Kontroversi dan Misi Suci Javier Tebas

13 September 2018 16:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden La Liga, Javier Tebas. (Foto: AFP/Sajjad Hussain)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden La Liga, Javier Tebas. (Foto: AFP/Sajjad Hussain)
ADVERTISEMENT
Luis Rubiales baru menjalani tiga pertandingan bersama Hamilton Academical ketika dirinya memutuskan untuk gantung sepatu. Dalam memorinya, masih terekam jelas bagaimana pada laga terakhirnya dia mendapat cemoohan dari publik Ibrox Park. "Si gundul keparat," begitulah cemoohan para suporter Rangers untuk Rubiales.
ADVERTISEMENT
Jika cemoohan itu dimaksudkan untuk merusak konsentrasi Rubiales, maka para suporter Rangers itu berhasil. Sebab, di akhir laga, papan skor menunjukkan angka 4-1 untuk kemenangan tim kesayangan mereka. Di situasi seperti itulah Rubiales akhirnya memantapkan diri untuk pensiun.
Namun, jangan salah. Keputusan Rubiales untuk pensiun itu bukan disebabkan oleh cercaan dan kekalahan tadi. Ada hal lain yang membuatnya merasa bahwa gantung sepatu adalah keputusan terbaik.
Situasi di kampung halamannya, Spanyol, sudah semakin parah dengan maraknya kebangkrutan klub-klub sepak bola. Sebagai mantan pemain Levante yang pernah merasakan penunggakan gaji, Rubiales tergerak.
Tak lama kemudian, Rubiales sudah berada di Spanyol lagi. Dia pun segera terjun ke dunia politik sepak bola. Hasilnya nyaris instan karena setahun setelah itu dia langsung terpilih menjadi presiden Asosiasi Pesepak Bola Spanyol (AFE). Di organisasi itu, Rubiales menjadi kampiun bagi para pesepak bola yang hak-hakanya tidak terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Hasilnya nyata. Selama AFE dipimpin Rubiales, setidaknya ada lima boikot yang dilancarkan para pemain di La Liga. Salah satu aksi boikot paling terkenal terjadi pada 2011 ketika pemain-pemain meminta jaminan gaji seandainya klub yang mereka perkuat mengalami kebangkrutan. Boikot ini membuat laga pekan pertama La Liga musim 2011/12 harus ditunda.
Sepak terjang Rubiales semakin lama pun semakin terasa. Sampai akhirnya, pada 2017 silam, dia memutuskan untuk terjun di organisasi yang lebih besar. Rubiales mundur dari jabatannya sebagai presiden AFE untuk mencalonkan diri menjadi presiden Federasi Sepak Bola Kerajaan Spanyol (RFEF).
Upaya Rubiales itu berhasil. 'Dibantu' dengan kasus korupsi yang menimpa petahana, Angel Maria Villar, Rubiales akhirnya terpilih menjadi presiden RFEF pada Mei 2018. Di sana, pria 41 tahun itu langsung menunjukkan 'siapa bosnya' kala memecat Julen Lopetegui yang menerima tawaran Real Madrid saat masih menjabat sebagai pelatih Tim Nasional Spanyol.
ADVERTISEMENT
Rubiales menganggap bahwa Lopetegui telah bersikap kurang ajar dan, memang, dia tidak menyukai orang-orang demikian. Itulah mengapa, Rubiales sama sekali tidak menahan-nahan ketika berbicara soal presiden La Liga, Javier Tebas. Rencana Tebas untuk menyelenggarakan pertandingan La Liga di Amerika Serikat itulah yang membuat Rubiales naik pitam.
Dalam wawancara eksklusif dengan Sid Lowe untuk The Guardian, Rubiales berkata, "Tebas sudah berbicara dengan semua orang kecuali orang-orang yang seharusnya dia ajak bicara. Dia benar-benar lancang. Dia adalah orang yang tidak jujur dan tidak jelas apa maunya."
"Dia sudah mengabaikan pemain dan klub. Kelakuannya benar-benar buruk, tetapi begitulah Tebas: tidak punya rasa hormat. Dia sudah menandatangani perjanjian yang bukan haknya. Semua tidak ada artinya tanpa persetujuan kami. Kelanjutannya seperti apa, kita lihat nanti," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Ketidaksukaan Rubiales terhadap Tebas ini sebenarnya bisa dibilang 'aneh'. Sebab, kedua orang ini terjun ke politik sepak bola karena sama-sama melihat adanya masalah. Bedanya, jika Rubiales melihat kebangkrutan sebagai masalah, Tebas menganggap pengaturan skor dan mahalnya harga tiketlah problem utamanya.
Luis Rubiales berfoto bersama Julen Lopetegui dan skuat Timnas Spanyol. (Foto: AFP/Javier Soriano)
zoom-in-whitePerbesar
Luis Rubiales berfoto bersama Julen Lopetegui dan skuat Timnas Spanyol. (Foto: AFP/Javier Soriano)
Tebas awalnya adalah seorang pengacara yang terlibat aktif di politik praktis. Walau lahir dan besar di Kosta Rika, Tebas kemudian menjadi warga negara Spanyol usai mendapat gelar sarjana dari Universitas Zaragoza. Pada dekade 1980-an, Tebas sempat terlibat dalam organisasi pemuda milik partai sayap kanan Fuerza Nueva (Kekuatan Baru).
Namun, sejak 1993, fokus Tebas sepenuhnya dialihkan ke sepak bola. Pada tahun tersebut, dia terpilih menjadi presiden SD Huesca. Selama lima tahun di sana, Tebas sukses membawa Huesca promosi ke Segunda B, sekaligus menjadi klub profesional. Dari sinilah namanya jadi mulai dikenal di jagat persepakbolaan Spanyol.
ADVERTISEMENT
Beranjak dari Huesca, Tebas berlabuh ke CD Badajoz yang berlaga di Segunda A. Di klub tersebut, Tebas diberi peran untuk mencari investor dan peran itulah yang lantas membuka jalannya untuk terjun ke dunia politik sepak bola. Setelah tiga tahun di CD Badajoz, tepatnya pada 2001, Tebas akhirnya resmi berkecimpung di La Liga.
Pada 2001 tersebut, Tebas terpilih menjadi wakil presiden dan jabatan tersebut diembannya sampai tiga periode. Setelah itu, jalan Tebas semakin terbuka dan pada 2013, dengan dukungan 34 klub -- dari total 42 -- peserta La Liga, Tebas terpilih sebagai presiden. Sejak itulah nama Tebas menjadi begitu populer.
Sosok ini begitu kerap berbicara dan tak segan melancarkan serangan terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang tidak disukainya. Salah satu ucapan Tebas yang paling terkenal adalah ketika dirinya bakal berusaha memblok kepindahan Neymar Junior ke Paris Saint-Germain dengan tidak menerima uang mahar transfer tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada masa-masa itu, Tebas begitu kerap menyindir kekayaan klub-klub seperti PSG dan Manchester City. Bahkan, saat itu dia berani berkata, "Kalau Neymar bergabung ke Manchester United, tidak akan ada masalah. Kami tidak akan punya alasan apa pun karena mereka bukan klub dopingan. PSG, sementara itu, adalah klub yang dijalankan oleh negara dan kita tak boleh membiarkan itu berlanjut."
Neymar ketika diperkenalkan ke suporter PSG. (Foto: Reuters/Christian Hartmann)
zoom-in-whitePerbesar
Neymar ketika diperkenalkan ke suporter PSG. (Foto: Reuters/Christian Hartmann)
Jika Tebas merasa tidak terima dengan 'keberhasilan' PSG itu, wajar. Sebab, pria satu ini memang sudah bekerja sangat keras demi meningkatkan jenama La Liga itu sendiri. Jika Anda menyaksikan laga La Liga dengan tayangan ulang yang dipersembahkan teknologi kamera 360° milik Intel, di situlah Anda melihat salah satu hasil kerja Tebas.
ADVERTISEMENT
Pada intinya, Tebas ingin agar La Liga, setidaknya, bisa menjadi liga sepak bola terpopuler kedua di dunia setelah Premier League. Tebas ingin agar orang bisa langsung mengidentifikasi bahwa yang disaksikannya adalah pertandingan La Liga hanya dalam hitungan detik. Itulah mengapa, dia sangat serius dalam meningkatkan kualitas siaran.
Selain kamera 360° itu, peningkatan kualitas siaran ala Tebas juga dilakukan dengan memberi kewajiban pada klub untuk mengisi tribune stadion yang tersorot kamera. Musim lalu, Celta Vigo pernah didenda karena hal ini. Dari langkah-langkah ini, Tebas pun jadi semakin berani untuk memasarkan produknya ke berbagai belahan dunia.
Asia, dipandang oleh Tebas, sebagai sasaran utama. Itulah mengapa, Tebas kemudian membuat perubahan jam pertandingan agar bisa meraih penonton Asia lebih banyak. Tak jarang, pertandingan La Liga dihelat tengah hari supaya para pemirsa di Benua Kuning bisa menyaksikannya saat prime time. Itu belum termasuk bagaimana Tebas secara rutin mengirim delegasinya ke negara-negara Asia untuk berpromosi.
ADVERTISEMENT
Pada hakikatnya, Tebas ingin agar La Liga menjadi lebih kuat secara kolektif. Tebas tidak mau kompetisi yang dipimpinnya itu diasosiasikan dengan Barcelona dan Real Madrid saja. Akan tetapi, langkah inilah yang kemudian membuat dirinya mendapat beragam perlawanan.
Pada musim 2015/16, RFEF menyatakan bahwa kompetisi La Liga dihentikan sementara karena telah terjadi intervensi pemerintah dalam pembaruan sistem tersebut. Di Spanyol, intervensi pemerintah itu disebut dengan istilah Real Decreto-ley alias Dekrit Kerajaan dan pihak La Liga pimpinan Tebas-lah yang mengeksekusi dekrit tersebut.
Mantan presiden RFEF, Angel Maria Villar. (Foto: AFP/Gabriel Bouys)
zoom-in-whitePerbesar
Mantan presiden RFEF, Angel Maria Villar. (Foto: AFP/Gabriel Bouys)
Di situ, penjualan hak siar La Liga dibuat seperti Premier League di mana hak siar yang dijual adalah hak siar kompetisi, bukan lagi klub per klub. Sebelumnya, klub-klub La Liga memang diberi kebebasan untuk menjual hak siar pertandingannya sendiri-sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, Real Madrid dan Barcelona yang memang punya profil paling tinggi pun diuntungkan. Mereka bisa menjual hak siar pertandingan sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan ketimpangan sosial yang mencolok antara dua klub ini dengan klub-klub lain yang memang 'tidak menjual'.
Namun, RFEF merasa dilangkahi. Itulah mengapa mereka kemudian memerintahkan penghentian kompetisi. Perintah RFEF itu kemudian memicu kata-kata pedas dari Rubiales yang menyebut Villar telah membawa sepak bola Spanyol kembali ke zaman batu. Pada masa ini pulalah masa lalu Tebas sebagai anggota FN diungkit oleh eks pelatih Timnas Spanyol, Javier Clemente, yang merupakan kawan dekat Villar.
Selain dengan Villar, boikot pertandingan musim 2015/16 itu juga menandai perseteruan Tebas dengan Rubiales. Pasalnya, ketika itu AFE sebenarnya juga melakukan boikot, meski dengan alasan berbeda. AFE pimpinan Rubiales ketika itu menginginkan agar hak siar klub Segunda Division ditingkatkan lagi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, boikot pertandingan ini harus diselesaikan di meja hijau. Pengadilan Tinggi Spanyol memerintahkan RFEF dan AFE untuk menghentikan boikot tersebut.
Kini, perseteruan Tebas dan Rubiales kembali berlanjut dalam masalah penyelenggaraan pertandingan La Liga di Amerika Serikat. Tebas boleh saja berencana, tetapi nasib pertandingan tersebut ada di tangan Rubiales. Sebab, RFEF-lah yang pada akhirnya punya kuasa untuk mengontak Federasi Sepak Bola Amerika Serikat (USSF) dalam rangka meminta izin.
Laga La Liga musim 2017/18 antara Barcelona dan Girona. (Foto: AFP/Lluis Gene)
zoom-in-whitePerbesar
Laga La Liga musim 2017/18 antara Barcelona dan Girona. (Foto: AFP/Lluis Gene)
Kontroversi lain dalam diri Tebas adalah pengakuan blak-blakannya sebagai suporter Real Madrid. Hal ini membuat relasinya dengan Barcelona menjadi renggang. Meskipun Tebas sudah terlihat membela Blaugrana dalam kasus Neymar, bias tidak bisa sepenuhnya dienyahkan.
Contoh bias Tebas yang paling banal adalah bagaimana dia menetapkan hari Referendum Catalunya sebagai hari pertandingan Barcelona. Pertandingan itu sendiri akhirnya digelar tanpa penonton karena suasana kota tengah mencekam. Pada hari itu, pasukan gendarmerie dikerahkan langsung dari Madrid ke Barcelona untuk menangkapi para pemimpin kemerdekaan Catalunya sekaligus merepresi para pemilih dalam referendum yang disebut ilegal oleh pemerintah tersebut.
ADVERTISEMENT
Barcelona aslinya sudah meminta laga untuk ditunda, tetapi Tebas menolak. Di saat yang bersamaan, pada pertandingan tersebut Tebas memperkenankan para pemain Las Palmas untuk mengenakan emblem Spanyol bersatu. Tebas juga kemudian makin mempertontonkan biasnya dengan mengganti foto profil Twitter dengan gambar integrasi Catalunya dan Spanyol.
Bias Tebas terhadap Catalunya itu yang kemudian membuat rencana menggelar laga Girona vs Barcelona di Miami jadi dipertanyakan. Sebab, dua klub itu sama-sama berasal dari Catalunya dan kesan yang muncul adalah Tebas menggunakan mereka sebagai kelinci percobaan. Apalagi, dalam laga itu, pertunjukan atribut nasionalisme berupa lagu kebangsaan dan pembagian 40 ribu bendera Spanyol akan digelar.
Yah, begitulah Tebas. Rubiales menyebutnya sebagai sosok yang tak jelas apa maunya. Akan tetapi, apa yang dimau Tebas sebenarnya tidak bisa lebih jelas lagi. Dia cuma ingin agar La Liga jadi kompetisi paling besar di dunia. Meskipun cara yang dilakukannya beberapa kali telah membuat orang lain tersinggung, Tebas tak peduli. Sebab, bagi dirinya, memajukan La Liga adalah sebuah misi suci.
ADVERTISEMENT