Dua Rupa Neil Etheridge

13 Agustus 2018 14:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Neil Etheridge kala masih berlaga di Championship bersama Cardiff City. (Foto: Getty Images/Naomi Baker)
zoom-in-whitePerbesar
Neil Etheridge kala masih berlaga di Championship bersama Cardiff City. (Foto: Getty Images/Naomi Baker)
ADVERTISEMENT
Di hari-hari biasa, Bournemouth adalah kota yang membosankan. Kendati terletak di pelataran laut, tak pernah ada keramaian berarti yang mampir ke kota itu. Kota ini adalah tempat yang sempurna bagi para pencari kedamaian, bagi orang-orang yang sudah muak dengan tensi tinggi kota industri, bagi manusia-manusia yang lelah dikejar laju zaman.
ADVERTISEMENT
Namun, sepandai-pandainya Bournemouth bersembunyi, sejarah akan menemukannya juga. Sabtu, 11 Agustus 2018, Bournemouth kedatangan tamu penting. Tamu yang hanya bisa datang ke kota itu berkat sebuah produk peradaban yang dulu tak pernah benar-benar punya tempat di sana.
Bournemouth, mau tidak mau, harus berterima kasih pada sepak bola. Pada 2015 lalu, AFC Bournemouth yang sudah berdiri sejak 1899 itu berhasil merangkak naik ke Premier League, liga sepak bola yang disebut-sebut sebagai yang terbaik di dunia. Sejak itulah sepak bola mendadak jadi sesuatu yang penting di Bournemouth dan sampai kini pun The Cherries masih sanggup bertahan di kompetisi level teratas Inggris tersebut.
Sabtu, 11 Agustus 2018, itu AFC Bournemouth mengawali musim keempatnya di Premier League dengan menjamu tim promosi Cardiff City. Bertempat di Dean Court yang dijejali 11 ribu manusia, anak-anak asuh Eddie Howe berhasil menundukkan Cardiff yang dibesut manajer kawakan Neil Warnock. Tak banyak gol yang mereka ciptakan; hanya dua. Namun, itu sudah cukup untuk memberi AFC Bournemouth tiga poin yang bisa jadi sangat berarti di masa-masa sulit nanti.
ADVERTISEMENT
AFC Bournemouth sebetulnya memiliki kesempatan untuk membuat catatan golnya menjadi tiga. Namun, apa daya. Si tamu spesial yang datang ke Dean Court itu bermain gemilang. Sepakan penalti Callum Wilson -- yang akhirnya mencetak gol kedua AFC Bournemouth -- berhasil dia gagalkan. Kendati timnya pulang dengan kekalahan, si tamu tidak pulang dengan tangan hampa.
Alih-alih demikian, tamu tersebut pulang dengan catatan sejarah. Penjaga gawang Cardiff itu menjadi pesepak bola Asia Tenggara pertama yang tampil di Premier League. Selain itu, dia juga berhasil menjadi kiper pertama Cardiff yang menyelematkan penalti di Premier League sejak Allan McGregor pada 2013.
Tamu spesial itu adalah Neil Etheridge.
***
"Aku telah menjual rumah dan mobilku. Seminggu setelah itu seharusnya aku sudah kembali ke Filipina," tutur Etheridge dalam sebuah konferensi pers usai membawa Cardiff promosi ke Premier League.
ADVERTISEMENT
Tahunnya adalah 2014 ketika Etheridge menyentuh titik nadir dalam hidupnya. Usianya sudah tidak cukup muda untuk disebut sebagai pemain muda di sepak bola. Namun, di usia 24 itu Etheridge belum juga mampu menemukan kemapanan. Lima bulan sebelum memutuskan kembali ke Filipina itu, Etheridge dilepas oleh klub yang membesarkannya, Fulham, dan dalam lima bulan itu pula dia tak punya pekerjaan apa-apa.
Padahal, pada titik itu Etheridge sudah menjadi langganan Timnas Filipina. Sejak melakoni debut internasional menghadapi Brunei Darussalam pada sebuah laga kualifikasi AFC Challenge Cup di tahun 2008, Etheridge tak tergantikan di bawah mistar Azkals. Pada 2010, Etheridge bahkan berhasil membawa Filipina menjejak babak semifinal Piala AFF sebelum disingkirkan Indonesia yang lolos berkat gol tunggal Cristian Gonzales.
ADVERTISEMENT
Namun, di Inggris sana, Etheridge belum jadi siapa-siapa. Fulham pun melepas dirinya bukan tanpa alasan. Tiga tahun sebelum dilepas, kiper kelahiran 7 Februari 1990 itu melakoni debut untuk The Cottagers pada sebuah pertandingan Liga Europa. Akan tetapi, debut itu pada akhirnya jadi satu-satunya pertandingan yang dilakoni Etheridge secara resmi dengan kostum Fulham.
Etheridge menyelamatkan penalti pada laga debutnya bersama Cardff di Premier League. (Foto: Reuter/Matthew Childs)
zoom-in-whitePerbesar
Etheridge menyelamatkan penalti pada laga debutnya bersama Cardff di Premier League. (Foto: Reuter/Matthew Childs)
Penyebabnya, Etheridge yang kala itu baru berumur 21 tahun melakukan blunder fatal yang mengubur langkah Fulham melaju ke fase gugur. Berhadapan dengan wakil Denmark, Odense BK, minimnya pengalaman Etheridge membuat dirinya melakukan salah perhitungan yang berujung pada gol pertama Odense. Laga itu sendiri berakhir imbang 2-2, tetapi hasil tersebut tak cukup untuk mengantarkan Fulham melaju ke babak berikut.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, Etheridge tak pernah lagi dipercaya mengawal gawang Fulham. Bahkan, dia kemudian terus-menerus dipinjamkan ke klub lain. Dari Charlton Athletic menuju Bristol Rovers sampai akhirnya berakhir di Crewe Alexandra. Sepulang dari Crewe itulah Etheridge mendapati kontraknya tak diperpanjang oleh manajemen Fulham dan akhirnya titik nadir itu pun datang.
Fulham, bagi Etheridge, sebetulnya merupakan rumah yang cukup nyaman. Terhitung, sampai dilepas pada 2014 itu dia telah menghabiskan delapan tahun di klub London Barat tersebut. Di Fulham, Etheridge mematangkan diri sebagai seorang penjaga gawang.
Kendati begitu, bukan Fulham yang membuat Etheridge jadi seorang penjaga gawang. Tiga tahun sebelum itu, saat masih menjadi bagian dari akademi Chelsea, Etheridge masih bermain sebagai seorang penyerang. Di akademi The Blues, Etheridge menghabiskan waktu bersama dua Filipino lain, Phil dan James Younghusband, yang kelak jadi rekan setimnya di Timnas Filipina.
ADVERTISEMENT
Oleh seorang pelatih akademi, Etheridge disarankan untuk beralih posisi menjadi penjaga gawang. Tak disangka-sangka, Etheridge mau saja menerima posisi itu. Alasannya sederhana. Kepada Philippine Daily Inquirer pada 2008 lalu, Etheridge berkata, "Orang-orang harus paham bahwa tanpa kiper, sebuah tim tak bisa bermain."
"Kiper melakukan banyak hal yang tak dilihat orang. Mereka berbicara pada para pemain belakang. Dan tentu saja, selain membuat penyelamatan, kami juga harus bermain sepak bola. Para bek bekerja dengan kiper, saling memberi umpan dan memulai serangan. Jadi, kuharap orang akan memperhatikan itu ketika diriku bermain," lanjutnya.
Sayangnya, menjadi penjaga gawang pada akhirnya tak semudah yang dibayangkan Etheridge. Selain harus berhadapan dengan trauma pada pertandingan melawan Odense itu, dia juga harus berusaha berkali-kali lipat lebih keras hanya untuk sekadar bisa bermain. Sebab, dalam sebuah tim memang hanya bisa ada satu penjaga gawang yang turun berlaga.
ADVERTISEMENT
Pada 2014 itu, Etheridge hampir kehabisan opsi. Sampai akhirnya, beberapa hari sebelum pesawatnya ke Filipina terbang, dia mendapat telepon dari manajemen Oldham Athletic yang menawarinya jadi kiper cadangan. Tanpa pikir panjang, Etheridge menerima tawaran tersebut. Baginya, yang terpenting adalah melanjutkan karier, entah bagaimana caranya.
Selama di Oldham, Etheridge tidak memiliki rumah. Dia pun harus tidur di sofa milik kawannya dalam kurun waktu tersebut. Beruntung, dari situlah nasib mulai berbaik hati padanya. Di pertengahan musim 2014/15, saat secara resmi masih menjadi pemain Oldham, Etheridge mendapat panggilan dari Charlton. Kedekatan dengan pelatih kiper The Addicks membuat Etheridge bersedia menerima tawaran tersebut.
Setelah setengah musim di The Valley, Etheridge menemukan rumah baru di Bescot Stadium. Walsall, sebuah klub League One, memberinya kontrak selama dua musim sebagai kiper utama. Kesempatan itu akhirnya tak disia-siakan Etheridge. Selama dua musim, dia tampil sebanyak 93 kali dan itulah yang akhirnya membawa dirinya ke Cardiff.
ADVERTISEMENT
Bersama Cardiff, keraguan mengiringi langkah Etheridge. Pasalnya, klub asal Wales itu punya misi besar untuk kembali ke Premier League. Sementara, Etheridge biar bagaimanapun merupakan kiper yang masih hijau dari segi pengalaman. Namun, Warnock memang punya ketertarikan khusus pada Etheridge. Kemampuan olah bola Etheridge itu yang membuat dirinya jadi pilihan utama Warnock.
Sisanya adalah sejarah. Etheridge sanggup mencatatkan 19 kali nirbobol pada musim pertamanya bersama Cardiff dan sukses membawa klub itu kembali ke Premier League. Sampai akhirnya, laga pertama Premier League pun dilakoni Etheridge dengan sebuah penyelamatan penalti.
***
Etheridge boleh dikatakan beruntung. Selain karena kerja keras dan semangat besarnya, kiper berpostur 188 cm ini juga dinaungi keberuntungan yang tidak dimiliki sebagian besar pemain Asia Tenggara. Dia lahir dan besar di Enfield, sebuah kawasan di London, dari ayah berkebangsaan Inggris dan ibu Filipino.
ADVERTISEMENT
Berkat ibunya, Etheridge bisa bermain untuk Timnas Filipina. Sampai saat ini, dia sudah membela Filipina sebanyak 59 kali dan dia juga sukses mengantarkan negara kepulauan itu lolos ke putaran final Piala Asia untuk kali pertama. Tak cuma itu, saat ini Filipina juga menjadi tim Asia Tenggara dengan rangking FIFA tertinggi kedua (115), setelah Vietnam (102).
Lalu, berkat ayahnyalah Etheridge bisa bermain di Premier League. Sebab, dengan aturan izin kerja yang ketat, di mana seorang pemain hanya bisa bermain di sana jika berasal dari negara dengan peringkat FIFA 75 ke atas, paspor Inggris dari pihak ayah juga jadi privilese tersendiri baginya.
Namun, keturunan darah sang ayah itu sendiri tidaklah cukup. Sebab, kebijakan Filipina yang membolehkan warga negaranya punya dua kewarganegaraan juga sangat membantu Etheridge. Hal inilah yang tidak dimiliki pemain-pemain Indonesia, misalnya. Sehebat-hebatnya Egy Maulana Vikri, dengan aturan yang tidak membolehkan dwi-kewarganegaraan dari pemerintah Indonesia, bisa jadi dia tidak akan pernah bisa berlaga di Premier League.
ADVERTISEMENT
Dari kasus Etheridge itu, bisa ditarik sebuah hipotesis bahwa dwi-kewarganegaraan sama sekali bukan hal buruk. Justru, hal itu membuat seseorang bisa mendapat kesempatan lebih luas dalam mengembangkan potensinya. Akan tetapi, inferioritas bangsa Indonesia -- yang melihat dwi kewarganegaraan sebagai bentuk pengkhianatan -- justru jadi penghambat tersendiri.
Namun, perlu diingat bahwa ini adalah kisah Etheridge dan akan lebih baik jika narasi soal kesetiaan terhadap bangsa dan negara ini dikesampingkan terlebih dahulu. Toh, dengan paspor Inggrisnya itu Etheridge tetap mampu memberikan yang terbaik untuk Filipina.
Lagipula, Ini adalah kisah soal perjuangan seorang pemuda yang tak meringkuk meski nasib mencecarnya sedemikian rupa. Ini adalah kisah soal seorang pencatat sejarah yang sebaiknya dirayakan, alih-alih dipermasalahkan.
ADVERTISEMENT