Scudetto Bukan Utopia bagi Napoli

23 November 2018 6:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Carlo Ancelotti usai laga Crvena Zvezda vs Napoli.  (Foto: REUTERS/Novak Djurovic)
zoom-in-whitePerbesar
Carlo Ancelotti usai laga Crvena Zvezda vs Napoli. (Foto: REUTERS/Novak Djurovic)
ADVERTISEMENT
Pembicaraan tentang scudetto Serie A berubah menjadi perkara menyebalkan karena acap mengerucut pada tim yang itu-itu saja. Dalam tujuh musim terakhir, scudetto melayang ke tangan Juventus. Ya, bukan salah Juventus juga, sih. Mereka memang tangguh walau calciopoli pernah menghujam dan terjun bebas ke Serie B.
ADVERTISEMENT
Tapi, nyonya tua yang satu ini bukan sembarang nyonya tua. Ia menolak untuk tunduk pada keterpurukan. Juventus bangkit, tak hanya menjadi tim yang perkasa di atas lapangan bola, tapi tim yang makmur. Saat tim lain meributkan rentetan sejarah, Juventus bergerak maju dan tampil sebagai tim paling modern di Italia. Manajemen mereka rapi, keuangan mereka sehat bukan kepalang. Kini, Juventus adalah tim yang menghidupi perjalanannya dengan cara elegan.
Satu di antara sekian tim yang kerap tergelincir di perebutan scudetto itu adalah Napoli. Di sepanjang sejarah, ada 15 gelar juara yang direngkuh oleh Napoli. Namun, hanya 10 gelar yang didapat dari kompetisi mayor: dua gelar scudetto, lima gelar Coppa Italia, dua gelar Piala Super Italia, dan satu gelar Liga Europa.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi persoalan, cuma tiga gelar juara yang didapat mereka setelah tahun 2000--Coppa Italia 2011/12 dan 2013/14 serta Piala Super Italia 2014. Artinya, Napoli memang tampil mengancam dalam tiga atau empat musim belakangan, tapi ancamannya belum cukup kuat untuk menggoyahkan kedigdayaan Juventus.
Ambil contoh soal scudetto. Keduanya disegel pada 1986/87 dan 1989/90, era saat Napoli masih diperkuat Diego Armando Maradona. Periode keemasan Napoli yang juga menjadi oase bagi orang-orang Italia Selatan yang entah sejak kapan dianggap sebagai beban negara. Orang-orang yang kerap dicemooh dan dianggap tak ada gunanya. Wilayah yang hanya tenar sebagai sarang bandit, ranah sepak bola yang tak tersentuh kejayaan.
Para pemain Napoli melakukan selebrasi usai menundukkan Liverpool. (Foto: Reuters/Ciro De Luca)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Napoli melakukan selebrasi usai menundukkan Liverpool. (Foto: Reuters/Ciro De Luca)
Napoli di masa kepemimpinan Maurizio Sarri ibarat perompak yang siap merampas gelar juara dari tim yang itu-itu saja. Sayangnya, di seperempat akhir kompetisi mereka kerap kehabisan bensin. Alhasil, dayanya berkurang. Kemenangan demi kemenangan berganti menjadi hasil imbang dan kekalahan di pengujung laga. Di klasemen akhir tiga musim terakhir, Napoli tidak pernah terlempar dari tiga besar. Tapi, ya, cuma sebatas tiga besar. Prestasi yang kepalang tanggung karena scudetto tetap belum diamankan.
ADVERTISEMENT
Kabar menyenangkan bagi penghuni San Paolo, pelatih terbaru mereka, Carlo Ancelotti, tak ciut diperhadapkan fakta seperti itu. Empat puluh lima tahun--bila menghitung masa karier di level junior--ditempa di dunia sepak bola, Ancelotti percaya bahwa tidak ada yang terlampau muskil untuk diraih sehingga hanya pantas buat dijadikan utopia. Pemahaman itu yang ia transfer di setiap sesi latihan, team-talk di ruang ganti, entah lewat omongan atau gesture khas pelatih.
"Scudetto adalah mimpi, bukan utopia karena utopia selalu di luar jangkauan. Sekarang bukan waktunya untuk membuat hitung-hitungan juara. Rangkaian pertandingan yang fundamental sudah di depan mata sehingga kami harus siap bertanding di Serie A dan Liga Champions. Bisa lolos dari fase grup (Liga Champions) tentu akan sangat memuaskan," jelas Ancelotti, dilansir Football Italia.
ADVERTISEMENT
"Saya punya beberapa kalimat motivasi untuk para pemain. Contohnya begini: 'Kamu tidak boleh bersikap kompetitif dengan rekan-rekanmu. Kamu hanya boleh bersikap kompetitif kepada diri sendiri. Kamu mengembangkan diri hari demi hari, bukannya berusaha mencapai level yang sudah dicapai orang lain. Inilah yang menjadi cara terbaik untuk tetap bertahan di sini."
"Saat saya mencium kepala para pemain, itu adalah tanda bahwa saya mengasihi mereka. Itu adalah pengakuan dan dukungan saya buat mereka. Tapi, tetap saja tergantung pada situasinya. Saya juga bisa mencium seorang pemain yang penampilannya buruk dan membutuhkan kepercayaan," ucap mantan pelatih Paris Saint-Germain ini.
Berangkat dari pemahamannya yang demikian, Ancelotti juga tidak menolak untuk membayangkan kemenangan. Toh, ia sendiri juga bukan orang yang asing dengan perayaan gelar juara, termasuk scudetto dan Liga Champions.
ADVERTISEMENT
The smiling Ancelotti! (Foto: LEON NEAL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
The smiling Ancelotti! (Foto: LEON NEAL / AFP)
Ancelotti bukan sosok yang meledak-ledak. Ketimbang perang urat leher di sesi konferensi pers, ia lebih suka menampilkan raut wajah datar atau lelucon kecil khas manusia kalem. Kalaupun menyimpan emosi, paling-paling itu tergambar sepintas dari alisnya yang terangkat sebelah.
Di pinggir lapangan, Ancelotti tetap akan berteriak-teriak kepada para pemainnya. Tapi, sebatas instruksi dan pelecut semangat. Ia tak punya minat untuk beradu berang dengan manajer tim lawan. Di ruang ganti, ia akan menjadi orang yang paling mau mendengarkan. Penggambaran seperti itulah yang pernah diberikan oleh mantan anak asuhnya, Paolo Maldini.
Namun, bukan Ancelotti yang seperti itu yang muncul dalam benaknya saat membayangkan timnya merayakan gelar juara. Di situ, Ancelotti menjadi sosok yang riang. Barangkali seperti alter ego, Ancelotti 'yang lain' yang selama ini bersembunyi di balik segala tanggung jawab dan tekanan lapangan hijau.
ADVERTISEMENT
"Seandainya kami memenangi gelar juara apa pun, yang pasti saya akan bernyanyi. Menyanyi adalah renjana (passion -red) kedua saya setelah sepak bola. Jadi, tidak masalah bagi saya untuk bernyanyi bersama tim."
"Intinya, saya sangat senang bisa berada di sini. Saya berharap dapat tinggal di Naples untuk waktu yang lama, jadi saya bisa tur ke berbagai pizzerie (tempat pembuatan piza -red). Saya beri tahu, ya: Sekali makan piza di Naples, Anda tidak akan mau makan piza di tempat lain. Keju mozzarella-nya juga begitu. Dulu, saya biasa makan mozzarella di Kanada, sekarang saya tidak mau lagi karena di sini memang yang terbaik," jelas Ancelotti.
Ya, begitulah Ancelotti. Perbincangan soal keju dan piza sama pentingnya dengan harapan menimang scudetto. Khayalan untuk menyanyi riang di perayaan gelar juara sama hebatnya dengan keinginan untuk melihat timnya tampil brilian, seolah-olah kompetisi sepak bola itu perkara yang enteng.
ADVERTISEMENT
Atau mungkin bagi Ancelotti, apa pun yang berkaitan dengan sepak bola tak perlu dibesar-besarkan. Berangkat dari situ, maka segalanya akan dihadapi Ancelotti dengan santai, dengan caranya yang khas.