Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
ADVERTISEMENT
Pada suatu hari yang terik di Jakarta, ketika sedang mengerjakan berita bersama, rekan wartawan di kumparan, Ardhana Pragota, bertanya kepada saya dalam bahasa Jawa.
ADVERTISEMENT
"Mas, kowe ngerti sekretaris UGM sing jenenge Mbak Wiwit? (Mas, kamu tahu enggak sekretaris UGM yang bernama Mbak Wiwit)"? tanya Gota.
Saya menggeleng. Meskipun harus berkuliah di kampus tersebut lebih lama daripada waktu normal, saya memang tidak tahu banyak soal Mbak Wiwit atau petugas administrasi kampus lainnya.
Isyarat ketidaktahuan dari saya itu langsung direspons Gota dengan cerita yang dituturkannya dengan menggebu-gebu. Ini adalah kisah demo mahasiswa UGM di Gedung Rektorat pada 2 Mei 2016.
Demonstrasi itu dilakukan untuk menolak dua hal. Pertama, kenaikan Uang Kuliah Tunggal. Kedua, penggusuran kantin Fakultas Sastra yang dikenal secara colloquial dengan nama "Bonbin". Menurut ceritera Gota, demonstrasi itu nyaris berujung ricuh. Amarah mahasiswa sudah hampir sampai ubun-ubun lantaran tak mendapat respons memuaskan dari pihak rektorat.
ADVERTISEMENT
Di saat itulah, dari tangga Gedung Rektorat, terlihat seorang wanita berjalan turun. Wanita itu adalah Mbak Wiwit. Setibanya di depan mahasiswa, Mbak Wiwit tak bicara sepatah kata pun. Akan tetapi, kehadirannya mampu membuat amarah para demonstran tadi reda. Sesederhana itu, walaupun kata Gota, "Habis Mbak Wiwit pergi langsung mau rusuh lagi, Mas."
***
Melangkah maju tiga tahun kemudian, di Old Trafford, Manchester, pada laga derbi antara Manchester United dan Manchester City, saya melihat kejadian serupa persis di depan mata.
Dari sekian banyak kursi yang tersedia di Old Trafford, entah mengapa saya beruntung mendapat tempat di dekat suporter Manchester City. Saya duduk di Sir Bobby Charlton Stand dan para suporter City itu ditempatkan di kurva Scoreboard Stand, persis di atas tribune para penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Para suporter City itu begitu militan. Ada sekitar 3.100 orang yang sudah memadati tribune bahkan ketika para pendukung United baru mengisi sepertiga stadion.
Saya masuk stadion satu jam sebelum sepak mula. Setelah melewati pemeriksaan petugas dan verifikasi tiket otomatis lewat pemindaian barcode di turnstile, saya bergegas mencari kursi sesuai tiket. Baris 29, kursi nomor 52.
Kursi di Old Trafford itu tak besar. Jaraknya dengan kursi lain pun begitu minim. Namun, anehnya, saya tak merasa kesempitan meski memang ketika ada orang yang hendak lewat kami semua wajib berdiri. Setelah menemukan kursi itu, saya duduk sejenak tanpa melakukan apa-apa. Mata saya pejamkan, napas saya tarik dalam-dalam, dan setelah lima detik yang terasa panjang, saya berani mengambil kesimpulan. Oke, ini bukan mimpi.
ADVERTISEMENT
Sekembalinya ke realitas, saya membuka ponsel untuk mengecek siapa saja sebelas pemain yang disiapkan Ole Gunnar Solskjaer. Di dalam stadion itu sinyal seluler begitu lemah. Maka, mencari tahu susunan pemain pun butuh keberuntungan cukup besar. Dengan perjuangan demikian, saya mendapati nama-nama ini:
David de Gea, Ashley Young, Matteo Darmian, Chris Smalling, Victor Lindeloef, Luke Shaw, Fred, Andreas Pereira, Paul Pogba, Jesse Lingard, Marcus Rashford.
"Sialan," umpat saya dalam hati. "5-3-2? Yang benar saja? Ini niat menang derbi atau enggak, sih?" Sepintas, saya mendengar ada seorang Mancunia yang memprediksi United bakal kalah 0-6. Dalam hati saya tersenyum. "0-6 juga sudah bagus, bos," batin saya.
Pada titik itu, semuanya masih baik-baik saja. Suasana stadion memang meriah tetapi sama sekali tak ada hawa kebencian. Rasa kesal akan buruknya kans United di laga itu ditutupi dengan celotehan-celotehan kocak. Saya pun kemudian menyempatkan diri untuk jajan di kios yang letaknya ada di bawah tribune.
ADVERTISEMENT
Delapan poundsterling saya habiskan di kios itu. Satu pai, satu bungkus keripik kentang kesayangan Gary Lineker, dan satu botol air mineral saya beli di sana. Walaupun harus antre sekitar 10 menit, saya puas karena pai yang bernama United Pie itu begitu mengenyangkan.
Pai itu saya santap di tempat duduk. Dengan bantuan garpu kecil, saya sikat isinya sampai habis sebelum melahap kulitnya dengan tangan. Ditutup dengan setenggak air putih, aih, luar biasa nikmat. Inilah matchday experience yang biasa diceritakan orang-orang Inggris itu.
United Pie yang saya santap itu rupanya tak cuma mengenyangkan. Ia juga membuat saya sadar sepenuhnya akan situasi sekitar. Dari sisi kanan, terdengarlah nyanyian-nyanyian lantang dari suporter Manchester City.
ADVERTISEMENT
Saya harus akui sebelumnya bahwa saya tidak tahu apakah pai tadi berpengaruh atau tidak, yang jelas suara para suporter City itu terdengar makin keras setelah pai selesai saya santap. Sepanjang pertandingan akan ada perang nyanyian dan para suporter City-lah yang memulainya.
Berbagai nyanyian, mulai dari yang murni berupa dukungan sampai yang berbentuk olokan, mereka teriakkan. Baru setelah itu gerombolan suporter United yang makin ramai mulai membalas. Awalnya dari Sir Alex Ferguson Stand, dilanjutkan sampai ke Stretford End. Tentu saja, perang nyanyian itu tidak lengkap tanpa adu gestur tangan lucah yang biasa ditemukan di jalanan.
Perang nyanyian inilah yang kemudian memunculkan sosok Mbak Wiwit dalam bentuk lain.
Di tempat saya duduk, jumlah penonton asli Manchester dan mereka yang berasal dari luar cukup berimbang. Mudah saja untuk membedakan mereka. Orang asli Manchester tidak menonton pertandingan tengah pekan dengan mengenakan seragam United. Mereka harus bekerja atau melakukan aktivitas lain sebelum datang ke stadion. Maka, banyak dari mereka yang menggunakan 'baju bebas'.
ADVERTISEMENT
Para suporter berpakaian preman itu kemudian menunjukkan ke-Mancunian-annya dengan berlaku bagaikan preman betulan. Mendengar United diolok-olok, dua lelaki yang duduk dua baris di depan saya bereaksi keras. Satu dari mereka adalah lelaki dewasa berumur kurang lebih 20-an akhir atau 30-an awal, satu lagi adalah kakek yang telah berusia lanjut.
Dua orang itulah yang memimpin sisi timur Sir Bobby Charlton Stand melawan olok-olok para suporter City. Si pria dewasa membalas dengan misuh-misuh sembari memamerkan gestur tangan yang tak senonoh. Sementara, si kakek melawan dengan berkata "f**k off" sambil mengacungkan tanda V —jari tengah dalam budaya Inggris.
Kelakuan dua Mancunian —orang asli Manchester— itu ternyata tidak luput dari pantauan steward stadion. Steward stadion inilah yang menjadi Mbak Wiwit dalam situasi ini.
ADVERTISEMENT
Steward yang saya maksud adalah sesosok ibu-ibu paruh baya. Dengan rambut pirang yang dikuncir kuda dan kacamata kotak, dia akan terlihat seperti seorang pustakawan tanpa rompi hijau yang dia kenakan.
Ibu-ibu steward ini mendatangi barisan tempat dua lelaki tadi berada dengan langkah pelan tapi pasti. Sebelumnya, saat mengikuti tur Old Trafford, saya sudah melihat adanya aturan tertulis bahwa siapa pun yang bereaksi berlebihan terancam dikeluarkan dari stadion. Melihat itu, saya pun berkata dalam hati, "Wah, diomelin, nih. Diomelin, nih."
Dan benar saja... Well, tidak sepenuhnya benar, sih. Jadi, ibu-ibu steward itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sambil bertolak pinggang, dia hanya menunjukkan mimik muka seperti seorang ibu yang kesal dengan kelakuan anaknya. Melihat itu, si pria tadi pun langsung meminta maaf sambil menunduk-nunduk. Mirip anak yang habis diomeli ibunya.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini adalah yang paling menarik dari pertandingan Derbi Manchester kemarin. Meski begitu, ada beberapa hal yang membuat laga itu tetap menarik di mata saya.
Soal Mike Phelan, misalnya. Di awal-awal laga, yang mendampingi para pemain United di pinggir lapangan adalah Ole Gunnar Solskjaer. Namun, setelah penampilan United kian tak keruan, Phelan mengambil alih komando taktikal
Lalu, ada juga soal Victor Lindeloef. Dari tribune saya melihat bagaimana Lindeloef mulai bisa jadi pemimpin lini belakang United. Dia yang memberi komando, dia yang berteriak menyemangati rekan-rekannya, dan dia pulalah yang paling sulit dilewati lawan. Tak heran jika ketika saya membaca Manchester Evening News keesokan harinya, saya mendapati Lindeloef jadi pemain United dengan ponten tertinggi.
ADVERTISEMENT
***
Orang bilang, Derbi Manchester edisi itu tidaklah murni. Ada kepentingan-kepentingan, khususnya yang berkaitan dengan juara atau tidaknya Liverpool. Namun, seperti yang diucapkan seorang karyawan Mercure Manchester Piccadilly Hotel, laga derbi adalah laga derbi. "It's a whole different game," katanya.
Dia benar. Pada pertandingan itu, tak satu pun suporter United berharap tim kesayangannya kalah. Meski kekalahan United bakal "memuluskan" agenda menjegal Liverpool, keinginan suporter tak pernah berubah. Yakni, melihat Manchester United membungkam sang tetangga yang kian berisik itu.