Ragam Regulasi Pajak E-commerce di Dunia

8 Februari 2018 16:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sepuluh tahun lalu, untuk sekadar berbelanja baju, kita perlu pergi ke toko atau mal terdekat, berjalan dari satu gerai ke gerai lain, berdesak-desakan, mengantre di kasir, dan pulang ke rumah sambil menenteng-nenteng barang belanjaan yang berat.
ADVERTISEMENT
Proses itu, bagi sebagian orang kini, terlampau banyak buang waktu dan energi. Sekarang, dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, semua “ritual” melelahkan itu tak perlu lagi kita jalani jika memang tak mau.
Cukup membuka layar ponsel pintar, berkunjung ke situs-situs jual-beli online, mengklik baju yang kita inginkan, dan mentransfer sejumlah uang, barang yang kita pilih itu akan tiba dalam beberapa hari, atau bahkan esok harinya jika lokasi pedagang dan konsumen ternyata dekat atau kita memilih kurir ekspres sebagai jasa pengiriman.
Ilustrasi belanja online. (Foto: Thinkstock)
Zaman jelas berubah, dan perkembangan teknologi informasi niscaya mengubah cara-cara berbisnis. Salah satunya, transformasi bisnis retail dari konvensional (offline) menjadi online yang mengandalkan jaringan internet.
Berbelanja online, dengan segala kemudahan yang melekat di dalamnya, telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di era digital. Nilai perdagangan online juga tak main-main besarnya. Menurut data Statista, portal statistik online dan riset pasar, hanya dalam waktu tiga tahun nilai perdagangan online meningkat hampir dua kali lipat. Dari USD 1,3 triliun pada 2014 menjadi USD 2,29 triliun pada 2017.
ADVERTISEMENT
Tahun 2021, Statista memproyeksikan persentase nilai perdagangan online akan meningkat 246,15 persen hingga mencapai USD 4,5 triliun.
Tumbuh Pesat E-commerce di Dunia (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
Tantangan Baru
Perkembangan ekonomi digital tak hanya menuntut konsumen atau pelaku bisnis untuk beradaptasi mengikuti arus perubahan, tetapi juga pemerintah. Sebab bagaimanapun, perkembangan teknologi bukan saja mendisrupsi lini-lini bisnis, tetapi juga berbagai regulasi pemerintah, salah satunya soal perpajakan.
Apabila 20 tahun lalu negara mudah saja mendisiplinkan orang-orang atau perusahaan untuk membayar pajak, maka dengan perubahan sistem perdagangan kini, negara mau tak mau harus beradaptasi untuk membangun satu skema khusus perpajakan, yang boleh dibilang, sama sekali baru.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, mengubah sistem perpajakan tak semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat berbagai jenis tantangan yang perlu direspons cermat.
Studi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Saintifik Parlemen Uni Eropa, Tax Challenges in the Digital Economy, mengungkap bahwa perkembangan ekonomi digital telah menciptakan tantangan baru bagi sistem perpajakan di berbagai negara.
Hal tersebut, menurut mereka, karena sistem perpajakan yang berlaku saat ini pada dasarnya didesain untuk menarik pajak dari industri-industri konvensional. Padahal di era digital ini, persoalan dan tantangan bisnis yang dihadapi sama sekali berbeda.
Berdasarkan hasil studi itu, terdapat dua persoalan mendasar yang menjadi tantangan besar untuk mereformasi skema perpajakan konvensional. Pertama, barang-barang yang diperdagangkan bersifat intangible (tidak memiliki wujud fisik) dan lintas batas negara (borderless), semisal jasa berlangganan film atau lagu serta perdagangan software atau aplikasi.
ADVERTISEMENT
Persoalan kedua terkait keberadaan fisik perusahaan digital, mengingat mereka tidak perlu membangun kantor cabang atau memindahkan pabrik untuk dapat beroperasi di suatu negara.
Persoalan-persoalan tersebut, mulai dari model bisnis sampai bentuk barang yang diperdagangkan, membuat skema perpajakan konvesional tidak lagi relevan untuk merespons perkembangan bisnis di era digital. Sebab skema “kuno” itu memberikan kemudahan bagi perusahaan-perusahaan digital untuk menghindari regulasi perpajakan dan memindahkan profit mereka ke negara-negara suaka pajak (tax havens).
Pada titik ini, Uni Eropa menjadi salah satu rezim yang gencar membangun infrastruktur perpajakan yang relevan dengan perubahan zaman. Ia, dan beberapa negara lain, memiliki sistem pajak yang tergolong baik di era digital.
Aturan Pajak E-commerce di Berbagai Negara (Foto: Chandra Dyah A./kumparan)
Uni Eropa
Perdagangan online jelas berkembang pesat di kawasan Uni Eropa yang berisi negara-negara maju. Dalam kurun waktu 2008 sampai 2016, pertumbuhan pendapatan perusahaan retail konvensional di Uni Eropa hanya satu persen, berbanding terbalik dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan e-commerce yang menanjak hingga 32 persen.
ADVERTISEMENT
Menurut data Ecommerce Europe, asosiasi pelaku bisnis di Uni Eropa, pada 2016 total nilai perdagangan online di Uni Eropa mencapai 530 miliar Euro.
Peneliti Brookings Institute, Edison Jakurti, menyatakan dalam satu dekade terakhir, pencapaian perusahaan-perusahaan teknologi digital di Uni Eropa telah mengungguli perusahaan-perusahaan konvensional.
Pada 2006 misalnya, hanya ada satu perusahaan teknologi digital yang masuk ke dalam kategori 20 perusahaan top Uni Eropa, dengan pangsa pasar 7 persen. Namun pada 2017, terdapat 9 perusahaan teknologi digital dalam jajaran perusahaan-perusahaan top di Uni Eropa, dengan persentase pangsa pasar 54 persen.
Melihat tren perdagangan online yang kian meningkat, Uni Eropa menganggap perlunya suatu regulasi pajak baru yang relevan dengan semangat zaman. Dan sebagai organisasi kawasan, Uni Eropa tidak menarik pajak, baik pajak pertambahan nilai (disebut value-added tax; VAT di Eropa) maupun pajak korporasi. Ia hanya menyediakan payung regulasi.
ADVERTISEMENT
Maka aturan perpajakan di negara-negara anggotanya harus sesuai dengan regulasi perpajakan Uni Eropa, meski setiap negara anggota Uni Eropa punya persentase pajak pertambahan nilai yang berbeda satu sama lain. Misalnya, Prancis menerapkan pajak pertambahan nilai sebesar 20 persen, Jerman 19 persen, dan Hungaria 27 persen.
Uni Eropa punya dua skema regulasi terkait perdagangan digital. Perbedaan antara dua regulasi ini dilatarbelakangi perbedaan wujud barang yang diperdagangkan, apakah barang itu punya wujud fisik (tangible) atau tidak memiliki wujud fisik (intangible).
Pertama, regulasi pajak pertambahan nilai mengatur bahwa pajak baru bisa dikenakan apabila nilai transaksi di atas ambang batas yang ditetapkan oleh negara tempat konsumen berada. Contohnya, Prancis mensyaratkan pajak pertambahan nilai apabila nilai produk yang diperdagangkan lebih dari 35 ribu Euro per tahun, sedangkan Jerman mensyaratkan pajak pertambahan nilai terhadap produk dengan nilai lebih dari 100 ribu Euro per tahun.
ADVERTISEMENT
Kedua, setiap perusahaan yang teregistrasi pada sistem pajak pertambahan nilai Uni Eropa wajib menjaminkan dana sebesar 8 ribu Euro ke masing-masing negara tempat mereka menjual barang.
Skema regulasi pajak pertambahan nilai yang pertama berlaku pada hubungan perdagangan antara perusahaan dengan konsumen (business to customer) yang memperdagangkan barang-barang yang mempunyai wujud fisik (tangible).
Apabila nilai barang berada di atas ambang batas yang diatur di negara tersebut, maka perusahaan wajib mengenakan pajak pertambahan nilai dengan mengacu pada regulasi pajak pertambahan nilai yang berlaku di negara konsumen terkait.
Begitu pun ketika perusahaan ternyata tidak berasal dari Uni Eropa. Jika nilai barang berada di atas ambang batas yang ditentukan, maka perusahaan wajib menarik pajak sesuai regulasi yang berlaku di negara konsumen.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, bila hubungan dagang dilakukan antara perusahaan Uni Eropa dengan konsumen di luar Uni Eropa, maka perusahaan tidak akan dikenai pajak pertambahan nilai.
Sementara skema regulasi kedua berlaku pada bisnis-bisnis di bidang telekomunikasi, penyiaran, dan layanan elektronik lain seperti perusahaan game, penyedia layanan musik, film, maupun software.
Dalam skema ini, apabila perdagangan dilakukan antara perusahaan asal Uni Eropa dengan konsumen yang juga berasal dari Uni Eropa, maka pajak pertambahan nilai yang dikenakan harus sesuai dengan regulasi pajak di negara konsumen berada.
Juga apabila perdagangan dilakukan antara perusahaan yang tidak berasal dari Uni Eropa dengan konsumen Uni Eropa, maka pajak pertambahan nilai mengikuti regulasi pajak di negara konsumen tersebut.
Sengkarut Pajak Transaksi e-Commerce (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Melalui kedua regulasi di atas, perusahaan--baik yang berasal dari Uni Eropa maupun di luar Uni Eropa--tidak hanya bertanggung jawab untuk menarik pajak, tetapi juga mengumpulkan, melaporkan, dan meyerahkan pajak pertambahan nilai tersebut ke pemerintah di negara konsumen atau perusahaan itu berada.
ADVERTISEMENT
Misalnya, seseorang yang berasal dari Italia mengunduh aplikasi yang dijual oleh perusahaan asal Polandia, maka perusahaan asal Polandia tersebut harus menarik pajak pertambahan nilai dari konsumen sesuai dengan regulasi pajak di Italia.
Namun sejak 2015, Uni Eropa memperkenalkan sebuah skema khusus bernama mini one-stop shop (MOSS). MOSS diciptakan untuk memudahkan perusahaan mengelola penarikan pajak dari konsumen, terlebih karena bukan tidak mungkin apabila konsumen perusahaan berasal dari 28 negara anggota Uni Eropa.
MOSS ialah layanan online yang menyediakan platform bagi perusahaan untuk mematuhi regulasi perpajakan pertambahan nilai di negara tempat barang mereka diperdagangkan, sehingga perusahaan tidak perlu terjebak dalam urusan administratif yang rumit.
Meski telah mempunyai regulasi pajak yang cukup komprehensif, Uni Eropa masih kesulitan menciptakan sistem pajak korporasi untuk perusahaan-perusahaan digital seperti Google, Facebook, atau Amazon. Sampai saat ini, mereka masih memperdebatkan skema pajak yang tepat untuk diterapkan terhadap perusahaan-perusahan itu.
ADVERTISEMENT
Australia
Bendera Australia. (Foto: AFP/Peter Parks)
Selain Uni Eropa, salah satu negara dengan sistem regulasi pajak jual-beli online yang terbilang baik adalah Australia. Namun, berbeda dengan Uni Eropa, Australia tidak mengenal pajak pertambahan nilai, melainkan pajak konsumsi barang dan jasa (Goods and Services Tax; GST).
Data Statista pada 2017 menunjukkan, nilai total perdagangan online di Australia mencapai USD 22,3 miliar. Dalam konteks global, ia termasuk ke dalam 10 besar negara dengan nilai perdagangan online tertinggi di dunia.
Sementara berdasarkan data Ecommerce Foundation, setidaknya 65 persen warga Australia berbelanja secara online. Jumlah itu terbilang besar untuk negara dengan populasi 23 juta jiwa--jumlah yang tidak lebih dari seperempat populasi Pulau Jawa.
Maka pada 21 Juni 2017, setelah melewati berbagai perdebatan dan penelitian, parlemen Australia akhirnya mengesahkan perluasan penerapan pajak barang dan jasa ke sektor jual-beli online barang dan jasa impor bernilai rendah (low value imported goods).
ADVERTISEMENT
Aturan yang mensyaratkan penarikan pajak barang dan jasa sebesar 10 persen dari total nilai perdagangan online itu akan efektif diberlakukan Australia per 1 Juli 2018. Dalam regulasi tersebut, parlemen Australia menetapkan ambang batas bawah nilai transaksi jual-beli online yang akan dikenai pajak barang dan jasa sebesar AUD 10 ribu.
Artinya, jual-beli barang atau jasa secara online, entah itu produk yang punya wujud fisik ataupun tidak, selama nilainya berada di atas AUD 1.000, maka perusahaan atau distributor penjual barang itu wajib menarik pajak barang dan jasa sebesar 10 persen dari total nilai transaksi.
Seperti Uni Eropa, Australia mewajibkan perusahaan-perusahaan perdagangan online dengan nilai pendapatan di atas AUD 75 ribu per tahun untuk melakukan registrasi ke kantor pajak Australia dan wajib menarik pajak ke para konsumen mereka sesuai regulasi perpajakan Australia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Australia, dalam pernyataan resmi mereka, mengharapkan perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjual produknya di Australia untuk menyertakan harga yang telah disesuaikan dengan pajak barang dan jasa, seperti dilakukan oleh perusahaan-perusahaan domestik Australia yang secara periodik wajib menyerahkan setoran pajak ke kantor pajak Australia.
Korea Selatan
Belanja online. (Foto: Thinkstock)
Berbelanja online boleh dibilang telah mengakar sebagai gaya hidup masyarakat Korea Selatan. Hal tersebut terlihat dalam Global Connected Commerce Report 2016 yang dirilis oleh Nielsen.
Laporan tersebut mengungkap bahwa orang-orang Korea Selatan merupakan masyarakat yang paling sering berbelanja online, mulai dari pakaian (77 persen), perlengkapan rumah tangga (52 persen), makanan kemasan (51 persen), perlengkapan makeup dan perawatan tubuh (65 persen), dan sayur-mayur serta buah-buahan segar (37 persen).
ADVERTISEMENT
Dari aktivitas tersebut, pada tahun 2017 Statista mencatat nilai transaksi perdagangan online di Korea Selatan mencapai angka USD 46,5 miliar. Dan sejak 1 Juni 2015, pemerintah Korea Selatan memperluas cakupan pajak pertambahan nilai ke segmen perdagangan online.
Setiap perusahaan yang menjual barang di Korea Selatan, meski tidak membuka kantor cabang, tetap harus melakukan registrasi pajak pertambahan nilai ke dalam sistem pelayanan elektronik perpajakan negeri itu.
Korsel tidak memberlakukan ambang batas seperti Australia. Maka setiap perusahaan, berapapun nilai transaksi mereka, wajib melakukan registrasi.
Korea Selatan benar-benar tidak mau kehilangan pemasukan pajak dari bisnis e-commerce. Regulasi pajak mereka menyebutkan gamblang bahwa apabila perusahaan tidak mempunyai perwakilan bisnis di Korsel atau aktivitas perdagangannya di negara itu adalah menjual barang-barang tanpa wujud fisik, maka perusahaan tersebut tetap dianggap berada di Korsel sehingga harus mengikuti regulasi pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen.
ADVERTISEMENT
Demikian pula jika penjualan produk-produk dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memiliki perwakilan bisnis di Korea Selatan, maka perusahaan asal akan tetap dianggap berada di negara tersebut. Jadi, semisal Apple tidak mempunyai perwakilan di Korsel, setiap produk yang mereka jual di negara itu, baik perangkat keras maupun perangkat lunak, akan tetap dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen dari yang dibayar konsumen.
Pajak pertambahan nilai itu harus dibayarkan tiap tiga bulan sekali ke Woori Bank, bank yang melayani perpajakan nasional Korea Selatan. Dan semua penyerahan pajak harus dibayarkan menggunakan mata uang Korea Selatan, Won.
Tegas sekali, bukan?
Bagaimana dengan aturan untuk e-commerce di Indonesia? Seperti kata Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan, “Aturannya masih digodok. Tunggu saja.”
ADVERTISEMENT
------------------------
Jangan lewatkan isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.