OJK Perpanjang Restrukturisasi Kredit, Risiko Akibat Pandemi Lebih Terkendali

20 April 2021 11:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang teller PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menghitung uang pecahan Rp100 ribu di Kantor Pusat BNI, Jakarta, Kamis (19/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Seorang teller PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menghitung uang pecahan Rp100 ribu di Kantor Pusat BNI, Jakarta, Kamis (19/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit perbankan dari Maret 2021 menjadi Maret 2022 sangat signifikan membantu perbankan mengurangi risiko kredit selama krisis pandemi COVID-19 di masa pemulihan ekonomi nasional (PEN).
ADVERTISEMENT
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengatakan OJK menerbitkan kebijakan restrukturisasi kredit sejak Maret 2020 tepat setelah Indonesia dinyatakan berstatus pandemi COVID-19.
Dengan berkurangnya risiko kredit, perbankan juga memungkinkan untuk melakukan penyesuaian kebijakan yang mendorong pertumbuhan kredit, seperti memangkas suku bunga kredit secara bertahap hingga meningkatkan dana cadangan perbankan.
Andry menjelaskan restrukturisasi kredit diberikan terutama kepada nasabah dari pelaku bisnis yang sebelum pandemi COVID-19 mencetak kinerja keuangan positif dan memiliki prospek bisnis positif.
“Perusahaan yang sebelumnya memiliki kinerja keuangan bagus, tetapi terpukul karena pandemi, adalah sasaran restrukturisasi yang diharapkan bisa kembali bangkit dan ikut memulihkan perekonomian,” jelas Andry, Rabu (20/4).
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro (kanan) bersama Direktur Mandiri Sekuritas Silva Halim, pada konferensi pers Mandiri Investment Forum (MIF) 2020. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Andry juga mengatakan, restrukturisasi kredit juga ikut membantu menciptakan stabilitas sistem keuangan. Sehingga, perbankan dapat fokus meningkatkan kinerja keuangannya dan lebih leluasa menyesuaikan kebijakan termasuk memangkas suku bunga kredit.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, dia mengatakan meskipun suku bunga rendah, masih ada faktor lain yang dapat menahan pertumbuhan penyaluran kredit. Pertama, bisnis belum berjalan karena belum ada permintaan dari masyarakat, sehingga perusahaan menilai belum saatnya meningkatkan kapasitas bisnis.
Kedua, banyaknya sumber dana saat ini selain bank, seperti fintech. Ketiga, pelaku bisnis sebenarnya masih menyimpan kas cadangan yang akan digunakan ketika kondisi pasar sudah mulai ramai.
Dia menambahkan jika suku bunga pinjaman turun, maka pertumbuhan penyaluran kredit di masa pemulihan ekonomi dari dampak pandemi COVID-19 diperkirakan juga akan naik.
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Jika suku bunga rendah, maka kemampuan pelaku usaha yang menarik pinjaman untuk memulai bisnis atau melakukan ekspansi usaha akan meningkat.
Hingga tanggal 8 Februari 2021, data OJK menunjukkan nilai restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp 987,5 triliun yang tersebar di 101 bank di seluruh Indonesia. Nilai restrukturisasi terbanyak pada nasabah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) senilai Rp 388,3 triliun yang diberlakukan kepada 6,2 juta debitur. Untuk segmen non-UMKM senilai Rp 599,15 triliun yang dibagikan kepada 1,8 juta debitur.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, meski masih dalam zona negatif, pertumbuhan kredit sudah mulai membaik dibandingkan tahun lalu. Selama Februari 2021, penyaluran kredit naik sebesar 0,41 persen dari Januari 2021. Namun, jika dibandingkan Februari 2020 atau secara tahunan masih terkontraksi sebesar 2,15 persen.
Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh double digit yaitu 10,11 persen dan loan to deposit ratio (LDR) juga berada di level terendah 81,54 persen. Hal ini mengindikasikan kondisi likuiditas yang sangat memadai sehingga mampu mendukung pertumbuhan kredit.