Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
![Replika Piala Liga Champions Eropa Foto: Nugroho Sejati/kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1520498006/spuauzun0ukf0tmmqb1k.jpg)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, pemain Asia memang tidak sebaik para pesepak bola dari Amerika Selatan, Eropa, Afrika, atau Amerika Utara. Namun, bukan berarti para pemain Asia sama sekali tak bisa bersaing di kompetisi sepak bola elite.
kumparanBOLA berhasil menemukan sepuluh nama pemain Asia yang berhasil memengaruhi lanskap persepakbolaan Eropa dan di sini akan kami ceritakan secara singkat kiprah mereka masing-masing.
Paulino Alcantara (Filipina)
Jauh sebelum Lionel Messi menyihir Camp Nou dengan gol-golnya, para suporter Barcelona sudah pernah dimanjakan oleh kiprah gemilang seorang pemuda Filipina bernama Paulino Alcantara.
Lahir pada 1896 dari ayah seorang Spanyol dan ibu Filipina, Alcantara berkiprah di Barcelona dari 1912 sampai 1927, dengan pengecualian musim 1918-19 manakala dirinya harus pulang kampung untuk menempuh studi kedokteran.
ADVERTISEMENT
Alcantara dikenal memiliki sepakan luar biasa keras sampai-sampai dia dijuluki El Rompe Redes alias 'Si Perobek Jala'. Selama 15 tahun, Alcantara bermain 395 kali dan mencetak 143 gol! Tujuh belas trofi pun dia persembahkan untuk Barcelona dalam kurun waktu itu.
Setelah pensiun pada 1927, Alcantara menekuni profesi sebagai dokter. Akan tetapi, dia tak pernah benar-benar meninggalkan sepak bola. Buktinya, pada 1931-1934 dia sempat juga menjabat sebagai direktur di Blaugrana. Tahun 1964, Alcantara meninggal dunia.
Yasuhiko Okudera (Jepang)
Bukan Hidetoshi Nakata, bukan pula Kazuyoshi Miura, melainkan Yasuhiko Okudera yang menjadi pelopor kedatangan pesepak bola Jepang ke Eropa. Menariknya, Okudera tiba ke Benua Biru tatkala di negeri asalnya belum ada kompetisi sepak bola profesional.
ADVERTISEMENT
Okudera bergabung dengan FC Koeln pada usia 25 tahun setelah menghabiskan tujuh musim bersama Furukawa Electric yang sekarang berganti nama menjadi JEF United Chiba. Hebatnya, dia langsung menjadi pemain inti.
Rekor penting yang diciptakan Okudera, selain menjadi pemain Jepang pertama di Eropa, adalah ketika dia melesakkan gol di semifinal European Cup 1978/79 melawan Nottingham Forest. Itu membuatnya jadi pesepak bola Asia pertama yang bisa mencetak gol di European Cup/Liga Champions.
Ada tiga klub Jerman Barat yang dibela Okudera yaitu Koeln, Hertha Berlin, dan Werder Bremen. Pada 1986 dia mudik ke Furukawa Electric dan pensiun dua musim kemudian. Saat ini, Okudera menjabat sebagai Presiden Yokohama FC yang berlaga di J2 League.
ADVERTISEMENT
Cha Bum-kun (Korea Selatan)
Yasuhiko Okudera berlabuh di Koeln pada 1977 dan setahun berselang Cha Bum-kun tiba di Jerman Barat juga untuk memperkuat Darmstadt. Meski awalnya tidak terlalu menterang, Cha pada akhirnya lebih sukses dari Okudera.
Cha sendiri hanya sebulan bermain untuk Darmstadt karena sejatinya masih terikat wajib militer. Itulah mengapa, setelah menjalani satu laga, dia harus kembali ke Korea Selatan untuk meneruskan kewajibannya dan bermain untuk ROK Air Force (sekarang Sangju Sangmu FC).
Pada 1979, setelah wajib militernya usai, Cha kembali ke Jerman dan kali ini dia bermain untuk Eintracht Frankfurt yang sebelumnya memang sudah berminat kepadanya. Di musim perdananya, Cha langsung mempersembahkan trofi Piala UEFA.
ADVERTISEMENT
Cha berkarier sebagai pemain sampai 1989 dan pensiun bersama Bayer Leverkusen. Sebelum gantung sepatu, gelar Piala UEFA 1987/88 berhasil dia berikan untuk klub milik perusahaan obat Bayer tersebut.
Ali Daei (Iran)
Pada medio 1990-an, ada tiga pesepak bola Iran yang menjajal peruntungannya di Bundesliga yaitu Karim Bagheri dan Ali Daei (Arminia Bielefeld) serta Khodadad Azizi (FC Koeln). Di antara tiga nama itu, Daei jadi yang bertahan paling lama.
Bagheri, Daei, dan Azizi sama-sama memasuki Bundesliga pada musim 1997/98. Jika Bagheri dan Azizi sama-sama hengkang pada 2000, Daei bertahan sampai 2002. Padahal, dia adalah yang paling tua di antara tiga nama tadi.
Sebagai pemain depan, Daei sebenarnya tidak terlampau tajam di Bundesliga. Bersama Arminia, Bayern Muenchen, dan Hertha Berlin, pria bertinggi 192 cm itu hanya mampu mencetak 19 gol dalam lima musim. Akan tetapi, kiprah Daei itu sudah cukup untuk meretas jalan bagi pemain-pemain lainnya.
ADVERTISEMENT
Daei pensiun sebagai pemain pada 2007 bersama SAIPA di Liga Iran. Dua tahun kemudian dia memulai bisnis apparel olahraga yang diberinya nama Daei Sports. Saat ini, semua klub peserta Liga Iran mengenakan apparel milik Daei tersebut.
Hidetoshi Nakata (Jepang)
Hidetoshi Nakata memang bukan yang pertama. Akan tetapi, tak salah menyebutnya sebagai pesepak bola Asia dengan pengaruh terbesar di Eropa. Berkat Nakata, pemain-pemain Asia jadi betul-betul dihormati karena dia bisa bersinar di liga terbaik dunia kala itu, Serie A.
Nakata datang ke Serie A pada 1998 untuk bergabung dengan Perugia dan pada laga debutnya langsung mencetak dua gol ke gawang juara bertahan Juventus. Pada 2001, Nakata yang dibeli pada pertengahan musim sukses mengantarkan Roma meraih Scudetto.
ADVERTISEMENT
Selain karena aksinya di lapangan, nama Nakata juga menjadi besar karena kepandaiannya membangun citra. Dia datang dengan rambut berwarna merah mencolok yang membuatnya lain dari yang lain. Dalam perkembangannya, dia juga memopulerkan penggunaan internet untuk menyampaikan berita.
Sayang, karier Nakata di sepak bola berakhir prematur pada usia 29 tahun. Usai Piala Dunia 2006 dia memutuskan gantung sepatu karena merasa tak lagi mencintai 'Si Kulit Bulat'. Saat ini, Nakata menggeluti dunia fesyen dan kuliner.
Mehdi Mahdavikia (Iran)
Ali Daei, Karim Bagheri, dan Khodadad Azizi boleh jadi pelopor tetapi pemain Iran tersukses di Bundesliga adalah Mehdi Mahdavikia. Jika tak percaya dengan klaim ini, tanyakan sendiri pada para suporter Hamburger yang diperkuatnya selama delapan musim itu.
ADVERTISEMENT
Mahdavikia datang ke Bundesliga saat masih berusia 22 tahun. Sebagai pemain sayap, dia serbabisa. Mau dimainkan sebagai winger oke, sebagai wing-back pun bisa. Stamina, kecepatan, dan akurasi umpan silang adalah senjata utama Mahdavikia.
Selama di Hamburger, Mahdavikia mempersembahkan satu gelar DFB-Pokal dan satu Piala Intertoto. Setelah dianugerahi pemain terbaik klub pada musim 2002/03 dan 2003/04, Mahdavikia pun masuk dalam daftar sebelas pemain terbaik Hamburger abad ke-20.
Saat ini, Mahdavikia tinggal di Iran dengan menjalankan akademi sepak bola miliknya, KIA. Oleh majalah Jerman, 11 Freunde, akademi ini disebut sebagai yang terbaik di Iran. Mahdavikia mengaplikasikan metode pelatihan Hoffenheim di akademinya tersebut.
Park Ji-sung (Korea Selatan)
Tak ada pesepak bola Asia yang lebih sukses daripada Park Ji-sung. Bayangkan, selama sembilan tahun berkarier di Eropa, Park sukses meraih 17 gelar bersama PSV Eindhoven dan Manchester United. Salah satu gelar itu adalah Liga Champions yang diraihnya pada musim 2007/08.
ADVERTISEMENT
Park sendiri datang ke PSV pada 2003 bersama Lee Young-pyo. Di klub Belanda tersebut, mereka diasuh Guus Hiddink. Pada musim 2004/05 mereka sukses membawa PSV ke semifinal Liga Champions sebelum disisihkan AC Milan. Tak lama kemudian, Park ditarik Sir Alex Ferguson ke Manchester United.
Di United, Park mencapai puncak karier. Sebagai pemain tengah, dia serbabisa, punya stamina luar biasa, dan amat cerdas secara taktis. Salah satu bukti kecerdasan taktis itu adalah keberhasilannya menjadi suffaco tatkala berhadapan dengan Andrea Pirlo.
Park amat dicintai oleh para pendukung 'Iblis Merah' dan mendapat julukan Three-Lunged Park. Kehebatannya acapkali muncul dalam laga-laga besar sehingga pada 2008/09 dia menjadi pemain Asia pertama yang tampil di Liga Champions. Sayang, United kalah 0-2 dari Barcelona pada laga tersebut.
ADVERTISEMENT
Shunsuke Nakamura (Jepang)
Soal prestasi, Shunsuke Nakamura memang tidak terlalu menterang. Namun, pemain kidal ini akan senantiasa dikenang publik sebagai salah satu eksekutor bola mati terbaik sepanjang sejarah.
Nakamura mengawali kiprahnya di Eropa bersama klub Serie A, Reggina, pada 2002. Namun, puncak kariernya berlangsung saat dirinya membela Celtic mulai 2005. Bersama Celtic, Nakamura mencetak salah satu gol Liga Champions paling masyhur, yakni lewat tendangan bebas ke gawang Manchester United pada 2006.
Nakamura sendiri memperkuat Celtic selama empat musim dan tampil dalam 166 pertandingan. Dalam kurun waktu tersebut, pemain yang identik dengan nomor punggung 25 itu sanggup mempersembahkan enam trofi domestik.
Pada 2010, Nakamura mudik ke Jepang setelah satu musim membela Espanyol di La Liga. Sembilan tahun kemudian, dia gantung sepatu bersama Yokohama FC.
ADVERTISEMENT
Keisuke Honda (Jepang)
Sama seperti Shunsuke Nakamura, Keisuke Honda juga merupakan pemain kidal yang piawai dalam eksekusi bola mati. Bedanya, Honda punya kemampuan lebih komplet ketimbang kompatriotnya tersebut.
Pada dasarnya, Honda bisa melakukan segalanya di lapangan tengah. Dengan fisik yang kuat dan mobilitas tinggi, Honda bisa mengumpan, mencetak gol, bahkan bertahan di kedalaman jika diperlukan.
Mengawali karier di Belanda bersama VVV-Venlo, Honda mencapai puncak karier bersama CSKA Moskva yang diperkuatnya dari 2010-2013. Empat trofi berhasil didapatkannya di klub milik militer Rusia tersebut dan itu membuat dirinya direkrut oleh Milan pada 2014.
Sayangnya, Honda datang ke Milan yang yang tengah mengalami penurunan sehingga cuma bisa meraih satu gelar di sana. Pilihan karier Honda ini membuatnya sedikit kalah pamor dari Shinji Kagawa yang begitu bersinar di Borussia Dortmund.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Honda tetap lebih hebat ketimbang Kagawa dan ini bisa dibuktikan dengan keberhasilannya menjadi pemain Asia dengan jumlah gol terbanyak di Piala Dunia. Selain itu, Honda juga jadi pemain pertama yang mampu mencetak gol di 5 konfederasi berbeda.
Bahkan, gol untuk Botafogo awal Maret lalu dicetak Honda sebagai pemain merangkap pelatih. Ya, sejak 2018 lalu Honda sudah menjabat sebagai pelatih Timnas Kamboja. Tak heran kalau dia dijuluki 'Sang Kaisar'.
Son Heung-min (Korea Selatan)
Untuk saat ini, tidak ada pemain Asia yang lebih hebat dan lebih termasyhur dibandingkan Son Heung-min. Kiprahnya di Premier League dan Liga Champions bersama Tottenham Hotspur adalah alasan di balik popularitas Son tersebut.
ADVERTISEMENT
Son memulai karier sepak bolanya bersama Hamburger SV setelah menghabiskan dua tahun di akademi klub Jerman tersebut. Tak lama kemudian, dia hijrah ke Bayer Leverkusen sebelum akhirnya direkrut Tottenham pada 2015.
Mulanya, Son hanyalah seorang winger yang memiliki kecepatan dan kemampuan olah bola bagus. Kini, dia telah menjelma jadi pemain depan komplet yang bisa melakukan segalanya. Menjadi wajar jika cedera panjang yang dialaminya saat ini membuat Tottenham kelimpungan.
Musim lalu, Son menjadi pemain Asia kedua yang tampil di final Liga Champions. Akan tetapi, dia belum bisa mengangkat 'Si Kuping Besar' karena Tottenham menyerah di tangan Liverpool.
Honorable Mentions:
China: Jia Xiuquan, Liu Haiguang, Li Tie, Wu Lei
ADVERTISEMENT
Korea Selatan: Lee Young-pyo, Cha Du-ri, Seol Ki-hyeon, Ki Sung-yueng
Jepang: Kazuyoshi Miura, Shinji Ono, Junichi Inamoto, Makoto Hasebe, Eiji Kawashima, Takayuki Morimoto, Shinji Kagawa, Takefusa Kubo
Iran: Vahid Hashemian, Sardar Azmoun
Oman: Ali Al-Habsi
Filipina: Neil Etheridge
***
Saksikan video menarik di bawah ini.
ADVERTISEMENT