Fakta dan Alasan Sri Mulyani Buat Meterai Baru Rp 10.000

4 Juli 2019 8:29 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) didampingi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) menyampaikan pandangannya saat mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2019). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) didampingi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) menyampaikan pandangannya saat mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2019). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
ADVERTISEMENT
Pemerintah mengajukan revisi atas Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai ke Komisi XI DPR. Salah satu yang diusulkan revisi adalah mengenai besaran tarif bea meterai.
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, selama 34 tahun beleid tersebut berdiri, baru sekali direvisi pada tahun 2000.
Pada 1985, bea meterai diatur hanya Rp 500 dan Rp 1.000. Selanjutnya direvisi menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000 pada tahun 2000 hingga saat ini.
Sri Mulyani menjelaskan, pengenaan bea meterai tersebut perlu ditinjau ulang. Apalagi sejak tahun 2000 hingga saat ini pendapatan per kapita masyarakat juga meningkat.
"Atas dasar pertimbangan tersebut dan untuk semakin menyederhanakan pelaksanaan kewajiban bea meterai, kami mengusulkan di dalam RUU ini penyederhanaan tarif bea meterai hanya menjadi satu tarif saja yang tetap yaitu menjadi Rp 10.000," ujar Sri Mulyani di Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu (3/7).
ADVERTISEMENT
Alasan Kenaikan Bea Meterai
Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, salah satu alasan usulan revisi UU tersebut adalah kondisi saat ini yang berbeda dengan beberapa tahun silam. Kondisi ekonomi maupun teknologi informasi yang ada di masyarakat saat ini juga jauh lebih berkembang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Kondisi yang ada dan terjadi dalam masyarakat dan perekonomian telah banyak mengalami perubahan dalam tiga dekade terakhir, baik itu di bidang ekonomi, di bidang hukum sosial dan di bidang teknologi informasi," katanya.
Tak hanya itu, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia per kapita pada 2000 hanya Rp 6,7 juta, meningkat delapan kali lipatnya di 2017 sebesar Rp 51,9 juta.
Sementara penerimaan bea meterai pada tahun 2000 hanya Rp 1,4 triliun dan di 2017 sebesar Rp 5,08 triliun. Angka ini hanya meningkat tiga kali lipatnya, lebih rendah dari peningkatan PDB per kapita.
ADVERTISEMENT
"Seyogyanya korelasi antara peningkatan pendapatan atau kapasitas untuk mengumpulkan pajak dengan pendapatan per kapita adalah berjalan seiring. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada potensi untuk meningkatkan penerimaan bea meterai yang dirasa bisa dilakukan tanpa memberatkan masyarakat," kata dia.
Sri Mulyani juga menekankan, kenaikan bea meterai tersebut juga demi keadilan bagi masyarakat dalam mewujudkan sumber penerimaan negara.
"Demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam upaya mewujudkan hal tersebut diperlukan sumber penerimaan negara yang memadai dan berkesinambungan yang salah satunya berasal dari penerimaan perpajakan khususnya bea meterai," tuturnya.
Potensi Penerimaan Negara Naik Rp 3,8 Triliun
Jika nantinya revisi UU Bea Meterai disetujui DPR, maka tak ada lagi meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000 seperti saat ini. Seluruh dokumen nantinya hanya akan menggunakan meterai Rp 10.000.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani menyebut, dengan kenaikan bea meterai ini, maka akan ada potensi kenaikan penerimaan hingga Rp 3,8 triliun. Potensi penerimaan ini dihitung berdasarkan jumlah meterai yang digunakan saat ini.
Dia menjelaskan, di tahun ini pemerintah menyediakan 79,9 juta lembar meterai bernilai Rp 3.000. Sementara meterai bernilai Rp 6.000 sebanyak 803,2 juta lembar.
Dengan asumsi jumlah meterai yang sama, pemerintah bisa memperoleh penerimaan negara sebesar Rp 8,83 triliun jika tarif meterai dipukul rata menjadi Rp 10.000. Artinya, ada kenaikan Rp 3,8 triliun atau naik 74,5 persen dari penerimaan bea meterai tahun ini Rp 5,06 triliun.
"Apabila itu dikonversikan menjadi satu nilai Rp 10.000 saja, maka penerimaan akan naik menjadi Rp 8,83 triliun, dari sekarang Rp 5,06 triliun, ini hanya meterai tempel, ada potensi tambahan Rp 3,8 triliun," katanya.
ADVERTISEMENT
Batasan Nilai Dokumen yang Wajib Bermeterai
Sri Mulyani juga menuturkan, potensi bea meterai yang besar tersebut harus dilengkapi dengan proses administrasi yang sederhana. Tujuannya agar potensi penerimaan tersebut bisa tercapai seluruhnya.
Salah satu kemudahan administrasi tersebut adalah perubahan pengenaan batas nilai dokumen yang bisa dikenakan bea meterai.
Ilustrasi Materai. Foto: Dok. Humas Ditjen Pajak
Sri Mulyani mengusulkan, dokumen yang memuat jumlah penerimaan uang di atas Rp 5 juta akan dikenakan bea meterai Rp 10.000. Artinya, jika dokumen yang mencantumkan penerimaan uang di bawah Rp 5 juta akan bebas bea meterai.
Adapun contoh dari dokumen tersebut antara lain cek, bilyet giro, efek dengan nama, akta notaris, hingga surat berharga lainnya.
Pada aturan sebelumnya, pengenaan bea meterai untuk nilai Rp 3.000 dikenakan untuk dokumen yang mencantumkan penerimaan uang di atas Rp 250.000 hingga Rp 1 juta.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pengenaan bea meterai untuk nilai Rp 6.000 dikenakan untuk dokumen yang mencantumkan penerimaan uang di atas Rp 1 juta.
"Dengan demikian, meskipun tarif bea meterai diusulkan dinaikan, RUU bea meterai juga dirancang untuk menegaskan keberpihakan pada kegiatan usaha mikro kecil dan menengah. Karena batasan nominal dinaikan dan dibebaskan," jelasnya.