Indef Sebut Proyek Bukit Algoritma Halu Karena Dana Riset RI Masih Rendah

15 April 2021 13:01 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Desain Bukit Algoritma yang rencananya akan dibangun PT Amara Karya (Persero). Foto: Dok. Sukabumi Update
zoom-in-whitePerbesar
Desain Bukit Algoritma yang rencananya akan dibangun PT Amara Karya (Persero). Foto: Dok. Sukabumi Update
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia bakal membangun pusat riset dan teknologi Silicon Valley seperti di Amerika Serikat bernama Bukit Algoritma. Proyek ini diinisiasi Budiman Sudjatmiko yang merupakan politisi PDIP sekaligus pihak swasta.
ADVERTISEMENT
Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menyebut proyek Bukit Algoritma sebuah kehaluan.
"Kenapa disebut halu karena ada beberapa catatan yang saya temukan tidak bisa menunjang sebuah pembangunan Silicon Valley yang inklusif, malah bisa jadi eksklusif, dan bisa jadi serangan balik bagi perekonomian nasional," kata Huda dalam Diskusi Online Indef 'Menyingkap Angan Silicon Valley ala Indonesia', Kamis (15/4).
Catatan pertama, kata Huda, adalah masih rendahnya ekosistem riset dan pembangunan (Research and Development/R&D) di Indonesia. Hal ini terlihat dari proporsi dana R&D terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang masih rendah.
Berdasarkan data Bank Dunia pada 2017, dana R&D Indonesia hanya 0,24 persen terhadap PDB atau hanya unggul dari Myanmar 0,03 persen, Kamboja 0,12 persen, dan Filipina 0,14 persen.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Indonesia kalah jauh dari Vietnam 0,53 persen, India 0,62 persen, Thailand 0,78 persen, Malaysia 1,44 persen, China 2,13 persen, Singapura 2,22 persen, Jepang 3,20 persen, dan Korea Selatan tertinggi 4,55 persen.
"Di sini ketika pionirnya (Budiman Sudjatmiko) bilang sektor bisnis masuk sana, saya juga ragu. Sebab sampai saat ini pun proporsi dana R&D terhadap PDB yang dihasilkan dari sektor bisnis swasta hanya 0,02 persen. Jauh sekali dari Thailand, Korea, dan Singapura," lanjut Huda.
Silicon Valley, Amerika Serikat menjadi salah satu destinasi yang cocok bagi traveler canggih. Foto: Shutterstock
Dampak dari minimnya dana riset ini, ekspor manufaktur teknologi Indonesia rendah. Hanya 8,1 persen dari total ekspor. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 52 persen, Thailand 24 persen, dan Vietnam 40 persen.
Selain itu, rasio investasi terhadap output yang dihasilkan atau Incremental Capital Output Ratio/ICOR juga masih rendah, hanya 6,7. Ini menunjukkan modal yang masuk ke Indonesia semakin tidak efisien dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
"Padahal untuk bangun tempat khusus pengembangan teknologi, diperlukan industri high tech menjamur di Indonesia. Bisa bayangkan yang masuk ke Silicon Valley Indonesia ini yang industrinya enggak high tech, sama saja bohong. Hanya menyediakan properti saja," ujarnya.
World Intellectual Property Organization, Indonesia menduduki peringkat 85 dari 131 negara dalam Global Innovation Index, mencakup dukungan infrastruktur fisik, ICT, dan keberlanjutan ekologis. Posisi ini jauh tertinggal dari Thailand dan Malaysia di tingkat ASEAN.
Di posisi sumber daya manusia dan penelitian di Indonesia juga masih jauh tertinggal dari Thailand dan Malaysia, hanya berada di posisi 92 dari 131 negara. Hal ini mencakup komponen pendidikan dasar, pendidikan tinggi, dan R&D. Sementara untuk knowledge sharing, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 131 negara.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sumber daya manusia (SDM) Indonesia juga masih belum mencukupi untuk masuk ke dalam industri 4,0. Direktur Program INDEF, Esther Sri Astuti mengatakan, berdasarkan data BPS, hanya 12 persen SDM Indonesia yang berpendidikan tinggi. Sebanyak 80 persen lebih itu hanya berpendidikan SD-SMP-SMA.
Hal ini, menurutnya menjadi tantangan Indonesia untuk membangun kualitas SDM untuk memenuhi kriteria di pabrik-pabrik tersebut.
"Jangan sampai dengan adanya pembangunan Silicon Valley di Sukabumi ini malah mendorong masuknya tenaga kerja asing lebih banyak dan tenaga kerja Indonesia tidak bisa memanfaatkannya. Itu harus disiapkan dan diantisipasi," kata Esther.
Kenyataan lainnya, tenaga ahli banyak dari China dan India yang lebih melek teknologi dibandingkan Indonesia. Dia juga tidak ingin adanya pembangunan Bukit Algoritma di Sukabumi ini malah meningkatkan ketimpangan ekonomi di sana.
ADVERTISEMENT
"Jangan sampai masyarakatnya masih miskin sementara pabriknya high tech. Ini harus diantisipasi juga, perlu ada komitmen untuk meningkatkan kualitas SDM agar matching," ujarnya.
Esther menyebut, jika dana riset, peningkatan kualitas SDM, dan adanya kolaborasi yang kuat antara pemerintah, industri, dan universitas, pembangunan Silicon Valley ala Indonesia ini sebenarnya bisa banyak menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi.