Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengingatkan pemerintah mengenai dampak dari simplifikasi cukai rokok serta penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM).
ADVERTISEMENT
Selain itu, KPPU juga meminta pemerintah konsisten dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156 Tahun 2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang telah mengakomodir perusahaan kecil dan menengah untuk bersaing secara fair dan terbuka.
Anggota Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, menilai jika penyederhanaan layer dan penggabungan produksi rokok diberlakukan, maka pilihan bagi pelaku usaha adalah melakukan merger atau akuisisi perusahan kecil oleh perusahaan besar. Hal ini menurutnya mengarah kepada praktik oligopoli dan persaingan tidak sehat.
"Implikasinya pelaku usaha berkurang. Ini dapat mengarah ke oligopolisasi. Oligopolisasi merupakan tingkat penguasaan pasar yang semakin terkonsentrasi pada segelintir pemain," kata Kodrat kepada kumparan, Rabu (14/8).
Dia menegaskan, jika oligopolisasi terbentuk oleh aturan, dikhawatirkan akan lebih mudah terjadinya persekongkolan dalam penentuan harga. Selain itu juga penentuan jumlah produk oleh segelintir pelaku industri.
ADVERTISEMENT
"Jika ada peraturan yang memengaruhi persaingan usaha dan berpengaruh pada berkurangnya jumlah pelaku usaha, ini warning bagi kami," katanya.
Menurut Kodrat, persaingan usaha industri rokok saat ini sudah bersifat kompetitif. Sehingga dia meminta Kementerian Keuangan berhati-hati membuat aturan baru terkait kebijakan cukai rokok .
Sehingga, kebijakan yang diterbitkan tak bersinggungan atau melanggar UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
"Jangan sampai (PMK baru) mencederai banyak hal, termasuk kepentingan KPPU yang memastikan persaingan ini berjalan dengan baik," kata dia.
Ketua Pansus RUU Pertembakauan, Firman Soebagyo, juga menuturkan bahwa simplifikasi cukai akan menciptakan persaingan tidak sehat yang mengarah oligopoli bahkan monopoli.
Firman menilai, industri rokok di Indonesia sangat beragam dari aspek modal, jenis, hingga cakupan pasar. Karena itu, aspek perlindungan terhadap industri hasil tembakau skala kecil dan menengah perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
"Jangan sampai menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat melalui praktek oligopoli bahkan monopoli," kata Firman.
Dia juga menilai, pemerintah perlu memperhatikan keberlangsungan para tenaga kerja dan pelaku yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap industri hasil tembakau tersebut.
"Pastinya pemerintah harus ada itikad baik (good will) melestarikan ciri khas hasil tembakau Indonesia yakni kretek," tuturnya.
Rencana penggabungan dua jenis rokok tersebut sejalan dengan peta jalan cukai hasil tembakau (CHT) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017, yang pada 2021 mendatang disederhanakan dari sepuluh menjadi lima layer tarif.
Namun pada tahun lalu, pemerintah menghentikan sementara peta jalan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok tersebut. Melalui PMK 156 Tahun 2018, pemerintah menghapus pasal 3 PMK Nomor 146/2017, yang mengatur mengenai penggabungan produksi SKM dan SPM.
ADVERTISEMENT
Sejumlah pihak khawatir peta jalan tersebut akan kembali dilanjutkan pemerintah, salah satunya penggabungan SKM dan SPM.
Sementara itu, Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi, sebelumnya enggan mengomentari rencana simplifikasi cukai rokok yang kini tengah dimatangkan otoritas fiskal tersebut.
Sayangnya, Heru juga enggan menanggapi apakah peta jalan CHT kembali dilanjutkan tahun ini atau tahun mendatang.