Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ramai Kabar Bandara Uganda Diambil Alih China Gara-gara Utang
29 November 2021 18:35 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pengambilalihan bandara tersebut, disebutkan merupakan buntut dari proyek pengembangan bandara tersebut senilai USD 207 juta, yang didanai utang dari China. Bloomberg melaporkan, utang setara Rp 3 triliun itu disepakati pada 2015 lalu antara Pemerintah Uganda dengan Export-Import Bank of China.
Agar Pemerintah Uganda tak kehilangan kendali atas Bandara Entebbe tersebut, Presiden Uganda Yoweri Museveni telah mengirim delegasi ke Beijing, untuk menegosiasi ulang kontrak utang mereka dengan pemerintah China.
"Di antara klausul yang ingin diubah Pemerintah Uganda, adalah soal anggaran dan rencana strategis Otoritas Penerbangan Sipil Uganda yang harus mendapat persetujuan dari kreditur China," demikian ditulis Bloomberg, Senin (29/11).
"Aturan lain dalam kontrak itu juga mewajibkan setiap perselisihan untuk diselesaikan di Komisi Arbitrase Ekonomi dan Perdagangan Internasional China," lanjut Bloomberg.
ADVERTISEMENT
Sementara itu juru bicara regulator penerbangan Uganda dan Direktur Jenderal China untuk Urusan Afrika, melalui tweet terpisah membantah bahwa adanya pengambilalihan Bandara Entebbe oleh China. Demikian juga juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, membantah kabar tersebut.
Sementara terkait kontrak utang untuk proyek pengembangan Bandara Entebbe, Wang menyatakan, "Semua perjanjian pinjaman ditandatangani atas dasar sukarela."
“Kabar soal pengambilalihan proyek atau aset oleh lembaga keuangan China, merupakan fitnah yang didasari niat jahat tanpa dasar apa pun,” lanjutnya.
Proyek pengembangan Bandara Entebbe di Uganda sendiri, merupakan bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas China. Gagasan untuk membangun kembali pengaruh China pada apa yang disebut sebagai 'jalur sutera baru' itu, memicu kontroversi di sejumlah negara.
ADVERTISEMENT
Menurut Bloomberg, di Sri Lanka, pemerintah pada tahun 2017 setuju untuk menyewakan pelabuhan ke perusahaan yang dipimpin oleh China Merchants Port Holdings Co selama 99 tahun dengan kontrak senilai USD 1,1 miliar.