Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ketika Peter Schmeichel Menyelamatkan United di Squeaky Bum Time 1999
24 Januari 2019 13:51 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:48 WIB
ADVERTISEMENT
Sepak bola, dalam bentuk terkejamnya, adalah sebuah zero sum game. Ketika hasil imbang bukan pilihan, hanya ada kalah dan menang. Menang berarti mendapat segalanya, kalah berarti sebaliknya.
ADVERTISEMENT
14 April 1999 di Villa Park, Birmingham. Tiga hari sebelumnya Manchester United dan Arsenal telah bersua di stadion milik Aston Villa ini. Dalam pertemuan pertama itu, hasil imbang masih diperkenankan untuk terpampang di papan skor. Di bawah tatapan 39.217 pasang mata, United dan Arsenal mengerahkan kemampuan terbaik mereka, tetapi tak ada satu pun upaya yang berbuah hasil.
Maka, laga ulangan pun diselenggarakan. Penonton yang hadir di tribune tak sebanyak pada pertandingan pertama, tetapi tensi jauh lebih tinggi karena kali ini pilihan cuma dua: Menang atau kalah.
Kemenangan, bagi kedua kesebelasan tersebut, punya arti yang sama besarnya. Masa-masa itu adalah apa yang disebut Sir Alex Ferguson sebagai squeaky bum time, waktu yang gila di mana semuanya bisa terjadi. Momentum adalah segalanya. Kemenangan adalah jalan satu-satunya.
ADVERTISEMENT
Pertandingan di Villa Park itu adalah pertandingan ulangan semifinal Piala FA. Tentu, siapa pun yang menang akan melaju ke final. Namun, satu tempat di final Piala FA bukan satu-satunya pertaruhan. Pertandingan itu adalah kunci dari keberhasilan Manchester United meraih tiga gelar pada musim 1998/99.
Sampai April 1999, United dan Arsenal masih saling berkejaran di Premier League. United memang memimpin klasemen tetapi posisi mereka sama sekali tidak aman. Arsenal ketika itu betul-betul berniat untuk merengkuh gelar back-to-back usai menjuarai Premier League pada musim sebelumnya.
Itu baru di Premier League. Di Liga Champions, United pun masih punya kesempatan untuk merebut gelar juara pertama sejak 1968. Meski demikian, ketika itu 'Iblis Merah' berada dalam situasi sulit. Pada leg pertama semifinal yang digelar 7 April, United gagal menang atas Juventus di Old Trafford. Bermodal hasil imbang 1-1, Roy Keane dkk. harus melawat ke Stadio Delle Alpi, Turin.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat bahwa saat itu Juventus adalah lawan yang paling ditakuti Manchester United. Sebelum-sebelumnya, 'Si Nyonya Tua' hampir selalu berhasil membuat United merasa tak pantas berlaga di kompetisi Eropa. Oleh karenanya, hasil imbang 1-1 di Old Trafford tadi tak ubahnya seperti kekalahan bagi United.
Situasi itulah yang membayangi United dalam pertandingan leg kedua semifinal Piala FA tadi. United sebenarnya berhasil mencuri momentum terlebih dahulu ketika David Beckham mencetak gol di menit ke-17. Gol itu mampu mengangkat kepercayaan diri para pemain Manchester United karena Arsenal dikenal memiliki pertahanan solid. Sebelum dibobol Beckham, jala gawang David Seaman sudah tidak bergetar sampai 690 menit lamanya.
Namun, ketika pada babak kedua Marc Overmars masuk menggantikan Freddie Ljungberg, giliran Arsenal yang berhasil mencuri momentum. Masuknya Overmars membuat kompatriotnya, Dennis Bergkamp, kembali bersemangat dan akhirnya berhasil mencetak gol penyama kedudukan.
ADVERTISEMENT
Tak lama kemudian Bergkamp berhasil menemukan Nicolas Anelka yang berdiri bebas. Anelka pun sukses menjebol gawang United untuk kali kedua. Beruntung bagi United, wasit David Elleray menganulir gol tersebut karena Anelka telah terperangkap dalam posisi offside.
Kendati demikian, masalah tak berhenti sampai di situ. Di tengah panasnya suasana usai dianulitnya gol Anelka tadi, United harus kehilangan Keane. Pelanggaran keras membuat pemain Republik Irlandia itu terpaksa masuk ruang ganti lebih cepat dari rekan-rekannya.
Bermain dengan sepuluh pemain, United pun dikurung habis-habisan. Sampai akhirnya, ketika pertandingan sudah memasuki menit-menit penghabisan, Ray Parlour melakukan penetrasi dari half-space ke kotak penalti United. Di sana memang ada Phil Neville yang menghalangi. Akan tetapi, cara Neville menghentikan Parlour itu kemudian justru berbuah penalti.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mencuri bola, Neville justru menggapit kaki Parlour. 'Si Pele dari Romford' terjatuh dan Elleray, tanpa keraguan sedikit pun, meniup peluit serta menunjuk titik putih. Sampai pada titik ini, Arsenal seharusnya bisa memenangi pertandingan. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Bergkamp ditunjuk menjadi eksekutor. Kala itu, The Non-flying Dutchman adalah algojo utama Arsenal. Namun, saat itu rekor penaltinya sedang buruk. Tiga dari lima sepakan terakhirnya selalu berhasil digagalkan oleh kiper lawan. Kendati demikian, pria yang menghalanginya dari kejayaan juga punya rekor tak bagus dalam menahan tendangan penalti.
Pria itu adalah Peter Schmeichel. Sampai hari itu, Schemichel sudah gagal mencegah tendangan penalti lawan masuk ke gawang United selama lima tahun. Maka, duel Belanda versus Denmark di Villa Park itu sesungguhnya adalah situasi 50-50. Apa pun bisa terjadi.
ADVERTISEMENT
Dan benar saja. Bergkamp sebenarnya sudah menendang bola dengan baik. Akan tetapi, tebakan Schemichel tepat. Dengan yakin, Schmeichel melompat ke kiri dan menepis bola sepakan Bergkamp tersebut.
Para suporter Arsenal yang sebelumnya berteriak kegirangan saat Elleray menunjuk titik putih pun terdiam. Sebaliknya, para pendukung Manchester United merayakan keberhasilan Schmeichel itu seperti ketika mereka merayakan gol. Di kemudian hari, Bergkamp berujar bahwa kegagalan itu adalah yang paling menyakitkan dalam kariernya.
Apa yang dilakukan Schmeichel itu kemudian mengantarkan United ke babak perpanjangan waktu. Di babak perpanjangan waktu, Ryan Joseph Giggs mencetak salah satu gol terbaik dalam sejarah Manchester United melalui aksi individualnya. United pun melaju ke final dan sisanya adalah sejarah.
ADVERTISEMENT
***
Bagi Schmeichel, musim 1998/99 adalah musim yang sulit. Dia kembali ke Manchester United usai mengantarkan Denmark ke perempat final Piala Dunia 1998. Akan tetapi, seiring dengan penampilan United yang angin-anginan, Schmeichel pun ikut kesulitan menjaga gawangnya dari kebobolan.
Di Premier League, sampai paruh musim pertama, gawang United sudah kemasukan 23 kali meski Schmeichel tak melulu jadi penjaga gawang. Ada beberapa pertandingan di mana dia berhalangan dan harus digantikan oleh sang deputi, Raimond van der Gouw. Meski begitu, jumlah kebobolan itu tetap mengkhawatirkan. Tak heran jika United terjebak di urutan empat klasemen.
Titik nadir Schemichel tiba pada November 1998. Di tengah rentetan penampilan buruk, kiper berjuluk The Great Dane itu melihat bahwa dia tak lagi punya masa depan cerah di Old Trafford. Schmeichel pun mengumumkan bahwa dia akan meninggalkan Manchester United pada akhir musim saat kontraknya habis.
ADVERTISEMENT
Namun, penampilan buruk itu nyatanya tak bertahan terlalu lama. Usai tahun baru, United berhasil memperbaiki penampilannya. Pada paruh kedua musim 1999, Manchester United sama sekali tidak pernah tersentuh kekalahan. Khusus di Premier League, rangkaian hasil ciamik ini dimulai pada Boxing Day ketika mereka menghajar Nottingham Forest 3-0.
Seiring dengan membaiknya permainan 'Iblis Merah', performa Schmeichel pun ikut terangkat. Bahkan, sebelum membuat penyelamatan di semifinal Piala FA itu dia sudah lebih dulu melakukan penyelamatan gemilang di perempat final Liga Champions kala menghadapi Internazionale.
Leg pertama perempat final Liga Champions itu dihelat 3 Maret 1999 di Old Trafford. Dwight Yorke berhasil membawa United unggul pada menit keenam. Akan tetapi, setelah itu Inter berusaha mati-matian mencetak gol balasan. Nerazzurri pun sukses mendapat kesempatan emas empat menit babak kedua berjalan melalui Ivan Zamorano.
ADVERTISEMENT
Dengan refleks yang sulit ditandingi siapa pun, Schmeichel menggagalkan sundulan Zamorano persis di mulut gawang. Penyelamatan ini memberi United rasa nyaman sehingga Yorke nantinya bisa mencetak gol kedua. Namun, Inter tak kunjung menyerah dan sempat membuat peluang emas lewat Nicola Ventola. United beruntung karena Schmeichel berhasil membuat Ventola dua kali gigit jari.
Pertandingan melawan Inter itu adalah satu dari sedikit pertandingan United musim tersebut yang berakhir dengan clean sheet. Di leg kedua pun Schmeichel sukses membuat Ronaldo tak berkutik sehingga akhirnya The Red Devils mampu memaksakan hasil imbang dan lolos ke semifinal.
Pada dasarnya, penampilan keseluruhan Schmeichel pada musim 1998/99 itu jauh dari kata spesial. Akan tetapi, dia mampu mengeluarkan yang terbaik di saat-saat paling krusial, termasuk kala mengapteni United di final Liga Champions menghadapi Bayern Muenchen karena Keane mendapat suspensi.
ADVERTISEMENT
Maka, tak berlebihan rasanya jika Schmeichel tercatat sebagai salah satu aktor kunci di balik keberhasilan Manchester United meraih treble winner yang masyhur itu. Sayangnya, warisan Schmeichel setelah itu sedikit ternoda karena pada 2002/03 dia mengakhiri karier bersama Manchester City. Anaknya, Kasper, pun dia masukkan ke akademi milik The Citizens.
Walau begitu, treble winner 1998/99, sampai saat ini adalah momen terhebat dalam sejarah Manchester United . Schmeichel punya peran besar di situ dan hingga kapan pun takkan ada yang bisa merampas itu darinya.