Sebesar Apa Pengaruh Perkembangan Taktik di Liga pada Tim Nasional?

11 Juli 2018 13:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi Harry Kane dan Gareth Southgate pada sesi latihan Tim Nasional Inggris. (Foto: Reuters/Lee Smith)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Harry Kane dan Gareth Southgate pada sesi latihan Tim Nasional Inggris. (Foto: Reuters/Lee Smith)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Dia memberi impak lewat bagaimana timnya bermain dengan cara yang berbeda dari apa yang biasa kita saksikan di level tertinggi. Aku selalu mengatakan bagaimana kita tidak pernah keluar dari pulau ini. Oleh karenanya, sangatlah menyenangkan ketika ada orang-orang yang datang ke pulau ini untuk membantu kami," kata Gareth Southgate pada Maret lalu kepada Manchester Evening News.
ADVERTISEMENT
Ada suatu masa di mana Southgate tak lebih dari seorang kambing hitam. Dia dipersalahkan, dipersekusi, dihujat, dan diperlakukan bak paria. Dua puluh dua tahun silam situasinya seperti itu.
Kini, Southgate adalah pahlawan. Dia ditunjuk sebagai manajer Tim Nasional (Timnas) Inggris tanpa bekal pengalaman sedikit pun di level teratas. Curriculum vitae-nya tak lebih panjang dari daftar bumbu yang dibutuhkan untuk membuat telur urak-arik. Namun, kurang lebih dua tahun setelah ditunjuk, Southgate hanya tinggal berjarak dua kemenangan lagi dari gelar Piala Dunia.
Keberhasilan Southgate itu sama sekali bukan kebetulan. Kendatipun tidak punya pengalaman melatih di level tertinggi sebelum menangani 'Tiga Singa', Southgate adalah sosok yang tak pernah berhenti mengamati. Di saat orang lain memilih untuk bersantai, menikmati mimosa yang segar di musim panas, Southgate berangkat ke Toulon untuk menyaksikan remaja-remaja Inggris berlaga di sebuah turnamen sepak bola. Di sana, dia menemukan Jordan Pickford dan Ruben Loftus-Cheek.
ADVERTISEMENT
Bukan bocah-bocah itu saja, tentunya, yang diamati Southgate. Seperti pelaku sekaligus penikmat sepak bola pada umumnya, pria yang kini berusia 47 tahun tersebut juga mengamati apa yang terjadi di Premier League.
Di tahun yang sama dengan ketika dirinya menemukan Pickford dan Loftus-Cheek, Southgate menyaksikan kedatangan sesosok mahaguru ke Manchester. Nama mahaguru itu Pep Guardiola dan dia adalah orang yang dibicarakan Southgate pada Maret lalu tersebut.
Guardiola datang ke Inggris dengan reputasi nyaris tiada tara. Jose Mourinho boleh jadi datang ke Chelsea pada 2004 lalu sebagai The Special One yang mampu menjawab segala pertanyaan dari lawan. Akan tetapi, Guardiola adalah seorang pencecar yang membuat lawan seringkali kehabisan jawaban.
Musim pertama Guardiola tidak berjalan mulus. Tiada satu pun gelar yang mampu direngkuhnya dan bahkan, lelaki berkepala plontos itu sampai merajuk dengan mengatakan bahwa dirinya bakal segera pensiun dari dunia kepelatihan. Akan tetapi, segalanya berubah di musim kedua. Dengan revolusi permanen yang disokong dana ratusan juta poundsterling dari Abu Dhabi, Guardiola menunjukkan kepada publik bagaimana sebuah tim seharusnya bermain.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang menarik dari revolusi Guardiola itu adalah bagaimana dia menghamburkan poundsterling untuk mendatangkan pemain belakang. Ederson Moraes, Kyle Walker, Benjamin Mendy, Aymeric Laporte, dan Danilo Silva dia datangkan untuk menjadi pilar-pilar di lini belakang City. Semua pemain itu punya satu persamaan, yakni mereka semua nyaman dalam memainkan bola, entah itu lewat dribel, umpan panjang, maupun umpan pendek.
Lini belakang menjadi basis dari permainan Guardiola karena dari lini itulah dia memulai serangan. Kiper, bagi Guardiola, adalah penyerang pertama dan maka dari itu dia rela memecahkan rekor transfer kiper di Inggris untuk mendatangkan Ederson. Setelahnya, seiring dengan berlanjutnya progresi serangan, ketika semua pemain yang ada bisa memainkan bola dengan baik, eksekusi rencana permainan pun bakal berjalan lancar. Ide besarnya kira-kira seperti itu.
ADVERTISEMENT
Kegembiraan Pep Guardiola usai City menang. (Foto: Reuters/Andrew Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Kegembiraan Pep Guardiola usai City menang. (Foto: Reuters/Andrew Yates)
Apa yang dilakukan Guardiola itu menginspirasi Southgate. Bedanya, tentu saja, Southgate tidak bisa meminta FA untuk membeli Sergio Ramos dan Gerard Pique dari RFEF. Namun, itu bukan masalah bagi Southgate karena dia tahu bahwa para pemain Inggris tidaklah seburuk yang dibilang orang. Hanya, sebagian besar dari mereka sebelumnya lebih kerap bermain dengan cara yang salah.
Southgate pun memulai revolusinya dari belakang. Chris Smalling dia tendang. Menurut Southgate, bek Manchester United itu tidak punya kemampuan olah bola yang cukup bagus untuk bisa menjadi bek Tim Nasional. Padahal, ketika Southgate ditunjuk, Smalling adalah salah satu penampil terbanyak dengan 31 caps-nya.
Revolusi Southgate tidak berhenti sampai di situ. Dari Guardiola, dia mendapatkan ide yang jelas, yakni bahwa para pemain belakangnya harus memiliki olah bola bagus. Namun, dari segi eksekusi, ada hal-hal yang belum membuatnya teryakinkan. Oleh karena itu, dia mencoba untuk mengamati dari sosok pelatih lain yang tengah naik daun di Premier League: Mauricio Pochettino.
ADVERTISEMENT
Bersama Pochettino, Tottenham Hotspur senantiasa menjadi petarung serius di papan atas Premier League. Terlepas dari kebiasaan mereka untuk men-Spurs-kan diri sendiri di saat-saat krusial, Tottenham adalah tim dengan gaya bermain yang tidak jauh berbeda dengan tim milik Guardiola, meski tak memiliki sumber daya sebesar City. Cara Pochettino mengeksekusi idenya, yakni dengan pakem tiga bek, itulah yang diadopsi oleh Southgate.
Lewat pakem tiga beknya itu, Pochettino mampu mengeluarkan kemampuan terbaik pemain-pemain macam Harry Kane, Dele Alli, Danny Rose, Eric Dier, Kieran Trippier, serta Walker sebelum dibeli City. Semua pemain itu, kecuali Rose, adalah pemain inti di Timnas Inggris saat ini. Pemain-pemain yang melejit di bawah asuhan Pochettino itulah yang kini jadi andalan Southgate di Timnas.
ADVERTISEMENT
Starting XI Inggris vs Tunisia. (Foto: REUTERS/Gleb Garanich)
zoom-in-whitePerbesar
Starting XI Inggris vs Tunisia. (Foto: REUTERS/Gleb Garanich)
Dari sini bisa ditarik sebuah hipotesis bahwasanya perkembangan taktik di liga sebuah negara, pada akhirnya, akan berujung pada bagaimana sepak bola di Timnas bakal dimainkan. Akan tetapi, apakah memang benar begitu? Apakah ini berlaku untuk semua tim atau hanya berlaku untuk tim-tim tertentu saja?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita menyimak apa yang terjadi dengan Timnas Kroasia saat ini. Dalam kolomnya di The Guardian, Aleksandar Holiga menuliskan bahwa Vatreni adalah tim yang (kemungkinan besar) justru bisa tampil baik di tengah kekacauan. Satu hal yang disoroti Holiga di situ adalah tiadanya rencana (apalagi eksekusi) yang jelas dari Federasi Sepak Bola Kroasia (HNS) untuk mengembangkan sepak bolanya.
Mereka tidak punya cetak biru seperti yang dimiliki Belgia. Mereka tidak punya infrastruktur yang memadai entah itu untuk bermain secara profesional maupun bagi para pemain muda untuk berkembang. Ketika hal-hal seperti itu saja mereka tidak punya, jangan harap persepakbolaan Kroasia bisa berbicara soal identitas bermain dan hal-hal abstrak lainnya.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, Kroasia beruntung karena mereka punya Dynamo Zagreb. Klub tersukses Kroasia ini pada dasarnya adalah Timnas Kroasia mini. Dari sana, lahir sebagian besar pemain yang akhirnya mewakili Kroasia di level internasional. Luka Modric, Dejan Lovren, dan Marko Pjaca adalah contohnya. Jika Tottenham adalah tulang punggung Timnas Inggris saat ini, Dynamo adalah jiwa dari Timnas Kroasia.
Lewat Dynamo, para pemain muda dicekoki formasi dasar 4-3-3 yang membuat mereka fasih dalam memainkan sepak bola dengan bola-bola pendek. Lalu, ketika sudah masuk tim senior, para pemain itu dibiasakan dengan formasi 4-2-3-1 yang kini juga digunakan oleh Timnas Kroasia.
Selebrasi Luka Modric dan Dejan Lovren usai adu penalti Kroasia vs Rusia. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Selebrasi Luka Modric dan Dejan Lovren usai adu penalti Kroasia vs Rusia. (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)
Akan tetapi, yang jadi masalah adalah formasi 4-2-3-1 ala Zlatko Dalic saat ini tidak digunakan hanya karena Dynamo menggunakannya. Memang ada pengaruh Dynamo di sana, terutama dalam membentuk karakteristik bermain. Namun, Dalic pada akhirnya memilih 4-2-3-1 sebagai bentuk adaptasi. Dalic menggunakan formasi itu semata-mata untuk mengakomodasi Ivan Rakitic dan Luka Modric dalam satu tim.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama dengan Kroasia terjadi pada Prancis. Pada awal turnamen, Didier Deschamps memilih untuk menggunakan formasi 4-3-3. Akan tetapi, formasi tersebut gagal memberi Les Bleus apa yang mereka harapkan. Baru ketika mereka mulai menggunakan 4-2-3-1, Prancis mulai menemukan bentuk terbaik.
Lain Kroasia dan Prancis, lain pula Jerman dan Spanyol.
Jerman, semenjak ditangani Joachim Loew, hampir tidak pernah beranjak dari formasi 4-2-3-1. Ini masuk akal, mengingat dalam perjalanannya, sebagian besar pemain Die Mannschaft diambil dari Bayern Muenchen yang memang mengandalkan formasi serupa. Plus, mereka selalu merasa perlu untuk mengakomodasi Mesut Oezil yang entah bagaimana lebih kerap tampil bagus bersama Timnas daripada ketika bermain untuk Arsenal.
Kemudian, Spanyol sampai 2018 ini masih setia dengan pakem 4-3-3 yang mengantarkan mereka menjadi juara dunia delapan tahun lalu. Di sini, pengaruh Barcelona-nya Guardiola masih sangat terasa.
ADVERTISEMENT
Para pemain Spanyol merayakan gol. (Foto: REUTERS/Jorge Silva)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain Spanyol merayakan gol. (Foto: REUTERS/Jorge Silva)
Dengan formasi seperti itu, Spanyol memainkan umpan-umpan pendek yang menjadi senjata utama untuk mencekik lawan. Bahkan, pada kualifikasi lalu Spanyol masih sempat menggunakan false nine, tepatnya saat menggulung Italia 3-0. Yang menarik, Barcelona sendiri sudah tidak melulu menggunakan cara itu ketika bermain.
Dari sini, rasanya kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa pengaruh taktikal di kompetisi dalam negeri ke tim nasional itu memang ada. Akan tetapi, ada syarat yang tak boleh diabaikan dari sana, yakni keterwakilan pemain. Timnas Inggris, Spanyol, dan Jerman berisikan pemain-pemain yang memang bermain di liga domestiknya. Hal serupa tidak terjadi pada Kroasia maupun Prancis.
Oleh karenanya, kualitas liga pun menjadi sangat krusial di sini. Southgate beruntung karena Premier League adalah kompetisi yang menjadi tempat tujuan banyak pemain dan pelatih top. Dari sana, para pemainnya terbentuk. Meskipun para pemain itu namanya tidak sebesar para pendahulunya, benefit tetap dirasakan karena biar bagaimana pun, mereka tertempa di ekosistem yang mendukung.
ADVERTISEMENT
Maka, Southgate benar. Selain kepada wartawan Telegraph yang mengungkap skandal Sam Allardyce, Southgate juga harus berterima kasih kepada para manajer Premier League seperti Guardiola serta Pochettino. Berkat sumbangsih mereka, sepak bola bisa jadi pulang ke rumah tahun ini.
Semifinal Piala Dunia 2018. (Foto: Aditia R, Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Semifinal Piala Dunia 2018. (Foto: Aditia R, Basith Subastian/kumparan)