Pemerintah 'Kunci' Harga Gas Bumi, Bagaimana Dampaknya ke Industri Migas?

6 Oktober 2023 15:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas PGN mengecek pasokan gas bumi ke industri Ggaram di Madura. Foto: Dok. PGN
zoom-in-whitePerbesar
Petugas PGN mengecek pasokan gas bumi ke industri Ggaram di Madura. Foto: Dok. PGN
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Harga gas bumi untuk sektor industri terkunci. Baik untuk bidang industri tertentu (HGBT/Harga Gas Bumi Tertentu) maupun non-HGBT. Pengamat migas (Minyak dan gas) menilai, isu soal harga gas ini seharusnya dapat dikelola dengan baik, mengakomodasi kepentingan industri produsen, maupun industri penggunanya.
ADVERTISEMENT
“Selama ini kebijakan pemerintah untuk menjaga harga gas bumi lebih ditujukan untuk menjaga daya saing industri pengguna gas. Padahal, daya saing industri sebetulnya ditentukan oleh banyak faktor, tidak melulu harga gas,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, Jumat (6/10).
Menurutnya, sebagai penentu dan pengambil kebijakan utama terkait harga gas bumi nasional, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harus bisa memastikan bahwa harga yang ditetapkan mampu menjaga keberlanjutan bisnis seluruh mata rantai bisnis gas. Baik dari sisi hulu, midstream, downstream, maupun konsumen akhir pengguna gas.
Sebelumnya Kementerian ESDM telah menolak rencana PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) untuk menaikkan harga gas industri non-Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Rencana PGN untuk menyesuaikan harga gas tersebut menyusul keinginan Medco Energi untuk menaikkan harga gas dari Blok Corridor di Sumatera Selatan, sebagai salah satu pemasok utama gas bumi PGN.
ADVERTISEMENT
Medco beralasan kenaikan harga dibutuhkan untuk meningkatkan produksi gas di Blok Corridor yang sudah menurun. Kebetulan per 30 September 2023 Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara Medco dengan PGN dari Blok Corridor berakhir.
Direktur Reforminer Institut, Komaidi Notonegro, pada Energy Talk di Hotel Alila, Kamis (9/2/2023). Foto: Nabil Jahja/kumparan
Sementara itu Dirjen Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, mengatakan Medco selaku operator di Blok Corridor memang berencana mengajukan penyesuaian harga gas yang dijual ke PGN. Penyesuaian harga dilakukan Medco untuk mempertahankan tingkat produksi di Lapangan Grissik Blok Corridor.
“Kondisi tersebut tentu berpengaruh pada harga gas yang akan dijual PGN. Namun demikian, pemerintah tetap dalam posisi tidak mengizinkan kenaikan harga. Intinya, harga gas tidak naik. Kita akan duduk bareng sama mereka antar berkepentingan," ujar Tutuka awal pekan ini, Senin (2/10).
ADVERTISEMENT
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, memastikan tidak ada kenaikan gas di luar Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Alih-alih naik, menurutnya, harga bumi untuk industri non-HGBT seharusnya turun.
"Enggak boleh (naik), enggak halal itu. hulunya enggak naikin, kemudian malah transmisinya harusnya bisa dikurangin, kenapa harus dinaikin," kata Arifin saat ditemui di kompleks parlemen, Rabu (13/9).
HGBT adalah patokan harga gas senilai USD 6 per MMBTU, jauh lebih murah dari harga pasar. Saat ini hanya 7 sektor industri yang bisa menikmati yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Komaidi menilai, jika pemerintah melarang kenaikan harga gas, keekonomian proyek gas akan bermasalah lantaran penurunan produksi alias decline rate semakin besar. Sebab, penurunan produksi biasanya membutuhkan insentif agar keekonomian lapangan gas bisa bertahan. Salah satu insentifnya adalah penyesuaian harga. Kalau penyesuaian ini dilarang, tentu pemerintah harus memberikan insentif lain, baik fiskal maupun non-fiskal.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah harus lebih bijaksana untuk mengakomodasi semua kepentingan. Bukan hanya kepentingan industri pengguna gas, tapi kepentingan seluruh sektor termasuk industri migas. Karena semua sektor penting untuk ekonomi nasional, masing-masing punya peran dan kontribusi sendiri," tegasnya.
Dosen Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti itu menyatakan, regulasi yang sangat kaku ini akan menjadi masalah dalam jangka panjang. Bagi pelaku industri migas nasional, kebijakan ini memang tidak memberikan pilihan. Namun, bagi pelaku industri migas asing, mereka akan pergi mencari tempat lain yang dirasa lebih memberikan kewajaran dalam berbisnis.
"Ini sebetulnya sudah terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Banyak perusahaan migas besar yang meninggalkan Indonesia," tutup Komaidi.