LIPSUS, AIRASIA, Hilangnya AirAsia, Cover Story

Tiket Raib AirAsia di Pusaran Dugaan Kartel

18 Maret 2019 9:12 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Lipsus kumparan: Teka-teki Tiket Raib AirAsia. Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipsus kumparan: Teka-teki Tiket Raib AirAsia. Foto: Herun Ricky/kumparan
Toko yang punya barang dagangan banyak itu senang. Kalau ada barang dagangan hilang, berarti ada yang nggak benar. Kalau tiket AirAsia hilang, something happens. Yang hilang itu setara puluhan miliar rupiah per hari. (Carlos, nama samaranrekanan agen travel)
Carlos jengkel karena agen travel online yang sehari-hari berhubungan dengan bisnisnya, terseret ke pusaran kekacauan industri penerbangan tanah air. Bermula seminggu sebelumnya, kala raibnya tiket AirAsia dari daftar penjualan agen online menjelma menjadi genderang perang.
“Kami, on behalf of AirAsia Group di enam negara—Indonesia, Filipina, Malaysia, India, Jepang, Thailand, mencabut seluruh penjualan tiket kami dari Traveloka. Kami melakukan ini didasari kekecewaan kami terhadap etika bisnis Traveloka. Seluruh penerbangan kami tidak dijual lagi di Traveloka,” kata CEO AirAsia Indonesia, Dendy Kurniawan, dalam konferensi pers di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (4/1).
Pernyataan keras itu dikeluarkan AirAsia setelah tiketnya dua kali hilang di Traveloka, yakni pada 14-17 Februari dan mulai lagi di 2 Maret 2019. AirAsia makin geram karena pertanyaan konsumen di media sosial dijawab Traveloka dengan saran untuk “menggunakan pilihan maskapai lain yang tersedia.”
“Ini tidak menunjukkan itikad baik dan mencederai hubungan bisnis antara AirAsia dan Traveloka,” ujar Dendy. Padahal, 10 persen penjualan tiket AirAsia di agen online berasal dari Traveloka.
“Kami colokin kabel ke Traveloka, tapi nggak dimunculin. Kalau tidak berkenan menjual AirAsia, buat apa sambungan kabel itu? Ya sudah, kami gunting saja. Kami tarik dari toko, nggak usah jualan di situ,” kata Direktur Niaga AirAsia Indonesia, Rifai Taberi, kepada kumparan.
Tiket AirAsia tak cuma raib di Traveloka, tapi agen travel online lain seperti Tiket.com, Pergi.com, dan Pegipegi—yang kini diakuisisi Traveloka. Agen-agen itu sampai saat ini bungkam soal menghilangkan tiket AirAsia di aplikasi mereka.
Satu-satunya respons dari PR Director Traveloka, Sufintri Rahayu, serupa jawaban startup unicorn itu di akun medsosnya kala ditanya konsumen, bahwa Traveloka tengah menempuh dialog dengan AirAsia untuk menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.
Masalahnya, ujar Carlos, tak sesederhana itu. “Ada tekanan dari Garuda dan Lion (ke agen travel online) mulai Februari. Travel agent dipanggil Rusdi Kirana. Di ruangan itu, ada juga Dirut Garuda Pak Ari.”
Travel agent mau jual semua (tiket), tak ingin ada soal menang atau kalah. Tapi ada tekanan dari petinggi (maskapai),” kata Carlos yang meminta nama aslinya tak diungkap ke publik.
Ucapan Carlos soal pertemuan antara Chairman Lion Air Rusdi Kirana, Dirut Garuda Ari Askhara, dan agen travel online, dibantah oleh Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan.
“Nggak ada (pertemuan itu). Saya nggak pernah dengar,” ujar Ikhsan kepada kumparan, Sabtu (16/3). Menurutnya, Ari dan Rusdi biasa bertemu hanya dalam rangka pertemuan tahunan Indonesia National Air Carrier Asosiation (INACA).
Annual meeting INACA membahas perkembangan industri penerbangan domestik. Semacam seminar terbuka yang mengundang pihak luar,” kata Ikhsan. Pertemuan tahunan INACA yang teranyar berlangsung Oktober 2018.
Sumber lain kumparan di penerbangan mendengar informasi soal pertemuan Rusdi dan Ari. Keduanya disebut membuat kesepakatan soal tarif tiket pesawat.
“Kalau harga sudah diatur, kalau keduanya (Lion dan Garuda) bergabung, maka 50 persen pasar (penerbangan domestik) dikuasai Lion dan 46 persen Garuda. So they can drive market. Artinya, bukan pasar bebas,” ujarnya.
Penguasa Langit Indonesia. Infografik: kumparan
Agus Pambagio, pemerhati kebijakan publik yang menulis buku Protes Publik Penerbangan Indonesia, secara terpisah menyatakan Rusdi dan Ari kerap bertemu karena Lion dan Garuda sama-sama anggota INACA.
“Sudah sering (bertemu) sejak Oktober. Kan Lion masuk INACA lagi setelah sempat keluar,” kata Agus saat berjumpa kumparan di Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (8/3).
Pertemuan tahunan INACA pada Oktober 2018 menjadi momen comeback Lion ke Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia itu, setelah ia hengkang selama lima tahun sejak 2013 karena kerap berbeda pandangan.
Kembalinya Lion saat itu disambut oleh Ari Askhara selaku Ketua Umum INACA—jabatan yang ia emban pada 27 September 2018, 15 hari setelah ditunjuk menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia.
“Lion Air Group kembali menjadi anggota INACA,” kata Ari mengumumkan pada pembukaan Rapat Umum Tahunan Anggota INACA di Hotel Borobudur Jakarta, 25 Oktober 2018. Pembukaan pertemuan itu juga dihadiri Rusdi Kirana, pendiri Lion Air cum Duta Besar RI untuk Malaysia.
Pesawat Garuda. Foto: Reuters/Darren Whiteside
Sekitar sebulan setelah pertemuan INACA, November menjelang libur Natal dan Tahun Baru, tarif tiket pesawat domestik melonjak hingga 40-120 persen—bermula dari langkah Garuda menaikkan harga tiket ke tarif batas atas untuk menyehatkan keuangan perusahaan, yang diikuti oleh maskapai lain.
“Dengan (harga tiket di) tarif batas atas saja, Garuda rugi,” ujar Ari, pertengahan Januari.
Ketua Penerbangan Berjadwal INACA, Bayu Sutanto, menyatakan asosiasinya bahkan meminta pemerintah menaikkan tarif batas bawah angkutan udara untuk menyesuaikan kondisi dengan peningkatan harga avtur—bahan bakar pesawat—dua tahun belakangan.
“Nggak ada laporan keuangan airline yang untung. Garuda saja dua tahun terakhir merah. Kami sebagai asosiasi maskapai harus menyelamatkan industri (penerbangan) ini. Disebut sehat kompetisinya, selain jika tidak terjadi oligopoli atau monopoli, juga kalau keuangannya sehat,” kata Bayu kepada kumparan di Cideng, Jakarta Pusat, Kamis (21/2).
Ucapan Bayu diamini Arista Atmadjati, pakar bisnis penerbangan Indonesia. “Kerugian paling banyak disumbang oleh belanja avtur yang hampir 45 persen dari total cost,” ujar Arista di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang.
Maka untuk meminimalisasi kerugian, tarif disesuaikan. “Garuda naik, rupanya Lion yang baru kena musibah juga pede naik, malah bagasinya jadi berbayar. Padahal kalkulasinya Lion Group akan menahan diri. Tapi di luar prediksi, dia berani naik. Jadi harga tiket mahal semua,” imbuh Arista.
Musibah Lion yang dimaksud Arista ialah jatuhnya PK-LQP JT 610 ke perairan Karawang pada 29 Oktober, empat hari berselang dari pertemuan tahunan INACA.
“Dirut Garuda bertemu Rusdi Kirana. Mereka sepakat harga diatur di level direksi, bukan (diserahkan ke) pasar. Berarti mereka membangun kartel—mengatur pasar dengan menentukan harga hingga level wilayah,” kata sumber kumparan di industri penerbangan yang meminta identitasnya ditutup.
Informasi itu disanggah Garuda, sementara Lion Air tak merespons sama sekali ketika berulang kali dihubungi.
“Garuda itu market leader meski market share-nya bukan yang paling besar. Apa yang dilakukan market leader biasanya diikuti follower. Ketika tarif Garuda disesuaikan (dinaikkan), yang lain akan melihat itu di sistem reservasi terbuka (dan mengikuti),” kata Ikhsan Rosan.
Aroma Kartel Harga Tiket Pesawat. Infografik: Basith Subastian/kumparan
Kesepakatan pengaturan harga, ujar Agus Pambagio, sejatinya ialah kartel. “Menurut saya, itu kartel. Entah menurut yang lain. Yang berhak menilai KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Tapi pendapat saya, itu kartel.”
KPPU kini sedang menyelidiki dugaan kartel tarif tiket pesawat domestik, dan memanggil maskapai-maskapai serta INACA untuk dimintai keterangan. Walau begitu, menurut Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih, “Penyelidikan belum menunjukkan progres.”
“Kami masih mengumpulkan dua alat bukti, dan tantangan kami untuk mendapatkan alat bukti itu salah satunya karena kami tak punya kewenangan layaknya penegak hukum lain yang bisa menyadap atau menahan,” ujar Guntur kepada kumparan, Kamis (14/3).
Mencari tiket pesawat. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Sementara maskapai merugi, tak demikian halnya dengan layanan daring pemesanan tiket pesawat yang biasa disebut agen travel online.
“Maskapai rugi, yang lain untung, termasuk Traveloka. Ia jadi faktor ekonomi yang lebih kuat dalam sharing economy. Traveloka mengatur harga tiket, lalu menguasai dan menyetir pasar. Maskapai nggak mau begitu. Dengan kartel, maskapai kembali mengatur. Konsumen silakan pergi ke maskapai mana saja, harga sama,” kata sumber kumparan.
Hal tersebut, menurut sumber lain kumparan di lingkaran agen travel, berkaitan dengan hilangnya tiket AirAsia di sejumlah agen travel online. Musababnya, AirAsia tetap menjual tiket dengan harga murah sementara maskapai lain menaikkan harga.
“Kalau agen travel disuruh pilih antara Lion atau AirAsia, nggak pusing. Tapi ketika Lion gabung sama Garuda, lalu agen disuruh pilih antara mereka atau AirAsia, ya pusing. Jika agen tetap menjual tiket AirAsia, dua grup besar itu akan menarik tiket mereka (dari agen),” ujar Carlos.
Padahal, Lion Group dan Garuda Group menyumbang penjualan tiket terbesar dari total omzet penerbangan di agen travel online sebanyak 80 persen, sedangkan AirAsia hanya lima persen. “Tapi lima persen itu cukup berpengaruh dan setara puluhan miliar rupiah per hari. Kami nggak ingin memihak salah satu,” imbuh Carlos.
Teka-teki Tiket AirAsia. Infografik: Basith Subastian/kumparan
AirAsia yang gusar karena tiketnya raib di agen travel online, kini mengoptimalkan website dan aplikasinya sebagai saluran penjualan utama. Maskapai yang bermarkas di Kuala Lumpur itu juga memperkuat aplikasi daringnya, dan mengincar sejumlah pegawai berpengalaman di agen online untuk direkrut.
Website AirAsia dua pekan belakangan, menurut Rifai Taberi, mengalami lonjakan traffic 50-60 persen. “Selama ini kami menggantungkan penjualan tiket ke web AirAsia.com. Impact (tiket AirAsia hilang di agen online) nggak akan sampai sebulan. Masyarakat sudah tahu, mencari tiket AirAsia paling gampang ke website.
Jika ditotal, penjualan tiket AirAsia di Indonesia sekitar 12 persen dari gabungan AirAsia Group. Untuk memperluas pasarnya di Indonesia, AirAsia bahkan pernah berniat mengakuisisi Citilink, low-cost carrier milik Garuda Group. Namun, Garuda menolak melepas saham Citilink.
“Nggak akan pernah ada akuisisi (Citilink oleh AirAsia),” tegas Dirut Garuda Ari Askhara.
Penolakan itu tak membuat AirAsia menurunkan target jangka panjangnya di Indonesia yang terus berkembang, seiring kegemaran generasi milenial jalan-jalan, plus potensi wisata di timur Indonesia yang pesat bertumbuh.
_________________
Simak selengkapnya Liputan Khusus kumparan: Teka-teki Tiket Raib AirAsia
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten