Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Sudah satu tahun lebih 18 eks pilot Lion Air belum menerima uang kompensasi pemecatan dari manajemen PT Lion Mentari Airline. Uang kompensasi itu seharusnya mereka dapatkan setelah memenangi sengketa hubungan industrial melawan perusahaan.
Sengketa tersebut mereka menangi di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat maupun Mahkamah Agung. Pada Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat, hakim memutuskan Lion Air harus membayar kompensasi pemecatan kepada 18 pilotnya sebesar Rp 7,2 miliar. Sementara di tingkat banding—Mahkamah Agung, hakim merevisi jumlah kompensasi yang harus dibayarkan Lion menjadi Rp 6,7 miliar.
Geoffrey Naulaita, salah satu kuasa hukum 18 eks pilot Lion, mengatakan seharusnya uang kompensasi itu sudah dibayarkan terhitung sejak Mahkamah Agung menolak kasasi manajemen Lion Air pada 22 November 2018 lewat putusan bernomor 260K/Pdt.Sus-PHI/2018.
Meski demikian, sampai hari ini kompensasi pemecatan itu tak kunjung cair. Alhasil, dua eks pilot Lion Air, Amsal Tampubolon dan Erlang Airlangga, mengajukan gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Geoffrey, PKPU itu dilayangkan dengan tujuan mempailitkan Lion Air. Bila Lion dinyatakan pailit, aset-aset dan manajemen perusahaan akan dikuasai kurator yang ditunjuk pengadilan. Aset-aset itu kemudian bakal dilelang dan hasilnya akan digunakan untuk membayar piutang perusahaan, salah satunya piutang kompensasi untuk 18 pilot yang dipecat.
Gugatan PKPU untuk mempailitkan Lion Air tersebut ditolak PN Jakarta Pusat pada 2 Oktober 2019. Salah satu kuasa hukum 18 eks pilot Lion Air, Horas Nairbohu, mengatakan majelis hakim menolak gugatan itu karena dua pilot yang menggugat masih berperkara perdata di pengadilan.
Perkara yang ia maksud adalah gugatan perdata manajemen Lion Air terhadap 16 dari 18 mantan pilot Lion Air yang menggugat Lion ke Pengadilan Hubungan Industrial. Keenam belas pilot itu digugat lewat dua perkara yang berbeda.
Kapten Eki Ardiansyah, Mario Hasiholan, dan Mohammad Nuryani digugat atas tuduhan penghasutan dan pelanggaran kontrak. Sementara 13 pilot lainnya digugat dengan tuduhan pelanggaran kontrak.
Untuk kedua gugatan itu, manajemen Lion Air menuntut ganti kerugian Rp 36 miliar. “Itu masih disertai permohonan sita jaminan rumah untuk masing-masing tergugat,” kata Horas.
Pada 23 Oktober 2019, manajemen Lion Air kembali menggugat perdata dua dari 18 pilot yang menang gugatan di Mahkamah Agung, yakni Kapten Wicaksono Budiarto dan Bambang Suhardiman. Keduanya, sama seperti yang lain, digugat atas tuduhan wanprestasi dan dituntut membayar ganti rugi Rp 18 miliar.
Gugatan itu, ujar Geoffrey, dilayangkan manajemen Lion Air sebagai antisipasi bila dua pilot itu melayangkan gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sebab, bila mereka sampai mengajukan gugatan PKPU, pengadilan bisa mengabulkannya.
“Dua pilot ini tidak berperkara di pengadilan, sementara 16 pilot lain sudah digugat perdata. Jadi kalau dua orang ini menggugat, pengadilan nggak bisa menolak dengan alasan mereka sedang berperkara,” kata Geoffrey.
Sengketa hukum antara 18 eks pilot dan manajemen Lion Air bermula dari konflik internal soal uang transportasi. Para pilot kecewa karena tidak menerima uang transportasi sebesar Rp 5 juta per bulan sesuai jadwal. Mereka lalu melakukan protes berupa aksi slowdown atau penundaan penerbangan pada10 Mei 2016.
Akibat aksi itu, pelayanan penerbangan Lion Air sempat lumpuh. Manajemen membujuk para pilot untuk menghentikan aksi slowdown. Setelah bernegosiasi, para pilot pun bersedia kembali terbang. Namun konflik rupanya belum usai.
Para pilot yang melakukan aksi protes dikenai sanksi. Mereka tidak diberi tugas terbang—yang dalam istilah penerbangan dikenal dengan istilah stand by. Dengan status stand by, pilot otomatis hanya mendapat bayaran gaji pokok.
Para pilot yang tak terima dengan sanksi stand by itu lantas sempat mengajukan mediasi bipartit (antara pilot dan manajemen) dan tripartit (dengan melibatkan pihak ketiga).
Oleh karena mekanisme penyelesaian masalah lewat perundingan bipartit yang diajukan para pilot ke manajemen tak direspons, mereka kemudian menghendaki mekanisme tripartit. Namun upaya itu pun gagal setelah manajemen Lion menolak mediasi yang ditawarkan Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Pusat.
Di tengah penjajakan proses mediasi, ujar Geoffrey, manajemen mendadak memecat para pilot. Pemecatan itu diumumkan dalam konferensi pers 3 Agustus 2016.
Dalam konpers itu, Direktur Umum Lion Air Edward Sirait mengatakan para pilot dipecat karena melakukan pelanggaran kategori berat, yaitu melawan perintah pimpinan, tidak melaksanakan tugas, dan menghasut pilot lain untuk melakukan aksi protes slowdown pada 10 Mei 2016.
Edward Sirait juga menyatakan, manajemen tidak mengakui eksistensi Serikat Pekerja-Asosiasi Pilot Lion Group (SP-APLG).
Para pilot yang dipecat kemudian menggugat Lion Air ke Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat. Mereka tidak terima karena dipecat tanpa uang pesangon.
Namun pada 2 Oktober 2017, hakim Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat memutuskan bahwa relasi antara pilot dan Lion adalah hubungan kerja yang masuk dalam sistem kerja Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Konsekuensinya, hubungan kerja tersebut harus tunduk pada UU Ketenagakerjaan.
Majelis hakim juga memutus Lion Air harus membayar kompensasi kepada para pilot yang dipecat. Meski demikian, setahun setelah putusan MA itu inkrah atau berkekuatan hukum tetap, para pilot tersebut masih belum menerima biaya kompensasi pemecatan mereka.
“Ini yang sebetulnya kami sesalkan. Masa perusahaan sebesar Lion Air tidak memperlihatkan itikad untuk melaksanakan putusan pengadilan. Apalagi katanya mereka mau go public,” kata Geoffrey.
Sementara Corporate Communication Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro membantah Lion Air tidak mampu atau tidak ingin membayar kompensasi pemecatan untuk para pilot. Menurutnya, sebelum membayar kompensasi, Lion Air masih menunggu putusan PN Jakarta Pusat terkait kewajiban eks pilot membayar ganti rugi kepada Lion Air.
“Karena adanya percampuran utang, maka penyelesaian akan dilakukan oleh Lion Air apabila gugatan Lion Air terhadap para penerbang tersebut telah berkekuatan hukum tetap,” kata Danang.