Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Analisis Timnas Indonesia vs Filipina: 'Lost in Transition'
26 November 2018 14:33 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Gagal maning, gagal maning. Sebelum pertandingan melawan Filipina dihelat Minggu (25/11/2018) malam di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Timnas Indonesia sudah dipastikan gagal lolos ke semifinal Piala AFF 2018. Padahal, target yang dicanangkan PSSI untuk anak-anak asuh Bima Sakti Tukiman itu adalah juara.
ADVERTISEMENT
Lalu, sebelum pertandingan kontra Filipina itu dihelat, satu target lain diberikan Bima untuk para pemainnya. Walaupun Indonesia sudah tersisih, Bima tetap ingin pasukannya menang di laga pemungkas. Namun nyatanya, hanya hasil imbang yang didapat.
Laga melawan Filipina berakhir dengan hasil imbang 0-0. Selama sembilan puluh menit, peluang yang diciptakan kedua tim sangat minim. Total, hanya ada enam tembakan yang mengarah ke egawang lawan, di mana Filipina bertanggung jawab atas lima di antaranya.
Pada pertandingan itu Indonesia unggul dalam persentase penguasaan bola. Dengan torehan 374 umpannya, 'Garuda' mencatatkan 54% penguasaan bola. Bandingkan dengan Filipina yang 'hanya' melepas 319 umpan di antara mereka.
Akan tetapi, catatan statistik ini tidak bisa menggambarkan bagaimana pertandingan sebenarnya berjalan. Di sini, kumparanBOLA yang hadir di stadion akan menjabarkan kepada Anda, para pembaca, bagaimana bisa pertandingan itu berakhir imbang tanpa gol.
ADVERTISEMENT
***
Indonesia turun dengan pakem dasar 4-2-3-1. Sepuluh pemain yang diturunkan Bima pada laga melawan Filipina ini adalah mereka yang bermain saat Indonesa ditekuk Singapura pada laga perdana. Perbedaannya hanya satu. Di belakang, Fachruddin Aryanto-lah yang jadi pendamping kapten Hansamu Yama Pranata, bukan Ricky Fajrin.
Filipina, sementara itu, bermain dengan formasi 4-3-3. Meski demikian, formasi khas Belanda ini tidak digunakan Sven-Goeran Eriksson untuk memainkan sepak bola berbasis possession. Alih-alih demikian, Eriksson mereplikasi apa yang selama ini dilakukan oleh Max Allegri di Juventus. Lewat formasi ofensif itu Filipina memainkan sepak bola defensif.
Perlu dicatat bahwa defensif di sini bukan berarti menumpuk personel di lini belakang. Filipina bertahan, tetapi tidak memarkir bus. Mereka bertahan dengan melakukan pressing ketat yang mulai dieksekusi ketika pemain-pemain Indonesia sudah mendekati garis tengah lapangan.
ADVERTISEMENT
Itulah yang membuat Timnas Indonesia unggul dalam penguasaan bola. Sepanjang laga, Indonesia kerap melepas umpan-umpan pendek. Akan tetapi, aktivitas demikian umumnya hanya melibatkan kuartet bek serta dua pivot, Evan Dimas Darmono dan Zulfiandi. Selepas itu, mereka kudu menghadapi pressing Filipina yang membuat Stefano Lilipaly sebagai pemain nomor sepuluh terisolir sepanjang laga.
Sulitnya mengalirkan bola itu kemudian diakali oleh pemain Indonesia dengan dua hal. Pertama, aksi dribel individual. Kedua, umpan direct ke sisi sayap. Dua cara itu memang berbeda jauh dari segi eksekusi. Akan tetapi, aktornya selalu sama, yakni Riko Simanjuntak.
Pada pertandingan ini, pada dasarnya Riko bermain sebagai gelandang box-to-box, kendati dia beroperasi di sisi sayap. Tak jarang, winger Persija Jakarta itu kudu menjemput bola ke belakang untuk kemudian digiringnya sendiri sampai ke depan.
ADVERTISEMENT
Pergerakan liar Riko ini memang sempat membuat bingung pemain bertahan Filipina yang ada di sisi kiri. Bek kiri The Azkals kerapkali harus mengejar Riko sampai jauh ke depan. Jika ini terjadi, maka solusi yang dipakai para pemain Indonesia adalah melepas umpan direct. Di sini, Riko dibantu oleh Beto Goncalves yang beberapa kali bermain melebar ke arah kanan.
Dengan dua cara ini, Indonesia beberapa kali mendapatkan celah kosong untuk dieksploitasi dari sayap kanan. Akan tetapi, end product dari serangan ini acapkali tidak optimal. Ada beberapa umpan silang yang dilepaskan Riko, tetapi semuanya gagal menemui sasaran. Kedisiplinan bek tengah dan bek kanan Filipina membuat bola dengan mudah dihalau.
Pada babak pertama, praktis hanya cara inilah yang dipakai Timnas Indonesia . Sementara itu, Filipina sendiri mengandalkan pressing di lini tengah mereka untuk melancarkan serangan balik. Akan tetapi, produk akhir mereka juga tak ada yang membuahkan hasil. Pasalnya, para pemain yang melakukan serangan lebih sering terjebak sendirian di tengah kepungan para pemain Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di babak kedua, permainan sedikit berubah menjadi lebih terbuka. Akan tetapi, ini tak berarti kualitas laga bertambah baik.
Usai rehat, Indonesia jadi lebih berani dalam melakukan aksi-aksi individual. Serangan pun tak lagi berpusat pada Riko yang pada babak kedua berpindah ke sektor kiri. Evan Dimas beberapa kali berani melakukan penetrasi. Di kanan, Andik Vermansah pun tak jarang melakukan akselerasi yang membuat barisan pertahanan Filipina kerepotan.
Pada prinsipnya, pada babak kedua itu yang terjadi adalah Indonesia melakukan mirroring terhadap strategi Filipina. Sedari awal, Eriksson memerintahkan para pemainnya untuk menyerang pada masa transisi, tanpa build-up. Pada babak kedua mereka masih melakukan itu dan Indonesia sendiri ikut-ikutan melakukannya.
Pertandingan pun berubah menjadi seperti pertandingan video game FIFA yang dilakukan oleh dua orang amatiran. Satu tim menyerang dengan cepat, tim yang lain mematahkannya dan melakukan serangan balik. Begitu terus tanpa henti. Situasi demikianlah yang akhirnya mewarnai pertandingan babak kedua. Indonesia dan Filipina terjebak dalam loop transisi yang tak kunjung rampung.
ADVERTISEMENT
Dari sana, peluang yang diciptakan kedua tim pun tidak ada yang benar-benar matang. Filipina sempat mendapat tiga peluang emas di babak ini, tetapi itu semua mereka dapatkan melalui aksi-aksi berbau spekulasi seperti tembakan dari luar kotak penalti. Dengan kata lain, pertandingan antara Indonesia dan Filipina ini memang layak untuk berakhir imbang tanpa gol.
Pada pertandingan tersebut, Riko dinobatkan sebagai man of the match dan rasanya memang tak ada pemain lain yang layak mendapatkan gelar tersebut selain dirinya. Sebagai pemain sayap, Riko melakukan segala yang bisa dia lakukan kecuali melayani striker dengan umpan matang. Sementara, pemain lainnya tidak berhasil keluar dari situasi yang ada.
Seusai pertandingan, Bima mengatakan bahwa kegagalan Timnas Indonesia menang di laga melawan Filipina ini adalah buruknya koordinasi dan lambatnya transisi dari bertahan ke menyerang. Bima benar. Konsep permainan sebenarnya sudah dipahami oleh para pemain tim Merah-Putih. Namun, eksekusinya memang kurang optimal karena ketika menyerang, pemain yang membawa bola lebih sering dibiarkan sendirian tanpa sokongan.
ADVERTISEMENT
***
Gagal maning, gagal maning. Dalam konferensi pers pascalaga, Bima menyoroti setidaknya dua hal yang menurutnya menjadi masalah utama Timnas Indonesia. Pertama, pengembangan pemain muda. Kedua, persiapan Timnas secara keseluruhan. Untuk hal kedua, Bima berpesan agar PSSI mulai mempersiapkan Piala AFF 2020 mulai sekarang.
Piala AFF 2018 ini memang situasinya serba sulit bagi Bima. Dia ditunjuk kurang dari sebulan sebelum turnamen digelar. Bima tidak memiliki waktu untuk mematangkan strategi bersama para pemain senior yang berkompetisi di Liga 1. Itulah mengapa, pemain-pemain U-23 yang sebelumnya sudah mendapat ilmu dari Milla jadi pilihan utama.
Namun, Bima sendiri juga mengakui bahwa melatih timnas senior memang berada di luar kemampuanya. Sosok asal Balikpapan itu bahkan berujar bahwa dia seperti pelajar SMP yang diuji di universitas. Artinya, kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 ini adalah kegagalan kolektif, mulai dari federasi, pemain, pelatih, sampai wartawan yang ternyata selama ini masih kurang baik di mata sang Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi.
ADVERTISEMENT