, tidak menyebutnya ‘masyarakat miskin’. Aturan pada pasal 3 poin (1) berbunyi:
penyediaan dan pendistribusian LPG Tabung 3 Kg hanya diperuntukkan bagi rumah tangga dan usaha mikro.
“Itu nggak terlalu jelas bahwa siapa yang bisa membeli itu. Jadi menurut saya perlu diperjelas kalau pemerintah bilang, emang setahu saya LPG 3 kilo itu untuk masyarakat miskin,” terang Tumiwa.
ADVERTISEMENT
Perpres No. 104/2007 pernah diajukan oleh Tutuka Ariadji pada awal 2024, ketika ia masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, untuk direvisi. Tujuannya agar subsidi tepat sasaran. Namun hingga Tutuka diganti bahkan sampai hari ini.
IMumet gegara gas melon. Ilustrasi: Adi Prabowo/kumparan
Bhima juga menganggap permasalahan paling fundamental dalam kasus subsidi LPG adalah definisi orang miskin di Indonesia. Bila tak ada garis pembatas maka semua kalangan bisa jadi penerima subsidi.
“Sementara dengan kondisi Indonesia kelas menengah jumlahnya turun, yang membesar sekarang adalah kelas menengah tanggung atau yang disebut aspiring middle class,” ujar Bhima.
“Kelas menengah mendang-mending ini yang sebenarnya rentan secara ekonomi, itu faktualnya menggunakan LPG 3 kg dan porsinya paling banyak,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Pendefinisian kelas yang disasar penerima LPG 3 kilo juga dianggap akan mempermudah pembelian menggunakan NIK yang telah diterapkan Pertamina.
Upaya efisiensi subsidi LPG yang lain dan perlu dikaji pemerintah, kata Bhima, adalah jaringan gas alias jargas. Jargas disebut membutuhkan banyak dana untuk investasi di awal untuk infrastruktur perpipaan.
“Tapi begitu jargas (jaringan gas)-nya sudah masuk ke rumah-rumah, sudah nggak ada lagi tuh bicara soal subsidi tidak tepat sasaran,” imbuh Bhima.
Saat ini pemerintah masih menggunakan metode subsidi pemotongan harga. Harga seharusnya dari gas LPG 3 kilo mencapai Rp 42.750 per tabung. Tapi karena disubsidi maka masyarakat hanya perlu membayar dengan kisaran harga eceran tertinggi (HET) Rp 16 ribu sampai Rp 19 ribu. HET akan ditentukan masing-masing pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten