Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Suka Duka Pekerja Pertamina: Hadapi Pendemo Bawa Parang dan Bekerja Rasa Liburan
2 Januari 2022 18:07 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
PT Pertamina (Persero) menjadi salah satu BUMN yang asetnya tersebar di berbagai daerah karena banyaknya pengeboran sumut minyak dan gas yang dilakukan. Perusahaan pelat merah ini juga menjadi favorit para pencari kerja.
ADVERTISEMENT
Gaji besar dan fasilitas terjamin menjadi dua dari sekian bayangan orang bisa bekerja di BUMN ini. Benarkah selalu seenak itu bekerja di Pertamina? Bagaimana suka dukanya?
Dalam sebuah acara di Pusat Pengumpul Produksi (PPP) Prabumulih Field, Sumatera Selatan yang dikelola Pertamina, beberapa karyawan menceritakan suka duka bekerja di BUMN tersebut. Salah satunya Tuti Dwi Patmayanti, perempuan asli Sumatera Selatan yang sudah bekerja 20 tahun di Pertamina.
Mulanya Tuti bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di Jakarta pada 2002. Profesi itu dijalaninya selama 13 tahun. Dia kemudian sekolah lagi hingga dioper bekerja di Pertamina EP di Sumatera Selatan, menempati posisi Public Relation Assistant hingga saat ini.
Nama Pertamina EP sendiri saat ini sudah tidak ada, sejak Pertamina membentuk holding dan subholding pada 2018. Pertamina EP berubah menjadi Pertamina Hulu Rokan (PHR) Zona 4 di bawah Subholding Upstream Pertamina.
ADVERTISEMENT
Tuti bercerita, dukanya bekerja di bagian legal dan kehumasan adalah harus berhadapan langsung dengan masyarakat, untuk beragam urusan. Termasuk dengan para pendemo yang kadang disusupi preman, terutama saat terjadi insiden di area pengeboran.
Hal itu dialami Tuti, misalnya saat sumur minyak TLJ-25 di Lapangan Prabumulih mengalami semburan liar (blow out) pada 2013 lalu.
"Di situ kita selalu didemo, dibawain parang. Saat itu saya lagi hamil, sempat pendarahan karena kecapekan. Jadi kita tiap hari ngadepin orang ngamuk ke sini tuh sering," tutur Tuti, Sabtu (1/1).
Menurut Tuti, pendemo yang datang dengan berbagai tuntutan dan kemarahan mereka, menjadi salah satu tantangan pekerjaan. Apalagi saat itu, Tuti menjadi perempuan pertama yang berada di bagian kehumasan Pertamina EP.
ADVERTISEMENT
Dia selalu ingin orang-orang yang berdemo saat datang ke area produksi justru bisa pulang dengan tersenyum, setelah dijelaskan situasinya. Tuti mengaku tidak gentar menghadapi preman-preman itu karena sudah paham karakteristik orang di sana.
"Memang kalau dibilang berat, ya berat. Tapi namanya sudah tanggung jawab profesi, harus dijalani. Lama-lama jadi senang, sebab pekerjaan itu banyak yang disukai. Makanya saya bisa bertahan 20 tahun, bukti senangnya saya di sini kelihatan dari badan saya yang besar," kata dia tertawa.
Menjadi pekerja Pertamina atau yang biasa disebut Perwira juga harus selalu siap, meski dalam suasana tahun baru. Di lokasi pengeboran misalnya, para pekerja tetap melakukan pengeboran seperti tajak sumur perdana Lapangan Limau, Prabumulih, yang dilakukan di malam pergantian tahun.
ADVERTISEMENT
Proses pengeboran perdana di awal tahun itu disaksikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Sejumlah pejabat SKK Migas yang datang di antaranya Deputi Perencanaan Benny Lubiantara dan SKK Migas Perwakilan Sumbagsel Anggono Mahendrawan.
Meski begitu, Tuti menyebut setiap karyawan punya hak cuti 20 hari dalam setahun. "20 hari itu, 18 hari cuti dan 2 harinya digunakan untuk perjalanan pulang dan pergi. Jadi tinggal diatur saja," kata dia.
Alasannya, kata Hendry, area bekerjanya sejuk, sangat alami. Lingkungan bekerja Pertamina di area produksi memang selalu dibangun sebuah kompleks untuk para pekerjanya tinggal.
ADVERTISEMENT
"Kalau pagi-pagi di sini kita dengarkan suara burung, kalau di kota harus beli (burung) dan pasang di rumah. Jadi di kompleks bisa dengerin suara burung, udaranya sejuk. Jadi siapa bilang di sini enggak bisa liburan?" kata Hendry.
Cerita lain juga datang dari Manager Production Engineering PHR Zona 4, Arif Rahman Hakim. Dia mengaku pertama kali bekerja di Pertamina langsung ditugaskan di Prabumulih pada 2008. Selama 10 tahun ternyata tidak dipindah-pindah, hingga akhirnya dia menemukan jodohnya di kota tersebut.
Dia mengakui bekerja di area produksi yang tempatnya berada di daerah, memang sulit untuk pulang kampung. Lulusan ITB ini asli Bandung, namun kini menetap di Prabumulih.
"Memang betul jarang pulang. Tapi alhamdulillah ketemu jodoh di sini, sudah dua anaknya," kata Arif.