Koperasi Petani Kakao Jembrana Peroleh Anugerah Revolusi Mental 2019

21 Desember 2019 12:15 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Agung Widiastuti (Widi), pembina Koperasi Kerta Semaya Samaniya, Jembrana, Bali. Foto: Dok. LPEI
zoom-in-whitePerbesar
Agung Widiastuti (Widi), pembina Koperasi Kerta Semaya Samaniya, Jembrana, Bali. Foto: Dok. LPEI
ADVERTISEMENT
Koperasi Kerta Semaya Samaniya (KSS) Jembrana, Bali meraih Anugerah Revolusi Mental 2019 untuk kategori koperasi yang digelar oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).
ADVERTISEMENT
Rencananya, penghargaan itu akan diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi di Gedung BPPT, Jakarta pada hari ini, Sabtu (17/12).
Pembina Koperasi KSS dari Yayasan Kalimajari, Agung Widiastuti berpendapat, salah satu pertimbangan dewan juri memenangkan Koperasi KSS yakni karena sukses mengubah mindset petani kakao setempat memproduksi kakao fermentasi bersertifikat organik, dari semula hanya biji kakao.
"Mungkin itu yang membuat Kemenko PMK memilih kenapa kok koperasi ini menang. Perubahan mindset itu yang terjadi di tingkat petani," kata Widi, sapaan akrabnya kepada kumparan di Gedung Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank, Jakarta, Jumat (20/12) sore.
Dia menceritakan, aktivitas pertanian kakao di Jembrana, Bali, sebenarnya sudah dilakukan sejak 1984. Sementara untuk mengolah kakao fermentasi, baru dilakukan di tahun 2009 karena terdapat permintaan.
ADVERTISEMENT
Dikarenakan kakao itu hanya dijual ke tengkulak, perbedaan harga antara biji kakao dan kakao fermentasi hanya sekitar Rp 2.500 per kg. Padahal untuk melakukan fermentasi, petani harus merogoh kocek tambahan hingga Rp 3.000 per kg.
"Mereka tidak lebih dapat selisih harga lebih dari Rp 2.500 per kg, itu sangat tidak masuk melihat dari jerih payahnya. Itu bisa Rp 3.000 karena mereka harus fermentasi antara 5-6 hari, kemudian mereka harus jemur dengan kualitas baik dan lain sebagainya," tegas Widi.
Aktivitas usaha Koperasi Kerta Semaya Samaniya, Jembrana, Bali, peraih anugerah revolusi mental 2019. Foto: Dok. LPEI
Tak lama memproduksi kakao fermentasi, kemudian di tahun yang sama lahan kakao itu diserang hama Penggerek Buah Kakao (PBK) yang membuat banyak petani merugi karena gagal panen. Hal tersebut sempat membuat petani setempat frustrasi.
ADVERTISEMENT
"Jadi waktu itu petani kita drop karena secara umum panen mereka gagal. Mereka frustrasi, kemudian alih fungsi lahan selain karena harga kakaonya jelek. Akhirnya mereka alih fungsi lahan ke tanaman yang lain," paparnya.
Lalu pada 2011, Koperasi KSS yang sempat mengalami kebangkrutan kembali beroperasi. Koperasi yang berdiri sejak tahun 2006 itu kemudian meminta petani kakao setempat bergabung dan mencari mitra strategis.
Hingga akhirnya pada 2012, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank menjadikan Koperasi KSS sebagai mitra. Pada mulanya, Koperasi KSS hanya meminta diberi pelatihan.
"Proposal pertama yang kami mohonkan ke LPEI adalah training-training. Training pertama adalah internal management system, jadi kami bentuk satu ketua di dalam suatu tempat, lalu mereka bertanggungjawab terhadap proses kakao. Training kedua adalah fermentasi agar petani tahu proses-prosesnya," kata Widi.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Koperasi KSS difasilitasi untuk melakukan peningkatan kualitas kakao dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember. Pun Koperasi KSS diberi bantuan sarana dan prasarana produksi seperti soil dryer hingga kotak fermentasi oleh LPEI.
"Itulah yang membuat spek kakao kami lolos dikirim ke Bandung di 2014, awalnya enggak lolos. Petani pun jadi tidak perlu menjual ke kakaonya ke tengkulak," paparnya.
Aktivitas usaha Koperasi Kerta Semaya Samaniya, Jembrana, Bali, peraih anugerah revolusi mental 2019. Foto: Dok. LPEI
Kemudian pada 2015, LPEI menggelar training soal manajemen ekspor. Training itu yang membuat pihaknya yakin melakukan ekspor pertama kakao asli Jembrana ke Prancis. Namun sebelum ekspor, Koperasi KSS telah mengurus sertifikasi kualitas kakao.
"Akhirnya kami kirim perdana Oktober 2015 ke Prancis sampai tahun ini. 2016 ada tambahan Jepang. Kemudian 2019 tambahan 1 ke Belgia. Kami sekarang sedang mempersiapkan ekspor ke Inggris, Rusia dan Pakistan,” kata Widi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ketua Koperasi KSS, I Ketut Wiadnyana, menambahkan ekspor perdana ke Prancis pada mulanya hanya 1 kontainer senilai Rp 800 juta.
Kemudian pada 2016, ekspor ke Jepang dan Prancis naik lebih dari 2 kali lipat. Tahun ini diperkirakan nilai ekspor mencapai Rp 2,4 miliar.
Pada awal ekspor, Koperasi KSS berani memberi margin Rp 4.980 per kg untuk membeli kakao fermentasi petani, dibandingkan harga biji kakao. Kini semakin besar ekspor yang dilakukan, margin yang diberikan juga makin besar.
“Sekarang anak-anak muda juga tidak malu untuk menjadi petani kakao. Karena memang yang dihasilkan tidak kecil,” ucapnya.
Ketut menjelaskan hingga saat ini, Koperasi KSS telah beranggotakan 609 petani. Sementara produksinya dari semula 2 ton di tahun 2012, meningkat menjadi 57 ton di tahun 2017. Dia optimistis ke depan jumlah petani kakao yang tergabung dalam koperasi makin banyak.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2019, LPEI meresmikan Koperasi KSS sebagai Desa Devisa. Pasalnya, koperasi ini dinilai mampu meningkatkan komoditi perkebunan kakao.
Aktivitas usaha Koperasi Kerta Semaya Samaniya, Jembrana, Bali, peraih anugerah revolusi mental 2019. Foto: Dok. LPEI
Desa devisa merupakan komunitas atau cluster tertentu yang dianggap berpotensi untuk melakukan aktivitas produksi secara berkelanjutan untuk ambil bagian dalam rantai pasokan ekspor global, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LPEI Sinthya Roesly mengatakan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2009, LPEI memiliki salah satu tugas untuk mendorong pengembangan UMKM dan koperasi untuk mengembangkan produk yang berorientasi ekspor.
“Di UU kita kata kuncinya itu, meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, utamanya adalah UMKM. UMKM ini menjadi pilar penting sebagai mandat LPEI,” ucapnya.
Hingga Juni 2019, LPEI telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 15,8 triliun kepada UMKM yang berorientasi ekspor. Selain dari portofolio bisnis, LPEI juga memiliki Coaching Program for New Exporter (CPNE) dan Digital Handholding Program dari sisi jasa konsultasi yang merupakan pendampingan ke UMKM dan koperasi hingga dapat melakukan ekspor sendiri.
ADVERTISEMENT
Tercatat hingga akhir 2019, terdapat 38 eksportir baru dari berbagai daerah di Indonesia yang telah ditelurkan program ini. Sinthya mengaku dukungan LPEI kepada UMKM ke depan akan makin diperluas.