Penambang Bauksit Keluhkan Aturan Harga Patokan Mineral

3 Mei 2025 14:19 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Unit Bisnis Pertambangan Bauksit PT ANTAM di Tayan, Kalimantan Barat. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Unit Bisnis Pertambangan Bauksit PT ANTAM di Tayan, Kalimantan Barat. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
ADVERTISEMENT
Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) mengeluhkan kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) membuat industri pengolahan atau smelter enggan membeli bauksit, sehingga banyak penambang memutuskan menghentikan produksi hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
ADVERTISEMENT
Ketua Umum ABI, Ronald Sulistyanto, mengatakan di balik perkembangan pesat industri hilirisasi, terdapat tantangan serius yang dihadapi para pelaku usaha di sektor hulu, khususnya penambang bauksit karena adanya HPM.
Kebijakan tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan Untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batubara.
Peraturan yang berlaku mulai 1 Maret 2025 ini menetapkan formula HPM dan Harga Patokan Batu bara (HPB). Dalam aturan ini pula, penetapan HMA (Harga Mineral Acuan) dan HBA (Harga Batu bara Acuan) yang sebelumnya dilakukan setiap bulan, berubah menjadi dua kali per bulan.
"Banyak dari mereka masih terpaksa menghentikan kegiatan operasional karena belum tercapainya kesepakatan harga jual dengan pihak pengolahan dan pemurnian (smelter)," ungkap Ronald melalui keterangan tertulis, dikutip Sabtu (3/5).
ADVERTISEMENT
Ronald mengatakan, keberlanjutan usaha penambangan menjadi sangat penting, salah satunya melalui harga jual yang layak, yakni dengan adanya margin yang wajar di atas biaya operasional.
Hal ini dibutuhkan agar kegiatan produksi dapat kembali berjalan secara berkelanjutan dan pasokan bahan baku ke industri hilir tetap terjaga.
Unit Bisnis Pertambangan Bauksit PT ANTAM di Tayan, Kalimantan Barat. Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Pada praktiknya, lanjut dia, penerapan HPM masih belum dijalankan oleh sebagian pengusaha pengolahan dan pemurnian dengan alasan belum mematuhi harga tersebut, dikarenakan keterbatasan keekonomian usaha.
"Di sisi lain, pengusaha tambang harus menjual di bawah HPM yang menyebabkan mereka menahan produksi atau memilih berhenti beroperasi, karena harga jual yang tidak bisa menutup biaya produksi," tutur Ronald.
Kondisi ini kemudian menciptakan stagnasi di daerah penghasil bauksit seperti Kalimantan Barat, Riau, dan Kalimantan Tengah. Bahkan, aktivitas ekonomi menurun drastis karena tekanan finansial yang besar bagi pelaku UMKM di sektor tambang.
ADVERTISEMENT
"Ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, sementara kewajiban para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada negara seperti iuran tetap, reklamasi, PBB, dan pasca tambang hingga CSR atau PPM tetap harus dijalankan," ungkapnya.
Perlu Kesepakatan yang Adil
Ronald menuturkan, smelter tidak akan bisa berjalan tanpa bahan baku yang stabil, sehingga penambang adalah mitra utama dalam mata rantai industri alumina secara nasional.
"Namun, jika pengusaha hulu terus merugi, maka pasokan bauksit terancam terputus. Ini dapat berdampak pada kekurangan bahan baku nasional dan membuka kemungkinan impor di masa depan," tegasnya.
Dia menilai, menghidupkan kembali operasional tambang tidak bisa dilakukan secara instan sebab membutuhkan waktu, permodalan, dan kepastian harga agar produksi dapat berkelanjutan.
Oleh karena itu, lanjut dia, HPM harus dijadikan dasar dalam transaksi penjualan bauksit, dan pemerintah harus hadir sebagai wasit yang tegas dan adil.Wacana-wacana baru terkait kebijakan ekspor atau kelonggaran lainnya sebaiknya tidak dijadikan pilihan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, peta jalan hilirisasi harus dijalankan secara konsisten, bukan hanya untuk kepentingan segelintir perusahaan besar, tetapi untuk menjamin keberlangsungan puluhan pelaku usaha nasional yang juga punya hak untuk bertahan dan berkembang.
"ABI menekankan bahwa harga jual yang adil adalah kunci keberlanjutan industri ini. Jika pengolahan dan pemurnian diharapkan tumbuh dan berkembang, maka tambang harus diberi ruang untuk bernapas melalui skema harga yang layak," pungkas Ronald.