Dihantam Pandemi, Bisakah Indonesia Jadi Negara Maju Sebelum 2045?

4 Agustus 2021 11:20 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran HI, Minggu (21/6). Foto: Dok. Gege
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Car Free Day (CFD) di kawasan Bundaran HI, Minggu (21/6). Foto: Dok. Gege
ADVERTISEMENT
Merebaknya pandemi COVID-19 telah membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 terkontraksi cukup dalam. Bahkan imbas ke ekonomi ini masih terus berlanjut hingga lewat pertengahan tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Bahkan, status yang baru setahun naik sebagai Upper Middle Income Country alias negara berpendapatan menengah atas, kembali turun di 2020 menjadi Lower Middle Income Country atau negara berpendapatan menengah ke bawah.
Lantas, dengan kondisi terpuruknya ekonomi dan di bawah tekanan resesi, masih bisakah Indonesia mengejar target jadi negara maju sebelum 2045?
Menurut Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, Amalia Adininggar, langkah untuk menuju ke sana bakalan kian terjal. Sebab menurutnya, visi tersebut disusun sebelum COVID-19 merebak.
"Dokumen ini disusun sebelum Indonesia menghadapi pandemi COVID-19, di mana waktu itu kita bercita-cita kalau pertumbuhan ekonomi 5,7 persen rata-rata antara 2015 sampai 2045, maka Indonesia bisa keluar dari Middle Income Trap kira-kira di tahun 2036 sampai 2038," jelas Amalia dalam acara peringatan 50 tahun CSIS, Rabu (4/8).
ADVERTISEMENT
Amalia mengatakan, merebaknya virus corona ini membuat progres pengentasan kemiskinan semakin terhambat, meningkatnya ketimpangan sosial hingga peralihan secara masif tenaga kerja dari sektor produktivitas tinggi menuju sektor informal.
Berkaca dari jutaan orang yang kembali ke sektor pertanian saat krisis 1998, kata Amalia, butuh waktu setidaknya 10 tahun untuk beralihnya para pekerja ini kembali ke sektor formal.
Dengan begitu, tantangan menuju 2045 itu terutama terjadi karena struktur perekonomian Indonesia selama puluhan tahun masih bergantung pada komoditas non-olahan.
"Sebelum pandemi COVID-19 Indonesia masih punya PR dan semakin diperbesar COVID-19. PR lalu ini tetap harus dituntaskan mengenai ekspor manufaktur masih rendah, ekspor per kapita rendah, diversifikasi ekspor juga rendah," tutur Amalia.
Kinerja sektor manufaktur ini, menurut dia, turun lebih cepat bila dibandingkan dengan negara dalam level GDP per kapita yang sama seperti Thailand. Sementara faktor lainnya, belajar dari Korea Selatan harus ada peningkatan sumber daya manusia dan riset serta peralihan ke sektor produktif seperti yang dilakukan Romania.
ADVERTISEMENT
Amalia menambahkan, transformasi ekonomi selepas COVID-19 hingga mengandalkan sektor yang lebih produktif jadi kunci utama untuk keluar dari jebakan kelas menengah tersebut. "Redesain menjadi keharusan karena pertumbuhan 5 persen saja tidak bisa membawa lepas dari MIT sebelum 2045," pungkasnya.

Terancam Disalip Filipina dan Vietnam

Alih-alih berhasil menjadi negara maju, Indonesia justru terancam disalip Filipina di tahun 2037 dan Vietnam di 2043. Ini bisa dihindari, kata Amalia, jika kita berhasil kembali menggenjot pertumbuhan ekonomi ke angka 6 persen.
Menurutnya, Bappenas sendiri saat ini juga fokus menyusun peta jalan untuk transformasi ekonomi yang konsisten, hingga redesain perekonomian Indonesia. Dan ini semua harus sudah mulai masuk secara inklusif pada konsep green economy, green recovery, hingga perekonomian berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
"Tanpa redesain pendapatan per kapita, Indonesia akan disalip Filipina di 2037 dan Vietnam di 2043. Kita perlu tumbuh 6 persen untuk keluar dari jebakan MIT sebelum 2045," pungkas Amalia.