Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Masih ingat dengan tak disahkannya gol yang dicetak Frank Lampard, pemain Inggris, ke gawang Jerman pada Piala Dunia 2010 lalu?
ADVERTISEMENT
Saat itu, dalam sebuah serangan, Lampard yang berada di depan kotak penalti Jerman melepaskan sepakan keras ke arah gawang tim lawan yang dikawal Manuel Neuer. Sepakan itu meluncur deras, melewati sang kiper, lalu mengenai mistar, dan memantul ke bagian bawah gawang.
Dari yang terlihat sekilas, juga dikonfirmasi lewat tayangan ulang, pantulan itu membuat bola melewati garis gawang dengan sempurna. Lampard bahkan sudah melakukan selebrasi ketika itu.
Sayangnya, wasit beranggapan lain. Tak ada gol tercipta, kata dia. Pertandingan pun pada akhirnya tetap dilanjutkan.
Laga ini sendiri saat itu berakhir dengan skor 4-1 untuk kemenangan Jerman. Namun, andai saja sepakan Lampard disahkan sebagai gol, besar kemungkinan hasilnya akan berbeda.
ADVERTISEMENT
Dimulai Dari GLT, Kemudian VAR
Momen tak disahkannya gol Lampard adalah puncak yang membuat semua pasang mata semakin sadar dan yakin bahwa wasit tak bisa benar-benar luput dari kesalahan. Sepp Blatter, yang pada masa itu masih berstatus Presiden FIFA, bahkan langsung menyampaikan permintaan maaf.
"Secara pribadi saya sangat menyesal Anda mesti melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan wasit. Tapi itu bukanlah akhir dari kompetisi atau akhir dari sepakbola," ucap Blatter seperti dilansir BBC.
Pada saat bersamaan, Blatter juga menegaskan satu hal. Kata dia, rencana untuk menerapkan teknologi di sepakbola yang sudah dicanangkan sejak jauh hari akan dilakukan secepatnya. Lalu dimulailah rencana itu dan Goal Line Technology (GLT) menjadi pembuka.
ADVERTISEMENT
Teknologi yang dapat membantu wasit dalam memastikan sebuah gol ini diresmikan pada 5 Juli 2012. Sementara untuk penggunaannya, ajang Piala Dunia Antarklub 2012, Piala Konfederasi 2013, serta Piala Dunia 2014, adalah yang pertama.
Lewat bantuan GLT, ketiga turnamen ini berjalan relatif lancar. Tak ada lagi kontroversi yang terjadi. Malah, sebaliknya, beberapa momen terbantu dengan hadirnya teknologi satu ini.
Salah satu yang masih berpendar dalam ingatan adalah yang terjadi pada laga Piala Dunia 2014 antara Prancis melawan Honduras. Pada laga yang berujung dengan skor 3-0 untuk kemenangan Prancis itu, sepakan Karim Benzema, penyerang Prancis, pada menit ke-72 membentur tiang dan memantul menuju kiper Honduras, Valladares, yang kemudian menangkapnya sekaligus menjauhkannya dari garis gawang.
ADVERTISEMENT
Sekilas tak ada gol yang terjadi. Namun, berdasarkan bantuan GLT, bola ternyata sudah melewati garis gawang terlebih dahulu, meski sangat tipis. Wasit yang saat itu memimpin jalannya pertandingan pun meniup peluit panjang tanda terjadinya gol.
Seusai laga tersebut, lebih-lebih setelah Piala Dunia tahun itu berakhir, banyak yang memuji penggunaan teknologi garis gawang ini. Baik itu dari kalangan pelatih, pemain, hingga para suporter. Selain itu, sejumlah wasit juga menegaskan betapa terbantunya mereka dengan kehadiran GLT.
Meski begitu, kehadiran GLT ini nyatanya cuma mampu mereduksi satu dari sekian banyak masalah yang ada di sepakbola. Berangkat dari hal ini, Video Assistant Referee (VAR) akhirnya diperkenalkan.
Tak seperti GLT yang dapat menentukan keputusan secara mutlak, VAR masih membutuhkan analisis seorang wasit dalam setiap keputusan yang diambil.
ADVERTISEMENT
Alasannya, ia hanya berfungsi sebagai alat penunjang. Penggunaannya sendiri bahkan mesti didasarkan pada empat insiden yang di antaranya adalah penalti, gol, kartu merah langsung, dan kesalahan identitas.
Dari sini kemudian terlihat bahwa teknologi satu ini sedikit lebih rumit. Namun, saat akhirnya diterapkan, ia mampu mereduksi berbagai kekeliruan yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang GLT. Simak saja yang terjadi di Piala Dunia 2018 lalu, misalnya, di mana keputusan-keputusan krusial seperti kartu merah dan penalti dapat ditentukan lewat bantuan VAR.
Keputusan yang didasarkan melalui bantuan teknologi satu ini, menariknya, tak hanya dilakukan sekali-dua, melainkan berkali-kali. Terhitung selama Piala Dunia 2018 berlangsung, setidaknya ada sepuluh keputusan penting yang diambil melalui VAR. Singkat kata, VAR memang sangat membantu. Itu juga dibuktikan lewat statistik akurasi pengambilan keputusan wasit yang meningkat dari yang mulanya hanya 93 persen menjadi 99 persen.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam prosesnya, VAR dianggap memakan terlalu banyak waktu sehingga agak mengganggu jalannya pertandingan. Beberapa pemain dan pelatih, seperti Ricardo Gareca, pelatih Peru, misalnya, bahkan mengeluarkan kritikan. Ia menyebut bahwa VAR tak akan mampu secara sempurna mengurangi kesalahan yang ada.
"Sepak bola berhubungan erat dengan kesalahan dan saya tidak berpikir ini (VAR) akan menjadi sebuah solusi sempurna," ujar Gareca seperti dilansir Reuters.
Sebelum Piala Dunia 2018 sendiri, penggunaan VAR sebetulnya sudah dipertanyakan oleh sejumlah pihak, termasuk --entah bagaimana-- mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter.
Namun, kata Presiden FIFA saat ini, Gianni Infantino: "Kita harus hidup dengan waktu. Kami ingin memberi alat-alat kepada para wasit. Jadi dengan itu mereka bisa membuat keputusan-keputusan yang lebih baik, dan di Piala Dunia beberapa keputusan yang sangat penting dapat dibuat."
ADVERTISEMENT
Piala Dunia 2018 sendiri adalah ajang internasional terbesar yang menerapkan VAR sejauh ini. Sementara untuk ajang internasional pertama, Piala Dunia Antarklub adalah yang pertama kali menerapkannya.