Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Selain Rupiah, GAPMMI Ungkap Konflik Iran-Israel Juga Berimbas ke Impor
17 April 2024 13:18 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Bloomberg, Rabu (17/4) pukul 12.00 WIB, rupiah anjlok ke Rp 16.236 per dolar AS atau melemah 60,50 poin (0,37 persen).
“Kita berharap pemerintah bisa segera mengantisipasi khususnya nilai tukar ini kalau bisa BI segera mengintervensi ya, karena ini kan habis liburan, mudah-mudahan segera dilakukan, supaya stabil agar tidak terlalu berat,” kata Adhi saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dikutip pada Rabu (16/4).
Adhi menilai memanasnya hubungan Iran dan Israel ini akan menyebabkan potensi pelemahan rupiah menjadi lebih dalam karena adanya ketidakpastian geopolitik.
“Apalagi saya dengar juga capital outflow meningkat ke AS. Nilai suku bunga juga tinggi disana. Kita juga harus mengantisipasi,” ujar Adhi.
Selain rupiah, Adhi menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh panasnya hubungan Iran dan Israel saat ini adalah terganggunya importasi bahan baku yang akan berdampak pada peningkatan biaya produksi industri manufaktur, termasuk industri mamin.
“Ini berdampak pada industri khususnya industri mamin. Kita banyak sekali bahan baku yang harus kita impor dan tentu akan berpengaruh terhadap harga pokok produksi kita. Impor kita cukup banyak untuk bahan baku. Ini yang sangat berat, belum (lagi) biaya logistik meningkat,” ujar Adhi.
ADVERTISEMENT
Peningkatan biaya logistik dan produksi ini akan menyebabkan kecilnya margin yang diterima oleh pengusaha. Sehingga, kata Adhi, pelaku usaha industri kecil akan terpaksa memutar otak dengan menaikkan harga jual maupun mengubah ukuran ataupun kuantitas produk.
“Industri kecil itu ketahanan stok itu yang rendah, begitu harga naik itu tidak mempunyai kekuatan untuk menahan harga, entah itu ukuran jualnya dikecilkan atau harganya naik, tapi kan mereka peredarannya kan juga kecil,” kata Adhi.
Kendati demikian, Adhi memastikan perusahaan-perusahaan industri mamin akan berusaha untuk mempertahankan harga jual, lantaran masih berpegang pada kontrak tahunan dengan para produsen bahan baku atau bahan baku penolong.
“Tapi bagi perusahaan berasa yang punya strategi jangka panjang, kontrak bahan baku jangka panjang, apalagi di tengah situasi daya beli masyarakat belum normal, kita berharap bisa menahan harga meskipun mengorbankan margin,” tutur Adhi.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Adhi juga menginginkan pemerintah merombak aturan yang berkaitan dengan kompensasi atas kenaikan biaya yang terjadi, salah satunya beleid mengenai bea masuk untuk bahan baku industri makanan dan minuman atau mamin. Ia menganggap bea masuk bahan baku industri mamin yang digawanginya ini memiliki regulasi yang cukup ketat.
Dia berharap pemerintah menurunkan bea masuk bahan baku industri mamin sementara menjadi Rp 0. Sehingga produk dalam negeri dapat bersaing dengan produk impor di pasar domestik.
“Sementara, produk jadi itu bea masuk Rp 0. Kita harap pemerintah bisa mereview apakah bea masuk bisa ditangguhkan sementara saat masa sulit ini, supaya ada keseimbangan antara produk jadi dan bahan baku. Karena kalau produk jadi 0 sementara bahan baku kena bea masuk di tengah biaya tinggi tentunya ini akan berdampak pada daya saing produk lokal terhadap produk impor,” pinta Adhi.
ADVERTISEMENT