Harga Beras Naik di Masa Panen Raya: Krisis Pangan Bikin Semua Menderita

27 April 2020 10:19 WIB
clock
Diperbarui 2 Oktober 2020 17:48 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Dirut Bulog Budi Waseso, saat meninjau Gudang Bulog di Kelapa Gading. Foto: Dok. Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Dirut Bulog Budi Waseso, saat meninjau Gudang Bulog di Kelapa Gading. Foto: Dok. Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Panen raya harusnya disambut dengan sukacita oleh petani, namun tidak demikian halnya dengan yang dirasakan para petani padi di kawasan Pantura Jawa Barat. Sunandar, petani di Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan yang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu misalnya, harus menerima kenyataan pahit karena gabah hasil panennya susah dijual.
ADVERTISEMENT
Harga pembelian Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani di kawasan itu, ada di kisaran Rp 3.900 per kilogram (kg). Paling tinggi Rp 4.100 per kg. Padahal mengacu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 24 Tahun 2020, Harga Pokok Pembelian (HPP) Gabah Kering Panen di tingkat petani adalah sebesar Rp 4.200 per kilogram (kg).
Keluhan yang disampaikan Sunandar, boleh jadi mewakili suara para petani di berbagai sentra produksi beras nasional, yang saat ini sedang memasuki masa panen raya. Program Manager KRKP, Hariadi Propantoko, mensinyalir saat ini sedang terjadi kemandekan distribusi beras. Hal ini yang menurutnya membuat harga gabah di tingkat petani anjlok, sementara harga beras di konsumen justru naik.
“Para petani banyak yang mengalami harga GKP dibawah HPP. Itupun masih syukur bila padinya terjual. Kemandekan pesanan beras dari pasar induk menyebabkan berhenti juga proses penggilingan padi. Penggilingan padi yang berhenti, maka pembelian padi di petani juga tidak terjadi. Efek ini yang menyebabkan harga di tingkat petani anjlok,” katanya saat dihubungi kumparan, Rabu (22/4).
ADVERTISEMENT
Dia menambahkan, harga gabah yang terlalu murah menyebabkan kemampuan petani dalam memproduksi padi pada musim berikutnya bisa terganggu. Hal ini bisa mengancam ketersediaan pangan pada sekitar akhir tahun. “Ini perlu diwaspadai,” tandasnya.
Petani memanen padi di Desa Cilangkap, Lebak, Banten. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas
Kekhawatiran yang dilontarkan Hariadi, sejalan dengan sinyalemen Presiden Jokowi soal ancaman krisis pangan, yang membayangi di belakang pandemi virus corona COVID-19. Dalam rapat terbatas membahas penanganan virus corona, Presiden menjelaskan, mungkin panen pada musim ini masih baik. Namun, Jokowi mengingatkan panen di semester kedua nanti bisa saja bermasalah. Hal inilah yang harus menjadi perhatian seluruh kepala daerah.
"Tapi panen pada penanaman yang bulan Agustus, September nanti betul-betul dilihat secara detail sehingga tidak mengganggu produksi, rantai pasok maupun distribusi dari bahan-bahan pangan yang ada," katanya, Senin (13/4).
ADVERTISEMENT
Di luar kekhawatiran terganggunya musim tanam periode kedua, kenaikan harga beras juga patut menjadi perhatian. Apalagi hal ini terjadi di masa panen raya dan anjloknya harga gabah di tingkat petani. Hal ini juga menjadi perhatian Presiden dalam rapat terbatas Selasa (21/4), yang membahas harga bahan pangan menjelang Lebaran.
Presiden Joko Widodo melihat beras yang sudah dikemas di Gudang Bulog Kelapa Gading. Foto: Dok. Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden
Pemerintah sendiri mengaku stok beras nasional mencapai 3,3 juta ton. Jumlah itu disebut cukup untuk memenuhi kebutuhan Ramadhan dan Lebaran. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Suhanto, merinci stok beras sebanyak itu berada di Perum Bulog sebanyak 1,39 juta ton, stok di penggilingan 1,2 juta ton, stok di pedagang 728 ribu ton, stok di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) 30.620 ton, dan stok di Lumbung Pangan Masyarakat binaan BKP 2.939 ton.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah akan bekerja keras menjaga stok beras tercukupi dengan harga stabil agar masyarakat tidak khawatir dan dapat menjalankan ibadah puasa dengan khidmat," kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Suhanto dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/4).
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, menilai kalau pun pemerintah mengklaim stoknya mencukupi namun harga beras cenderung mahal, artinya ada masalah.
Tuna wisma menarik gerobaknya saat melintas di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (15/4). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
“Seperti gula kemarin tiba-tiba sampai Rp 19 ribu bahkan Rp 20 ribu per kilo. Walaupun Kementan sampaikan stoknya cukup, ya mestinya harganya enggak bergejolak. Jadi kalau memang bukan persoalan pasokan, ya berarti distribusi,” katanya kepada kumparan, Rabu (22/4).
Pandangan Enny itu sejalan dengan sinyalemen Hariadi dari KRKP, yang melihat persoalan terhentinya rantai pasokan dari wilayah-wilayah penghasil padi. Menurutnya, anjloknya harga gabah bukan semata-mata karena pasokan melimpah di musim panen raya, namun juga karena pesanan beras dari penggilingan di beberapa daerah produsen padi terhenti.
ADVERTISEMENT
“Hal ini bisa menyebabkan ketersediaan pangan di perkotaan menjadi langka. Ini bisa menyebabkan kelaparan, juga di desa yang produksi pangannya tak mencukupi kebutuhan sendiri,” tandasnya.
Dia menegaskan, krisis pangan bukan hanya dipengaruhi faktor ketersediaan. Tapi bisa juga karena masyarakat tidak mampu mengakses harga pangan yang mahal. Dan dampak pandemi virus corona ini telah menurunkan daya beli. Misalnya karena banyak pekerja yang di-PHK atau pekerja sektor informal tak bisa lagi berusaha.
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
*****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.