Saran Guru Besar UI Soal Kapal China Kembali Serbu Natuna

12 Januari 2020 14:22 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapal Coast Guard China membanyangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1).  Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Kapal Coast Guard China membanyangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau masih menjadi sorotan karena kapal Coast Guard China mengawal kapal-kapal nelayan negaranya untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kapal-kapal asing itu sempat pergi meninggalkan ZEE Indonesia, namun sejak Sabtu (11/1) kembali memasuki wilayah perairan Indonesia di Natuna Utara. Bahkan, mereka tak takut saat diusir oleh KRI Usman Harun-359 bersama KRI Jhon Lie-358 dan KRI Karel Satsuitubun-356.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Hukum Internasional UI, Profesor Hikmahanto Juwana meminta pemerintah tetap konsisten dan ngotot untuk mempertahankan laut Natuna Utara dari klaim China.
Menurutnya, apa yang terjadi di ZEE Natuna Utara saat ini merupakan persoalan sumber daya alam, bukan kedaulatan.
"Ini kan sebenarnya tanda kutip sengketa masalah perikanan, sumber daya alam, kok tiba-tiba dieskalasi menjadi masalah kedaulatan," ujar Hikmahanto dalam diskusi Natuna di Warung Upnormal, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (12/1).
Guru Besar Hukum Internasional FH UI, Hikmahanto Juwana. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Untuk itu, Hikmahanto mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di perairan Natuna Utara.
Yang pertama, kata Hikmahanto, Pemerintah Indonesia sebaiknya menghadirkan nelayan-nelayan lokal di wilayah perairan Natuna.
"Kita sekarang masalah banyak-banyakan nelayan yang ada di sana. Nelayan yang ada di sana tapi jangan lupa masalah konservasi perlindungan terhadap lingkungan laut yang ada di sana itu juga perlu diperhatikan," kata Hikmahanto.
ADVERTISEMENT
"Tapi kita dengan China dengan Vietnam dan sebagainya, kita harus banyak-banyakan menghadirkan nelayan kita di sana," imbuhnya.
Kemudian langkah kedua adalah penguatan patroli dari Coast Guard Indonesia guna menjaga para nelayan Indonesia sekaligus menindak kapal-kapal milik nelayan asing yang menangkap ikan secara ilegal di ZEE dan perairan Natuna Utara.
"Karena nelayan-nelayan kita yang dari Natuna itu mereka komplain kami ini diusir-usir sama Coast Guard China. Tapi kita enggak punya backup yang backing kita, sementara kalau kapal-kapal nelayan China kita usir-usir atau kita ambil untuk adili proses hukum, nah nanti ada Coast Guard China di situ merapat," tuturnya.
Terakhir, Hikmahanto meminta pemerintah tetap ada kebijakan untuk tidak mengakui sembilan garis putus-putus China atau nine dash. Sembilan garis putus-putus merupakan dasar China untuk mengklaim perairan Natuna Utara sebagai teritori mereka.
ADVERTISEMENT
"Jadi itu harus terus karena apa? Kita akan dicoba terus, dengan harapan kita lupa. Nah kita harus konsisten menjaga itu," jelas Hikmahanto.
Ia menjelaskan, kebijakan sembilan garis putus-putus China sejatinya sudah tidak diakui oleh masyarakat internasional.
"Terkait 9 garis putus-putus masyarakat internasional sudah tidak mengakui. Nah kita Pemerintah Indonesia itu pernah melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengirim ke Menlu China, mempertanyakan itu (9 garis putus-putus). Ternyata enggak pernah dijawab," pungkasnya.