Tak Seindah Kisahnya, Pertanian Organik Justru Bikin Sri Lanka Krisis Pangan

10 Juli 2022 9:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tak cuma krisis BBM dan LPG seperti terlihat antrean warga di Kolombo, Jumat (20/5/2022), rakyat Sri Lanka juga mengalami krisis pangan. Foto: Adnan Abidi/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Tak cuma krisis BBM dan LPG seperti terlihat antrean warga di Kolombo, Jumat (20/5/2022), rakyat Sri Lanka juga mengalami krisis pangan. Foto: Adnan Abidi/REUTERS
ADVERTISEMENT
Krisis pangan melanda masyarakat Sri Lanka yang tengah didera krisis ekonomi parah. Hal itu terjadi justru setelah negara di Asia Selatan itu, menerapkan pertanian organik yang selama ini punya kesan indah dan ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Penerapan pertanian organik menjadi janji politik Presiden Gotabaya Rajapaksa pada Pemilu 2019. Hal itu didesain sebagai program 10 tahun ke depan. Tapi pelaksanaan yang tergesa dan tanpa persiapan, justru membalikkan keadaan dari posisi Sri Lanka yang selama ini swasembada beras.
Organisasi Pangan Dunia atau World Food Programme (WFP) mengungkapkan sebanyak 4,9 juta atau 22 persen dari populasi penduduk Sri Lanka, mengalami krisis pangan. "Hal ini menambah daftar setengah juta orang yang miskin akibat pandemi," tulis WFP dikutip Minggu (10/7).
Krisis pangan di Sri Lanka dipicu anjloknya produksi pertanian, sejak negara itu menerapkan pertanian organik yang gagal. Pada saat yang sama cadangan devisa Sri Lanka tak cukup untuk membiayai impor.

Kegagalan Progam Pertanian Organik

Untuk mewujudkan janji politik soal pertanian organik, Presiden Gotabaya Rajapaksa membentuk gerakan masyarakat sipil yang diberi nama Viyathmaga. Dikutip dari Foreign Policy, gerakan itu justru tak banyak melibatkan ahli pertanian dan agronomi. Tapi didominasi birokrat, serta pelaku usaha pertanian.
Pekerja mengangkut biji-bijian makanan dan barang-barang penting lainnya di Kolombo, Sri Lanka pada 12 Mei 2022. Foto: Ishara S. Kodikara/AFP
Demi mewujudkan obsesi politik soal pertanian organik, Sri Lanka meninggalkan drastis pola pertanian konvensional. Impor dan penggunaan pupuk kimia, serta pestisida misalnya, dihentikan sama sekali. Sebanyak 2 juta petani, didorong mengembangkan pertanian dengan pupuk alami. Termasuk di perkebunan teh dan karet, yang selama ini jadi andalan ekspor Sri Lanka.
ADVERTISEMENT
Padahal selama puluhan tahun, tingginya produksi pangan Sri Lanka ditopang pertanian konvensional. Subsidi negara terhadap pupuk impor dan pengembangan benih, juga sangat tinggi. Para ahli pertanian mengingatkan, di masa transisi awal dari pertanian konvensional ke organik, hasil panen akan turun drastis.
Terbukti! Dalam 6 bulan pertama penerapan pertanian organik, Sri Lanka kehilangan seperlima produksi beras nasionalnya. Harga pangan naik hingga 50 persen. Krisis pangan mengancam. Untuk pertama kali Sri Lanka terpaksa mengimpor beras senilai USD 450 juta.
Hal itu terjadi seiring pandemi COVID-19. Industri pariwisata yang menyumbang separuh devisa negara, porak-poranda. Kemampuan pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk mengimpor, makin menurun.
Pada awal 2022, Pemerintah menjanjikan kompensasi 40.000 juta rupee atau sekitar Rp 3 triliun bagi para petani yang mengalami gagal panen usai menjalankan pertanian organik. “Kami memberikan kompensasi kepada petani padi yang tanamannya rusak,” kata Menteri Pertanian Mahindananda Aluthgamage.
ADVERTISEMENT
Belum lagi janji itu terwujud, krisis Sri Lanka melebar ke berbagai aspek. Nilai tukar mata uang rupee makin menurun. Utang negara juga menggunung. Kini Sri Lanka di ambang bangkrut, dari semula bukan negara miskin yang mampu swasembada pangan.
=====
Ikuti program Master Class Batch 2, 3 hari pelatihan intensif untuk para pelaku UMKM, gratis! Daftar sekarang di LINK INI.