Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Bila kebanyakan pesepak bola menganggap pertandingan sebagai permainan tim, maka Vincenzo Montella menjadikannya sebagai landasan pacu untuk menerbangkan pesawatnya sendirian.
ADVERTISEMENT
Menyederhanakan Poacher
Sepak bola pernah mengenal istilah poacher. Itu merujuk kepada arketipe (kualitas individu) seorang penyerang.
Bila merujuk pada etimologinya, poacher berarti pemburu. Seorang pemburu biasanya akan melakukan berbagai cara untuk menangkap binatang-binatang liar yang jadi buruannya. Bedanya dengan hunter, istilah poacher sering berkonotasi negatif. Ia ditujukan untuk mereka yang melakukan perburuan secara ilegal.
Biasanya, seorang poacher berburu dengan mengandalkan bakat alami. Mereka tidak dipusingkan dengan remeh-temeh macam izin dan spesifikasi senjata berburu. Yang terpenting bagi seorang poacher: membunuh buruannya.
Seperti dalam arti sebenarnya, poacher dalam sepak bola juga sering bermakna negatif. Ia tampil sebagai pemain yang oportunis, egois, dan selalu minta dilayani.
Seorang poacher biasanya punya gerakan terbatas. Ruang baginya sebatas kotak penalti. Sebagai pemain, poacher bukan pemain komplet dan serba bisa. Jangan harap melihatnya menggiring bola dengan andal demi membangun serangan. Jangan cari masalah pula dengan menginstruksikannya sebagai pengirim umpan.
ADVERTISEMENT
Seorang poacher menjadi istimewa karena satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mencetak gol. Ia menjadi mematikan ketika sudah mendapat umpan.
Untuk mempermudah membedakan mana poacher dan mana pemain pencetak gol lain, bayangkan sejenak bagaimana permainan seorang Andrea Pirlo, Roberto Baggio, Zinedine Zidane, ataupun Francesco Totti. Mereka memang masih bisa mencetak gol. Namun, kalaupun mereka tidak bisa mencetak gol, mereka diberkahi kemampuan taktikal yang brilian. Merekalah pengatur permainan rekan-rekan setimnya. Jika Pirlo bergelar regista, maka ketiga nama terakhir adalah fantasista, nyawa dan pusat imajinasi permainan sebuah tim.
Serupa pemburu ilegal yang menjadi istimewa karena terdesak aturan dan kebutuhan, maka seorang poacher menjadi istimewa karena selain kemampuannya yang begitu terbatas, ruang yang tersedia untuknya pun sangat sempit. Ia seperti orang yang terdesak. Di atas lapangan, ia hanya punya dua pilihan: mencetak gol atau karier sepak bolanya tamat seketika.
ADVERTISEMENT
Dan di antara sejumlah poacher yang pernah muncul di Italia , ada nama Vincenzo Montella di sana.
Menyambut Montella di Roma
Dibandingkan mengenal Montella sebagai poacher, orang-orang lebih tertarik dengan selebrasi pesawat terbangnya. Tubuh Montella tergolong kecil, ini pula yang katanya menjadi salah satu faktor yang membikin Fabio Capello cenderung tak memfavoritkannya sebagai pemain utama.
Montella datang ke Roma menjelang gelaran kompetisi Serie A musim 1999/2000. Ia diboyong ke Roma setelah melakoni laga selama tiga musim bersama Sampdoria. Adalah Zdenek Zeman, pelatih AS Roma tahun 1997-1999 yang berhasil memaksa manajemen Roma untuk mendatangkan Montella.
Jika Tuhan bagi sepak bola Italia adalah catenaccio, maka Zeman adalah sosok yang berteriak-teriak tentang kematian Tuhan . Logika Zeman sangat sederhana: semakin banyak pemain yang berdiri di area pertahanan lawan, maka semakin banyak kemungkinan mencetak gol. Karena itulah, di atas kertas, Zeman bermain dengan formasi ofensif 4-3-3.
ADVERTISEMENT
Yang diinginkan Zeman, Roma tampil sebagai tim yang begitu ofensif. Kala itu, lini serang Roma sudah kepalang mewah dengan keberadaan Francesco Totti dan Marco Delvecchio. Namun, bagi Zeman itu belum cukup. Ia butuh penyerang egois di timnya. Penyerang yang tak peduli-peduli amat dengan permainan tim, penyerang yang bisa meneruskan umpan dan peluang menjadi gol. Untuk itulah Montella dibeli.
“Saya ingin menang, itulah satu-satunya hal yang saya pedulikan, sama seperti kalian (suporter). Dan dengan pengertian inilah, saya melakukan proses transfer dengan seorang pesepak bola luar biasa yang sekarang bermain untuk salah satu klub di Kota Genoa (waktu itu Montella bermain di Sampdoria). Untuk saat ini, hanya itu yang bisa saya katakan.”
ADVERTISEMENT
April 1999, Franco Sensi yang saat itu menjabat sebagai presiden Roma mengumumkan kedatangan Montella kepada publik. Sensi memang tak perlu menyebutkan nama, karena siapa pun yang mendengar omongannya itu langsung menebak kedatangan Montella ke Roma.
Yang menjadi jentaka, walau Zeman yang ngotot untuk mendatangkan Montella, justru Capello yang melatihnya di musim pertama. Bagi Montella, dilatih Capello adalah neraka.
Bila Zeman menggunakan 4-3-3 untuk Roma, maka Capello memilih 3-4-1-2. Untuk penyerang, Capello lebih memilih Delvecchio sebagai penyerang utama, sedangkan Montella hanya pengganti.
Inilah yang membikin Montella geram. Telusurilah dunia maya maka akan ditemukan cerita tentang jari tengah Montella yang diacungkan untuk Capello, tentang Montella yang menendang botol minuman karena tak terima dengan perlakuan Capello.
ADVERTISEMENT
Memahami Capello yang Memahami Montella
Montella adalah pemain berbahaya. Sebagai pelatih, Capello tahu benar akan hal itu. Buktinya, walau berstatus sebagai pemain pengganti, di musim perdanannya ia menjadi pencetak gol terbanyak 18 gol. Delvecchio yang menjadi pemain utama hanya berhasil mencetak 11 gol untuk Roma.
Namun, yang menjadi masalah bagi Capello adalah egosentrisme Montella. Di mata Capello, Montella adalah tipe pemain yang tidak bisa berbaur dan berbagi dengan tim. Seperti kebanyakan orang yang sadar akan kehebatannya, sebisa mungkin Montella mengubah lapangan bola menjadi panggungnya sendiri, bukan panggung AS Roma.
Atas dasar inilah, Montella kerap dimainkan bila Roma butuh gol cepat, atau sedang dalam keadaan tertinggal. Singkat kata, Montella ditempatkan sebagai pemain yang berfungsi untuk melepaskan Roma dari situasi darurat.
ADVERTISEMENT
Marahnya Montella kepada Capello dapat dipahami. Sebagai pemain yang kemampuan utamanya mencetak gol, tentu ia merasa terancam bila tidak dipasang sebagai pemain utama. Namun, agaknya ada satu hal yang waktu itu belum dipahami Montella.
Keputusan Capello untuk selalu menjadikan Montella sebagai pemain pengganti melahirkan asumsi ketidaksukaan Capello terhadap pemain egois, bahwa seorang poacher tidak akan punya tempat dalam tim Capello. Namun, bagaimana bila Capello punya pemikiran lain?
Sepak bola Italia adalah sepak bola yang begitu gemar mendedah taktik. Yang menjadikan Italia berbeda dengan sepak bola Eropa lainnya adalah ia begitu khidmat dalam mengotak-atik taktik.
Sepak bola Italia dicacah-cacah menjadi peran-peran detail seorang pemain. Atas kegilaannya kepada taktik, mestikah diherankan bila Italia memiliki Coverciano?
ADVERTISEMENT
Secara sederhana Coverciano dapat diartikan sebagai pusat pelatihan seorang pelatih dan pemain Timnas Italia. Tempat ini mirip kampus yang melahirkan pelatih-pelatih ulung Italia.
Selain Capello, Coverciano menjadi ibu kandung dari karier kepelatihan Carlo Ancelotti, Antonio Conte, Massimiliano Allegri, Marcello Lippi, Cesare Prandelli, Roberto Donadoni, dan bahkan Vincenzo Montella sendiri. Intinya, orang-orang Italia punya satu prinsip: selesaikan dulu tesismu, baru mulai melatih.
Kebanyakan pelatih lulusan Coverciano menerapkan apa yang mereka teliti dan tulis di tesis ke dalam karier kepelatihan mereka, termasuk Capello. Tesis 123 halaman yang diselesaikan Capello tahun 1983 berjudul 'Il Calcio in Libertà'.
Bila menerjemahkannya abstraksinya, maka secara sederhana tesis ini berisi tentang penelitian Capello akan peran-peran pemain secara taktikal. Maka, lewat tesis ini pula Capello ingin menegaskan bahwa sebagai pelatih ia paham benar peran setiap anak asuhnya, termasuk Montella.
ADVERTISEMENT
Sebagai pelatih Capello paham bahwa seorang poacher macam Montella adalah pemain terbaik yang bisa memecah kebuntuan tim. Kemampuan Montella mengubah peluang menjadi gol adalah hal yang mesti digarisbawahi.
Bila Capello menjadikan Montella sebagai pemain pengganti, bukan berarti ia membuang Montella. Namun, ia sadar, waktu terbaik untuk menempatkan seorang poacher dalam tim adalah bila tim sedang dalam keadaan terdesak. Toh, selama Capello menjadi pelatih Roma tahun 1999-2004, Montella tetap jadi penggawa Roma. Ia baru dipinjamkan ke beberapa klub sejak musim 2007.
Untuk beberapa pertandingan, memasukkan pemain egois tapi mematikan seperti Montella sejak awal pertandingan adalah malapetaka buat Capello. Pendapat paling masuk akal, poacher dapat merusak keseimbangan tim karena kerap bernafsu mencetak gol dengan mengabaikan keberadaan pemain lain.
ADVERTISEMENT
Namun, selayaknya pemburu liar yang menjadi hebat karena desakan-desakan tadi, dalam keadaan terdesak, tak ada arketipe lain yang jauh lebih efektif mendulang gol daripada poacher. Begitu pula bila klub harus menghadapi pertandingan-pertandingan melawan tim besar. Totti boleh hebat, Delvecchio boleh subur, tapi tak ada yang seliar Montella di kotak penalti.
Selama masa kepelatihan Capello di Roma, Montella bermain di 117 pertandingan Serie A. Dan 84 di antaranya, ia ada dalam susunan starting eleven. Walau tak rutin dimainkan sejak awal pertandingan, Montella toh tetap membuktikan kualitasnya sebagai poacher.
Di sepanjang sejarah Roma, laga derbi tanggal 10 Maret 2002 menjadi salah satu yang paling dikenang. Melawan Lazio, Roma menang besar dengan skor 5-1. Ajaibnya, Montella mencetak empat gol di laga panas ini.
ADVERTISEMENT
Torehan empat gol itu masih menjadi rekor gol terbanyak dari seorang pemain dalam sejarah derbi Roma. Capello pada akhirnya menutup musim di edisi Serie A kali itu dengan membawa Roma sebagai runner-up, setelah semusim sebelumnya mereka berhasil merengkuh scudetto.
Sebagai pemain, Montella adalah kelangkaan. Ia adalah satu dari sedikit pemain yang tidak menganggap sepak bola sebagai permainan tim, tapi sebagai panggung individu. Hasrat yang demikian barangkali memang bertentangan dengan prinsip taktikal sepak bola, tapi itulah yang membesarkan namanya.
Aksi-aksi individunya, keliarannya menyusup di dalam kotak penalti, dan ‘tuntutannya’ untuk selalu dilayani pemain lain seperti menegaskan bahwa ia adalah satu-satunya pemain yang pantas mencetak gol. Lantas, ia membuktikan kepantasannya dengan 100 gol (semua kompetisi) buat Roma. Gol-gol yang kebanyakan ia rayakan sendirian. Membentangkan kedua tangan, berlari menyusur lapangan, dan membiarkan teman-temannya mengejar.
ADVERTISEMENT