Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
ADVERTISEMENT
BUMN migas, PT Pertamina (Persero), telah memasuki babak baru dengan produksi BBM standar Euro 4, yang meningkat drastis. Sejak Juni lalu, Pertamina telah mengoperasikan Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC). Fasilitas pengolahan itu dioperasikan di bawah Pertamina Refinery Unit (RU) IV, Kilang Cilacap.
ADVERTISEMENT
PLBC yang dibangun dengan dana USD 392 juta, kini punya kapasitas produksi Pertamax 1,6 juta barel per bulan. “Kemampuan produksi Pertamax Kilang Cilacap meningkat signifikan dari 1,0 juta barel per bulan jadi 1,6 juta barel per bulan, sehingga akan mengurangi impor BBM, terutama Pertamax” kata Direktur Mega Proyek dan Petrokimia PT Pertamina (Persero), Ignatius Tallulembang.
Dengan produksi BBM standar Euro 4, fasilitas pengolahan itu menghasilkan BBM yang lebih ramah lingkungan. BBM standar Euro 4 untuk mesin bensin adalah RON (Research Octane Number) 90 yang tidak mengandung timbal (Pb), dengan kandungan sulfur 50 ppm.
Sementara itu untuk bahan bakar diesel, standar Euro 4 minimal memiliki Cetane Number (CN) 50 dengan kandungan sulfur maksimal 50 ppm.
ADVERTISEMENT
Green Fuel
Melangkah lebih jauh dari PLBC, Pertamina juga punya program green fuel. Yakni BBM yang dibuat dari campuran bahan bakar fosil dengan turunan minyak kelapa sawit, bernama Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). Pengolahan green fuel dilakukan langsung di kilang Pertamina, bukan seperti B20 yang dilakukan di terminal BBM.
Produksi green fuel yang lebih ramah lingkungan itu, telah diuji coba di kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai dan Pertamina RU III Plaju. Di Plaju, produk yang dihasilkan adalah green gasoline dan green elpiji.
“Pencampuran langsung CPO dengan bahan bakar fosil di kilang ini, secara teknis lebih sempurna dengan proses kimia. Sehingga menghasilkan bahan bakar bensin dengan kualitas lebih tinggi karena nilai octane mengalami peningkatan,” kata Direktur Pengolahan Pertamina, Budi Santoso Syarif.
ADVERTISEMENT
Dia menambahkan, tingkat kandungan dalam negeri atau TKDN jenis BBM itu sangat tinggi. Karena CPO yang menjadi salah satu bahan baku utamanya, berasal dari dalam negeri. Transaksi pengadaannya pun dilakukan dengan rupiah, sehingga mengurangi defisit anggaran negara.
Untuk pengembangan proses pengolahan dan produksi BBM ramah lingkungan, Pertamina telah meneken perjanjian kerja sama dengan perusahaan migas asal Italia, ENI. Ada tiga paket kerja sama yang disepakati, yakni pengembangan green refinery, term sheet CPO processing, serta kerja sama untuk circular economy, low carbon products, dan renewable energy.
Kerja sama itu ditandatangani Direktur Utama Pertamina , Nicke Widyawati dan CEO ENI Claudio Descalzi, pada awal 2019 silam. Tapi hingga kini belum ada perkembangannya lagi.
ADVERTISEMENT
Penyerapan CPO Nasional
Padahal produksi green fuel dengan bahan baku utamanya CPO, akan sangat membantu industri kelapa sawit nasional yang dilanda kelesuan. Tahun 2019 ini menjadi tahun yang suram bagi petani sawit. Harga pembelian tandan buah segar (TBS) mereka, ikut terpukul oleh rendahnya harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/ CPO) di pasar dunia.
Sepanjang tahun ini, harga CPO tak beranjak dari kisaran USD 500 per metrik ton. Jauh di bawah harga ideal yang diharapkan kalangan pengusaha, yakni USD 700 per metrik ton.
“Harga minyak sawit masih menunjukkan tren yang menurun sejak Januari 2017. Tren menurun yang cukup panjang hingga merisaukan produsen,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Mukti Sardjono. Mantan Sekretaris Ditjen Perkebunan Kementan itu, mengacu data hingga Agustus 2019.
Salah satu pemicu penurunan harga, adalah over supply. Apalagi negara-negara yang sebelumnya pengimpor utama CPO dunia, mengurangi pembelian mereka. Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar dunia, keadaan ini memukul Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah berupaya meningkatkan penyerapan CPO di pasar domestik. Salah satunya melalui program biodiesel 20 persen atau B20. Yakni campuran solar dengan 20 persen Fatty Acid Methyl Ester (FAME), yang merupakan produk turunan CPO. Pemerintah bahkan berambisi menaikkan jadi program B30.
“(Program itu) cukup membantu industri sawit,” kata pengurus Gapki Kompartemen Pemberdayaan Cabang, Satrija B. Wibawa, dalam perbincangan dengan kumparan, Rabu (30/10).
Dengan produksi CPO tahunan yang mencapai 43 juta metrik ton, tentu butuh penyerapan domestik yang lebih tinggi, untuk mengompensasi pelemahan di pasar global. Program green fuel atau bahkan B100, menjadi salah satu harapan.
Selain menjadi solusi untuk memperkuat cadangan devisa dan menyerap produksi CPO nasional, produksi green fuel juga akan menyempurnakan PLBC sebagai upaya Pertamina meningkatkan produksi BBM ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Analisis Traction Energy Asia, mengungkapkan daur hidup biodiesel menunjukkan emisi bahan bakar nabati dari pengolahan minyak kelapa sawit, lebih rendah. Dengan catatan jika bukan dari deforestasi. Emisi bisa ditekan lebih rendah, jika produktivitas optimal dan limbah cair dari pabrik kelapa sawit tak melepas gas metana setara 20 kali emisi gas karbon dioksida.