Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
“Mereka hebat, tetapi Alessandro Del Piero dan saya mencapai final Liga Champions di tahun pertama kami bersama. Jika mereka ingin menjadi lebih baik dari kami, mereka harus meraih gelar juara."
ADVERTISEMENT
Demikian komentar Filippo Inzaghi soal sinergi Gonzalo Higuain dan Paulo Dybala bersama Juventus di awal musim 2016/17. Optimisme Bianconeri melambung karena Dybala sukses membawa Juventus menyapu bersih tiga gelar domestik: Serie A, Coppa Italia, dan Supercoppa Italia persis di musim sebelumnya. Sementara Higuain datang dengan label Capocannoniere tersubur sepanjang masa --36 gol bersama Napoli.
20 tahun yang lalu, Juventus juga pernah mengalami situasi serupa. Ya, Inzaghi sebagai Higuain-nya dan Del Piero yang lebih dulu jadi Dybala. Sulit terbantahkan kalau Inzaghi dan Del Piero adalah duet paling ikonik dalam sejarah sepak bola Italia.
****
Melompat mundur ke musim 1997/98. Kala itu Juventus menatapnya dengan lantang. Mereka sukses merebut kembali Scudetto dari tangan AC Milan. Kepercayaan diri 'Si Nyonya Tua' kian tinggi setelah sukses menggamit UEFA Super Cup dan Piala Interkontinental.
ADVERTISEMENT
Karena pada dasarnya, Marcelo Lippi telah memiliki segalanya di timnya. Didier Deschamps dan Antonio Conte sebagai penyeimbang area sentral. Berikut dengan maestro lapangan tengah yang langsung moncer setelah dibeli dari Bordeaux. Zinedine Zidane namanya.
Satu lagi yang tak bisa dilupakan, tak lain dan tak bukan, Del Piero. Seorang fantasista yang mampu menggeser peran Roberto Baggio. Keberhasilan Juventus menyabet tiga gelar di musim sebelumnya juga tak lepas dari kontribusinya.
Dapur serangan Juventus sudah oke. Masalahnya, tinggal bagaimana mereka menutup kebutuhan di lini depan. Juventus baru saja kehilangan dua bomber --Christian Vieri yang dilego ke Atletico Madrid dan ditinggal Alen Boksic yang hengkang ke Lazio.
Pilihan Juventus kemudian jatuh kepada Inzaghi sang kapten Atalanta yang baru berusia 24 tahun. Soal curriculum vitae, tak ada lagi yang perlu dipertanyakan lagi.
ADVERTISEMENT
Inzaghi menjadi capocannoniere setelah menyumbang 24 gol untuk Atalanta di musim 1996/97. Pemain kelahiran Piacenza itu juga dianugerahi titel Pemain Muda Terbaik Italia edisi 1997.
Skill individu Inzaghi bisa dibilang standar, sih. Postur badannya juga tak begitu menjulang, pun demikian dengan kecepatan dan spesialiasi dalam melepaskan tendangan, yang sebenarnya, tak bagus-bagus amat.
Inilah yang membedakan Inzaghi dengan para pemain top Italia saat itu: Baggio, Roberto Mancini and Francesco Totti. Dalam perspektif lain, justru itu yang membuatnya jadi spesial. Insting dan penempatan posisi jadi nilai lebih Inzaghi.
Inzaghi adalah rudal dari segala fantasi Del Piero di lapangan. Karena, ya, mantan pemain Parma itu bisa mencetak gol dengan ajaib, dari sudut-sudut yang terkadang sulit diterima akal sehat.
ADVERTISEMENT
Bukankah, fantasista seperti Del Piero juga demikian? Visi bermainnya hampir selalu melewati batas pikir pemain lawan. Itulah mengapa Inzaghi begitu padu dengan Del Piero. Bahasa romantisnya: Keduanya adalah pasangan yang saling melengkapi.
Sinergi keduanya tertuang jelas lewat total torehan 39 gol di Serie A 1997/98 --Del Piero (21) dan Inzaghi (18). Menariknya, mereka pernah sama-sama sukses mendulang hat-trick di sana.
Del Piero mengukir trigol saat Juventus memukul Empoli 5-2 pada Desember. Sementara Inzaghi sukses melakukannya lima bulan berselang kala melawan Bologna.
Oke, mereka memang gagal menyabet gelar capocannoniere. Ya, gimana, keduanya sama-sama tajam, berada dalam satu tim pula.
Bandingkan dengan Oliver Bierhoff sang topskorer yang memang jadi pencetak gol utama Udinese saat itu. Sebagai gambaran, torehan gol penggawa Tim Nasional Jerman itu menyentuh angka 27 atau nyaris tiga kali lipat dari raihan Paolo Poggi di posisi kedua.
ADVERTISEMENT
Eksistensi Inzaghi dan Del Piero itulah yang membedakan Juventus dengan kontestan Serie A lainnya. Produktivitas serta alternatif lini depan membawa Bianconeri jadi tim tersubur di musim itu dengan 67 gol.
Jadi, tak heran kalau Juventus sukses menggondol gelar Serie A dan Supercoppa Italia di musim yang sama. Kegagalan di Liga Champions amat disayangkan, sih.
Juventus takluk dari Real Madrid via gol semata wayang Predrag Mijatovic. Sementara di Coppa Italia, Juventus tersingkir karena kalah agregat gol tandang dari Fiorentina di babak perempat final.
Akan tetapi, setidaknya Juventus tidak kalah dengan telak dari dua kekalahan itu. Dan hasil impresif di musim 1997/98 jadi bukti betapa kuatnya kerangka skuat Juventus. Perpaduan Inzaghi-Del Piero di lini depan makin terlihat meyakinkan.
ADVERTISEMENT
Sayang, realitas tak berjalan indah. Del Piero mengalami cedera lutut dan mesti absen panjang pada musim 1998/99. Alhasil, Juventus goyah. Mereka bahkan hanya mampu memetik sebiji kemenangan dari awal November hingga pertengahan Januari.
Inzaghi sukses mengemas 13 gol di Serie A --masih lebih banyak dari kalkulasi lesakan penyerang Juventus lainnya macam Daniel Fonseca, Thierry Henry, dan Nicola Amoruso.
Tetap saja moncernya Inzaghi masih belum cukup untuk mengangkat performa Juventus. Pun demikian dengan pergantian pelatih dari Lippi ke Carlo Ancelotti.
Juventus pun finis di peringkat tujuh pada klasemen akhir. Angelo Peruzzi dan kawan-kawan pun mengakhiri musim tanpa gelar.
Sementara kabar Del Piero? Ia telah pulih dari cedera dan sempat beberapa kali melanjutkan kebiasaannya untuk mencetak angka. Akan tetapi, hampir dari semuanya lahir dari titik putih dan bukan dari skema open-play. Plot inilah yang nantinya jadi cikal bakal perpecahannya dengan Inzaghi.
ADVERTISEMENT
20 Februari 2000 di Stadio Pierluigi, konflik keduanya mulai kentara. Adalah Venezia yang jadi lawan Juventus kala itu. Ya, tim lemah yang pada akhirnya terdegradasi di akhir musim.
Di sana Inzaghi dan Del Piero berulang kali tampak berebut kans untuk mencetak angka. Dalam hal ini, Del Piero unggul duluan karena sukses mengonversi tendangan penalti di menit 35.
Namun, babak kedua menjadi milik Inzaghi, sepenuhnya. Tiga gol sukses ia sarangkan ke tim berjuluk Gli Arancioneroverdi itu. Ada tapinya, karena ketiga gol Inzaghi itu lahir dalam situasi yang 'sulit'.
Gol pembuka misalnya. Inzaghi yang memutuskan untuk mengakhiri solo run-nya dengan tembakan ketimbang ketimbang menyodorkan umpan kepada Del Piero. Padahal, posisi kiper Venezia, Massimo Taibi, kala itu sudah mati langkah.
ADVERTISEMENT
Berlanjut ke gol keduanya. Posisi Inzaghi sebenarnya tak mengenakkan karena kiper yang nantinya berseragam Manchester United itu telah maju untuk mempersempit ruang tembaknya. Ia tak menghiraukan itu dan langsung melepaskan tembakan ke arah gawang.
Beruntung, bola hasil tepisan Taibi jatuh ke kakinya dan ia pun dengan mudah mencetak gol keduanya. Padahal, Del Piero berada dalam posisi yang lebih ideal untuk melepaskan tendangan.
Sementara gol ketiga Inzaghi lahir setelah ia berhasil menyambar bola lebih cepat ketimbang Del Piero yang berada di sampingnya. Klimaksnya tercipta saat Del Piero menendang bola yang berada dalam kendali Inzaghi. Sialnya, si kulit bundar mengenai tiang gawang dan tak berbuah gol.
ADVERTISEMENT
Usai pertandingan, Del Piero berkomentar bahwa gol-gol Inzaghi itu hanya sebuah keberuntungan. Mulai dari sini, semuanya berakhir dengan kemudaratan.
Kekompakan Juventus meluntur. Mereka menelan kekalahan beruntun dari Milan dan Lazio di pekan ke-27 dan 28. Di hadapan tim medioker macam Hellas Verona dan Perugia pun Juventus tak berkutik. Ironisnya, mereka gagal mencetak satu gol pun dari keempat laga tersebut.
Bisa ditebak, Juventus kembali gagal menggamit Scudetto. Berikut kegagalan mereka di pentas Piala UEFA dan Coppa Italia. Inzaghi dan Del Piero masih bermain bersama di periode 2000/2001. Meski kebutuhan Juventus akan Inzaghi tak setinggi sebelumnya.
Kehadiran David Trezeguet perlahan menggeser porsinya sebagai bomber Juventus. Striker berkepala pelontos itu sukses mencetak 14 gol di akhir musim atau 3 gol lebih banyak dari raihan Inzaghi.
ADVERTISEMENT
Perjumpaan selalu diakhiri perpisahan. Begitu pula dengan kebersamaan Inzaghi dan Del Piero serta Juventus . Itu terjadi pada Juli 2001 saat Milan membelinya dengan banderol sebesar 17 juta poundsterling.
Bersama Rossoneri, Inzaghi kian menegaskan diri sebagai salah satu penyerang tertajam di dunia dan merengkuh delapan titel --masing-masing sepasang gelar Serie A dan Liga Champions.
Lalu Del Piero, terus dan terus menunjukkan loyalitasnya bersama Juventus. Ia tak pernah terganti sebagai fantasista, kapten, sekaligus ikon klub asal Turin itu. Del Piero pergi pada akhir musim 2011/12 setelah mempersembahkan 16 gelar untuk Juventus.