Kompetisi Berhenti karena Force Majeure, Tak Berarti Utang Klub Liga 2 Lunas

10 April 2020 16:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Spanduk suporter PSPS Riau di Stadion Kaharudin Nasution, Pekanbaru, Riau. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Spanduk suporter PSPS Riau di Stadion Kaharudin Nasution, Pekanbaru, Riau. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi virus corona membuat kompetisi Liga 1 dan Liga 2 berhenti sementara waktu. Bila wabah tak juga mereda hingga akhir Mei, kemungkinan tak melanjutkan liga musim 2020 terbuka lebar dengan alasan force majeure.
ADVERTISEMENT
Di samping dampak negatif yang timbul, pandemi yang melanda Indonesia bisa juga disikapi positif. Jeda liga seharusnya membuat pelaku sepak bola dari mulai klub, PSSI, hingga PT Liga Indonesia Baru (LIB) introspeksi diri.
Masih banyak masalah yang itu-itu saja sebelum kompetisi 2020 dimulai. Persoalan klise yang kerap kali muncul ialah tunggakan gaji pemain, pelatih, ataupun ofisial.
Klub Liga 2 paling menyita perhatian jika bicara utang gaji kepada penggawanya. Yang bikin miris, sejumlah tim Liga 2 yang punya tunggakan tetap bisa bermain.
Sebut saja PSPS Riau. Askar Bertuah seharusnya tidak boleh tampil di Liga 2. Masalah tunggakan gajinya membuat NDRC (National Dispute Resolution Chamber) mengeluarkan putusan tidak boleh mendaftarkan pemain selama tiga periode (1,5 tahun).
Ponaryo Astaman (kanan, GM APPI) dan Firman Utina (kanan, Presiden APPI) saat dalam acara APPI Awards. Foto: Ferry Adi/kumparan
“Secara logis begini, NDRC itu ‘kan pilot project FIFA dan PSSI. Artinya, ada secercah harapan melihat NDRC mengatasi kasus (sengketa pemain dan klub misalnya) di Indonesia. Dan, NDRC itu lembaga yudisial PSSI.”
ADVERTISEMENT
“Sekarang, ada putusan dari NDRC yang seharusnya kemudian dieksekusi Komisi Disiplin PSSI. NDRC kemudian memantau, ternyata tidak dilaksanakan putusan itu. PT LIB malah kasih izin (PSPS tetap main). Seharusnya, PSSI ngejewer PT LIB. Namun, yang terjadi PSSI juga diam saja, sama saja berarti ‘kan,” ujar Riza Hufaida, kuasa hukum APPI (Asosoasi Pesepak Bola Profesional Indonesia).
Kondisi itu membuat APPI mengadu ke FIFA dan FIFPro (Asosiasi Pesepak Bola Profesional Internasional) karena putusan NDRC tak dijalankan. Dengan bahasa sederhana, FIFA harus tahu pilot project-nya sudah dicoreng oleh PSSI sendiri.
APPI sebagai pelindung hak pemain tetap mengejar klub untuk segera membayar gaji. Bukan tidak berempati, persoalan utang tetap tidak bisa dihapus dengan alasan force majeure sekalipun.
Surat Keputusan PSSI terkait status kompetisi Liga 1 dan Liga 2 2020. Foto: Istimewa
“Andaikan ini (liga) setop, besok waktu mulai lagi kami akan mempersoalkan kembali. Utang belum beres. Enak saja gara-gara force majeure utang ikut hilang. Tidak mungkin itu, tidak ada aturannya juga. Tetap kami kejar meskipun kompetisi baru mulai lagi tahun 2021,” kata Riza.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Riza menyayangkan klub selalu mengentengkan utang gaji dengan berharap pencairan subsidi liga. Padahal, uang kontribusi dari PT LIB akan cair akhir musim dengan beragam persyaratan, tak bisa digelontorkan pada awal musim.
“Siapa yang suruh (bergantung subsidi). Kami tidak pernah mau. Buat kami terserah uang dari mana. Cuma ini ‘kan PT LIB sendiri yang mau (membayar utang klub). Kalau seperti ini, klub lain pasti marah dong karena subsidi dikasih di depan. Dan, duit subsidi peruntukannya bukan buat itu (membayar utang),” tutur Riza.
Riza tak salah. Selama ini memang subsidi dibayarkan apabila klub memenuhi syarat, misalnya saja keterlibatan dalam.
Artinya, jika klub tak mengikuti salah satu syarat itu, jumlah uang subsidi yang didapat juga bukan 100 persen. Belum lagi peraturan dalam pencairan subsidi yang bisa dikucurkan dalam tujuh termin.
Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan (tengah) bersama Menpora Zainudin Amali (kanan) di Stadion Batakan, Balikpapan. Foto: Dok. PSSI
ADVERTISEMENT
“Kami mau bayarnya tunai sekaligus tanpa mencicil. Sedangkan uang subsidi ‘kan tujuh termin. Itu yang kami persoalkan. Lalu, silakan transfer ke APPI yang sudah mendapat kuasa dari pemain. Jangan main belakang transfer ke pemain satu per satu. Lagi pula itu ribet. Mendingan ke APPI saja yang akan menyalurkan ke pemain, itu lebih mudah ‘kan,” kata Riza kepada kumparanBOLA.
Persoalan tunggakan gaji belum selesai, APPI mulai menyusun senjata menyikapi kebijakan PSSI jika liga tak dilanjutkan. Pasalnya, ketika federasi mengeluarkan keputusan pembayaran gaji maksimal 25% dari kontrak untuk Maret sampai Juni, APPI tidak diajak berdiskusi.
“Sebagai perwakilan pemain, seharusnya kami diajak bicara dalam merumuskan kebijakan. Nah, nanti bagaimana kalau memang kompetisi dihentikan seterusnya. Kompensasinya seperti apa, itu harus dibicarakan dengan kami. Jangan sepihak (lagi),” ujar Riza.
ADVERTISEMENT
---
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!